Bab. 68

357 13 0
                                    

Lintang baru saja mendapat kabar bahwa putranya sedang sakit melalui pesan dan langsung bergegas ke rumah mantan istrinya itu. Namun, Lintang sudah tidak menemukan Gafi karena mobil yang membawa Gafi sudah berangkat. 

"Mas cari mbak Noza?" Tanya seorang karyawan bu Maryam. 

"Iya, kenapa rumahnya sepi ya buk? Noza dan Gafi kemana?" Tanya Lintang cemas. 

"Mbak, Noza ke rumah sakit mas, dek Gafi sakit." Jawabnya membuat Lintang langsung tak karuan. 

Pria itu langsung bergegas menyusul ke rumah sakit. Ia bahkan sampai absen ke kantor barang sehari untuk menjenguk putranya. 

Hati Lintang sudah tidak tenang sejak semalam, entah mengapa dia tak langsung datang. Rasanya sangat menyesal begitu tahu Gafi sakit sampai masuk rumah sakit. 

Lintang langsung melangkahkan kakinya menuju ruang rawat Gafi setekah bertanya melalui pesan kepada mantan mertuanya. Pelan ia membuka pintu dengan perasaan yang tak karuan. Lintang melihat putranya terbaring lemah dengan tangan kiri terpasang selang infus. 

"Gafi!" Seru Lintang mendekat. 

Mendengar suara yang begitu familiar masuk, Noza langsung mendongak. Ada perasaan lega melihat pria itu datang. Namun, ada banyak kesalnya disana. 

"Gafi sakit apa? Kenapa baru ngabari?" Tanya Lintang denga raut cemas pada mantan istrinya. 

"Ck, aku pikir kamu nggak peduli. Bahkan panggilan anakmu saja kamu abaikan. Sibuk banget? Sampai nggak ada waktu buat nengokin, ini yang katanya sayang dan peduli? Kalau cuma datang hanya memberi harapan kosong, mending kamu nggak usah datang sekalian. Banyak yang sayang sama Gafi." Noza marah melihat pria itu berlagak sok perhatian dengan putranya. 

"Siapa yang nggak peduli. Walaupun kamu nggak suka sama aku, bahkan sangat membenciku, kamu nggak berhak melarang aku untuk menemui anakku." Balas Lintang yang ikut kesal. 

"Pada kenyataannya, kamu terlalu sibuk, bahkan sampai abai dengan telpon dari Gafi. Dia itu nanyain kamu, mas, mana kamu peka, yang ada sibuk sama pac-" Noza tidak melanjutkan perkataannya. 

"Maksudmu? Jangan ngaco! Aku sudah berusaha telpon balik. Susah banget ya ngomong, atau emang nggak bisa kabari langsung kerumah. Masih hafal alamatnya kan? Eh ya pasti kamu sudah sengaja melupakan tempat dimana kamu begitu membencinya." Lintang mengikis jarak, menatap lekat mata Noza yang mengembun. 

Setitik bening kristal itu jatuh di pipi Noza. Dia tidak pernah lemah hanya tentang dirinya. Disakiti sedemikian rupa ia masih bisa tahan. Namun, kalau sudah menyangkut soal anak, hatinya mendadak sakit luar biasa. 

Lintang menatap dengan netra memerah. Raut wajahnya penuh kegalauan. Tangan kanannya tergerak seakan ingin menghapus air mata mantan istrinya. Namun, ia sadar mungkin terlalu lancang jika melakukannya. 

"Maafkan aku Noza, aku tahu kehadiranku tidak pernah kamu harapkan. Benci aku sebanyak yang kamu mau. Tapi tolong jangan pernah pisahkan aku lagi dengan Gafi. 

"Iya, aku benci sama kamu mas, Seharusnya kamu nggak usah muncul sekalian. Gafi lebih tenang tidak mengenalmu daripada harus menhan rindu tapi bahkan ayahnya saja sibuk dengan urusannya sendiri."

Noza berlalu sembari menghapus air matanya kasar. Lalu beranjak dari hadapan pria itu. 

"Aku kerja Za, aku nggak tahu kamu telpon. Handphone aku ketinggalan dikantor." Lintang menahan Noza hingga membuat perempuan itu terdiam.

"Hah, lucu sekali kamu mas, alasan kamu sangat klise. Yakin sibuk kerja? Bukannya lagi seneng-seneng ya."

"Maksud kamu, apa?" Tandas pria itu gemas menarik lengan Noza makin dekat menghadapnya. 

Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang