Bab. 22

319 10 0
                                    

 "Kamu yang bawa mobilnya, kita ke butik langganan mama." Titah bu Lisa pada Lintang tak ada tawar menawar.

Lintang menghela napas kasar. Hanya bisa menurut walaupun hatinya enggan. Malas sekali harus mempersiapkan sebuah pernikahan yang tidak diinginkan. 

Lintang yang nampak fokus menyetir, sesekali memperhatikan wajahnya lewat pantulan spion belakang. Pria itu melirik kesal, entahlah, semua tentang gadis itu membuat perasaannya memburuk. 

"Ayo sayang, sudah sampai, kita turun!" Ajak bu Lisa setelah Lintang memarkirkan mobilnya.

Noza turun mengukuti langkah calon mertuanya yang berjalan elegant memasuki sebuah butik kenamaan. 

"Selamat datang bu Lisa, ada yang bisa saya bantu?" Sapa seorang karyawan ramah. 

"Ya, saya butuh baju pernikahan yang bagus, muslim modern." Katanya sembari melihat koleksi yang lain. 

"Ada banyak pilihan disini, silahkan masuk." Ujarnya mempersilahkan untuk memilih bilik yang lain. 

"Noza mau yang warna apa?" Tanya bu Lisa mencoba mengikuti selera calon menantunya. 

"Apa ini tidak berlebihan bu, gaun dan pakaian disini terlalu indah." Ucap Noza sendu. 

"Menikah itu sesuatu yang penting dan sakral. Moment yang diharapkan hanya akan terjadi sekali saja dalam hidup. Mama berdoa semoga kalian bisa menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Walaupun jalannya berbeda." Ucap bu Lisa. 

Sama halnya dengan Lintang yang tidak minat. Pria itu cenderung menunggu dan terima beres. Bahkan, ia tidak mau saat ibunya meminta untuk mencoba bajunya. 

"Terserah mama aja."Ucapnya santai.

"Mau ini aja?" Tanya bu Lisa memastikan pada calon menantunya. 

"Iya bu." Jawab Noza memilih gaun yang sangat sederhana. 

"Udah ma, ayo pulang!" Seru Lintang sudah tidak betah. 

"Ya, habis ini cari cincin sekalian." Ujar bu Lisa cukup detail dan tidak boleh terlewat untuk acara besok.

"Kenapa nggak besok aja ma, ini kita sudah cukup lama diluar." Protes Lintang terdenar menjengkelkan.

"Kamu itu nikahanya besok, bagaimana ceritanya belinya besok." Sahut bu Lisa mulai kesal.

Noza sendiri tidak turun kata sedikitpun. Perasaannya tidak nyaman setiap kali ada Lintang. Bagaimana nanti kalau sudah menikah. Noza tidak bisa membayangkan hal itu. Hati kecilnya menjerit ketakutan. 

"Ayo, kalian harus pilih modelnya sekarang!" Bu Lisa jelas yang paling antusias. 

Setelah semua urusan dilakukan untuk persiapan pernikahan hari esok mereka bertiga menuju ke area parkir. 

"Masih ada lagi nggak, ma?" Tanya Lintang memastikan.

"Nggak, pulang, kasihan Noza sudah capek. Ibu hamil tidak boleh terlalu lelah." Ucap Bu Lisa sarkas. 

Lintang langsung menjalankan mobilnya arah pulang. Pria itu merasa lega akhirnya kesibukan hari ini bersama dua perempuan itu selesai juga. 

***

Rasanya Lintang seperti baru saja terlelap, saat pintu kamarnya diketuk-ketuk cukup keras. Ibunya pagi-pagi sudah menyambangi kamarnya agar putranya tidak kesiangan dan bersiap-siap. 

"Iya, ma, ini Lintang udah bangun." Sahut Lintang dengan malas. 

Menjelang siang MUA panggilan bu Lisa sudah sampai di kediamannya. Bu Lisa langsung mengarahkan ke kamar Noza dan mendandani calon menantunya. Pagi itu benar-benar dibuat sibuk tak terkira. 

"Ini calon ngantennya, kok belum siap?" Tanya pak Ustadz Ringga yang akan membersamai acara sakran tersebut. 

Pria bersahaja itu datang bersma istrinya yang tak lain adalah saudara kembarnya pak Rangga. 

"Ini mau siap-siap, pakde." Jawab Lintang menyalim takzim saudara orangtuanya.

"Mbak, mommy belum datang?" Tanya budhe Shely istri dari ustadz Ringga pada bu Lisa. 

"Bingung mau ngabari kemarin, takutnya mommy shock, kenapa Lintang nikah cepat-cepat. Tapi tetap dikabari."

"Sabar mbak." Sahut Shely yang sudah tahu duduk permasalahannya. 

Semua keluarga inti nampak sudah siap diruang tamu. Menanti calon pengantin pria yang belum hadir di tengah-tengah mereka. Sedang Noza sendiri memang sengaja dipisah dibilik yang berbeda. Mereka akan dipertemukan setelah sah. 

Ustadz Ringga yang akan membimbing pernikahan mereka. Serta beberapa orang dari kantor urusan agama yang berisap mencatat kelengkapan urusan pernikahan itu. 

Semua nampak hadir, para saksi dan tentu saja mahar yang sudah siap ada diatas meja. Detik-detik paling menegangkan, saat Lintang memasuki ruangan dan bersiap mengikrarkan kata sakral itu. 

Noza memejam, setitik bening kristal tak mampu ia bendung begitu kata sah itu menggema di sudut ruangan. Perasaan ngambang, terasa begitu kacau. Ini sama sekali bukan pernikahan impian. Hatinya bergemuruh mencoba tenang. Bahkan tubuhnya masih gemetaran saat ibunya membimbing untuk bertemu dengan pria yang kini berstatus menjadi suaminya. 

Langkah kakinya terasa berat untuk sekedar menyapa. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing, belum sempat beranjak, Noza merasa semuanya menjadi gelap. Gadis itu tumbang tak sadarkan diri di antara ibu dan juga mertuanya yang hendak berjalan mengantar mempertemukannya dengan Lintang. 

"Noza, Noza!" Seru bu Maryam panik. 

"Bawa ke kamar saja." Titah bu Lisa dengan perasaan campur aduk. 

Perempuan itu sampai memanggil dokter karena Noza tak kunjung sadar. 

Sebenarnya ada rasa tidak tega di hati semua orang. Tetapi seiring berjalannya waktu, trauma Noza akan hilang dengan kebiasaan mereka bersama. 

Lintang menghela napas lelah. Sebenarnya dia sangat kesal melihat Noza tidur di ranjangnya. Haruskah malam ini mereka berbagi tempat tidur?

Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang