[Aku di belakang mobil Ganta, jangan lama-lama. Aku nungguin ini]~ Papa Gafi.
Noza membaca pesan berderet dari mantan suaminya. Dia membalas mengiyakan dan akan langsung mengabari setelah selesai mengantar Ganta.
"Pesan dari siapa ya, sibuk banget kelihatannya?" Tanya Ganta menoleh sejenak.
"Nggak ada mas." Jawab Noza datar.
"Kamu cantik banget hari ini." Puji pria itu sedikit geer, karena Noza pergi dengannya jadi perempuan itu agak berdandan.
"Terimakasih mas." Jawab Noza kikuk.
Pria itu memarkirkan mobilnya di sebuah basement pusat perbelanjaan.
"Mau beli dimana, mas?" Tanya Noza yang ingin cepat-cepat.
"Di kawasan mall sini. Kamu pilihin ya yang paling bagus." Ujar Ganta sangat antusias.
"Kenapa nggak bawa calon mas Ganta sekalian? Nanti kalau ukurannya nggak pas gimana?" Tanya Noza barang kali pendapatnya didengar.
"Pasti pas kok, orangnya seukuran kamu." Jawab Ganta santai.
Sementara Lintang bersama putranya mengikuti kedua manusia di depannya tanpa harus terlihat secara jelas.
"Pa, kita kesini?" Tanya Gafi dalam gendongan.
"Hmm... nungguin mama dulu. Gafi mau beli sesuatu?" Tanya Lintang agar sang putra diam dan tidak rewel.
"Iya, Gafi mau es krim." Kata bocah kecil itu kegirangan.
Lintang melipir mencari gerai es krim untuk memenuhi keinginan putranya. Duduk dengan tenang setelah memsan untuk Gafi.
Sementara Lintang terus memantau ponselnya. Beberapa menit berlalu rasanya lama, Lintang benar-benar tidak tenang memikirkan Noza.
Setengah jam berlalu, Lintang makin tidak sabar. Noza juga belum memberi kabar, harus menunggu berapa lama lagi? Apa dia harus menyusul?.
"Pa, mau nggak? Ini enak." Tawar Gafi pada sang ayah.
Lintang tersenyum lalu mengangguk. Menerima suapan dari tangan mungil itu. Hatinya sedikit terhibur dengan perhatian Gafi.
"Fi, mama kenapa lama ya, kamu telpon ya, minta mama suruh cepat. Gafi capek nunggu, gitu."
Gafi mengangguk-angguk patuh sambil menikmati es krimnya. Lintang langsung menodongkan hanphone mengarah pada Gafi agar mau bicara.
Noza yang tengah sibuk memilihkan perhiasan untuk Ganta pun berhenti sejenak saat ada panggilan masuk ke ponselnya.
"Jadi yang mana Za? Aku ngikut selera kamu aja." Kata Ganta menyerahkan pada Noza.
"Itu dua-duanya bagus mas, mending kamu foto saja terus kirim gambarnya ke calon mas Ganta. Sebentar ya aku mau terima telpon dulu." Kata Noza agak menepi.
"Hallo ma!" Suara anak kecil yang cukup familiar langsung menyapa.
"Kamu sayang, bentar mama belum selesai. Gafi main dulu sama papa.
"Iya ,as." Jawab Gafi tentu menurut. Membuat Lintang yang mengaba-aba di depannya menepuk jidatnya.
"Hallo Fi, Gafi masih disana?" Seru Noza dari sebrang telpon.
"Ma, cepetan, Gafi capek nungguinnya." Kata bocah kecil itu sesuai mandak bapaknya.
"Iya, ini bentar lagi selesai. Bentar ya, papa mana?" Tanya Noza menanyakan sang mantan.
Lintang langsung menempelka ponselnya dekat telinga.
"Mas, kamu masih di mall ini? Ini belum selesai."
"Lama." Jawab Lintang dengan nada tak mengenakna, lalu menutup ponselnya secara sepihak.
"Fi, susulin mama aja yok! Nanti mama lupa kalau kita nungguin."
"Bentat pa, es krimnya belum habis." Kata bocah kecil itu yang masih asyik sendiri.
Sementara Noza menutup ponselnya, dia agak bingung saat melihat ada pesan masuk dari Ganta.
"Mas, kok malah dikirim ke aku sih?" Tanya Noza mulai tak enak.
"Iya, nggak salah kok. Bagusan yang mana? Kamu mau pilih yang mana? Ini cincinnta dan ini satu set perhiasan sekalian." Kata pria itu santai dengan senyuman.
"Maksudnya?" Tanya Noza mulai menyadair kejanggalan dari perkataan Ganta.
"Za, aku ingin melamarmu. Maaf kalau ini terlalu mendadak, tapi rencana dan niat ini sudah lama aku pendam. Sekarang adalah waktu yang tepat. Kamu mau kan menjadi pendamping hidup aku. Hingga menua bersama." Ucap Ganta Romantis. Spontan aksinya itu disaksikan banyak orang.
Noza masi terbengong di tempat, tidak menjawab pun tidak mengiyakan.
"Terima! Terima! Terima!" Suara sorak dari orang-orang yang bergerombolan memberikan dikungan saling bersahutan.
Noza bukannya senang, ia malah serasa ingin pingsan dan tak tahu harus menjawab apa.
Sementara Lintang, terdiam mengerem langkahnya sembari menuntun Gafi. Hatinya membawa melihat adegan langsung didepan matanya yang jelas membuat sekujur tubuhnya mendidih kesal. Apa yang pria itu takutkan, benar-benar menjadi nyata.
"Gafi. ayo kita pulang!" Ucap Lintang tak kuat lama-lama disana.
"Kita nggak jadi pergi? Katanya mau ke tempat mama, pa?" Tanya Gafi berceloteh dalam gendongan sang ayah.
"Mama masih sibuk, Gafi pulang ke rumah papa dulu ya. Pargi sama mamanya besok." Bujuk pria itu beralasan. Perasaannya berantakan melihat adega tadi.
Apa mungkin ini alasan dan jawabn kenapa Noza tidak kunjung mengiyakan tujuan Lintang mengkhitbahnya lagi.
***
"Titip Gafi, ma." Kata pria itu menurunkan putra kecilnya dari gendongan dengan raut wajah menunjukkan rasa kecewa.
"Tang, kamu kenapa?" Tanya bu Lisa mengekori sang putra.
"Ngak apa-apa, lagi pengen sendir aja. Tolong temani Gafi dulu ya ma, Lintang di kamar." Kata pria itu lalu berjalan gontai ke kamarnya.
Lintang tengah menata hatinya agat sekuat harapannya. Walau pada kenyataannya itu menyakitkan yang teramat. Beruntung ada Gafi, bocah kecil itu adalah salah satu alasan dirinya tetap berusaha tegar menghadapi ujian yang terus datang.
"Gafi sayang, mama kemana? mama nggak ikut?" Tanya bu Lisa mencoba mencari tahu pada sang cucu.
"Mm... mama tadi pergi sama om Nata, terus aku sama papa nungguin." Jawabnya polos.
"Om Anta siapa?" Tanya bu Lisa kepo.
"Mm... orang baik eyang, suka kasih mainan sama beliin Gafi jajan banyak." Jawab Gafi jujur.
Bu Lisa menduga-duga, mungkin pria itu tengah dekat dengan Noza. Namun, kenapa Lintang terlihat begitu kecewa.
"Tang, mama mau bicara?" Ucap bu Lisa melihat Lintang menghampiri putranya.
"Kenapa ma?" Jawab Lintang yang terlihat tidak baik-baik saja.
"Kamu sedang ada masalah? Apa itu tentang Noza? Bukankah niat baikmu kemarin sudah diutarakan? Tinggal menunggu jawabannya saja." Tanya bu Lisa hendak mengulik permasalahan sang putra.
"Iya ma, Lintang sudah pasrah. Kalau memang kita nantinya tidak ditakdirkan berjodoh lagi, Lintang haru ikhlas walau berat. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah."
"Terimakasih sudah bisa mengartikan dari sebuah kehidupan yang tulus. Tetap sayangi anakmu walau nantinya kamu tidak hidup bersama ibunya Gafi."
Lintang hanya mengangguk dengan pilu. Tiada pengharapan yang kekal selain pada kebaikan dari sang Maha Pemberi Kehidupan.
"Sabar ya, nak." Ucap bu Lisa ikut prihatin. Menepuk pundak sang putra menguatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya sembilan bulan
Художественная прозаAku bernama Nozafitri Utami yang sering di panggil Noza. Kehidupan Normal yang aku jalani harus menjadi jungkir balik karena mendapatkan pelecehan dari seorang pria yang aku segani dan hormati. Banyak mimpi dan tujuan yang aku layangkan tinggi seaka...