Bab. 8

421 14 0
                                    

 Sepanjang perjalanan menuju kampus, ia terus mengomel tidak jelas. Andai saja tidak ada jadwal bimbingan dengan dosen, Lintan memilih absen, sayangnya dia sudah ada janji dengan dosen pembimbingnya. 

"Nggak ada akhlak! Gila ya giginya runcing banget." Seketika Lintang teringat punggungnya yang perih setelah kejadian itu karena Noza berusaha melepaskan diri sembari mencakar-cakar dirinya. 

"Shit! Kenapa jadi ingat malam itu sih!" Umpat Lintang tidak berkonsentrasi mengendarai mobil. 

"Brengsek!" Lintang meraup mukanya kesal dan memukul bundaran stir saking kesalnya. Jeritan dan tangisan Noza dibawah kungkunganya begitu jelas. Kenapa dia bisa sebejat itu, padahal di luar sana dengan mudahnya menunjuk siapapun wanita yang psati mau kalau hanya untuk sekedar tidur dengannya. 

"Gila, sial, sial! Kenapa ini harus terjadi sama gue!" Umpat Lintang. Terlebih ia melakukan itu dengan Noza, perempuan yang bukan type dirinya. 

Pria itu terdiam menjatuhkan kepalanya di bundaran kemudi. Menenangkan hatinya yang tiba-tiba kacau. Hingga suara ketukan kaca terdengar. 

"Selamat siang pak! Kamu petugas lalu lintas, bapak telah melanggar dengan parkir di sembarang tempat! Silahkan turun dari mobil, bapak akan kami amankan!" Petugas kepolisian yang tengah patroli. 

"Eh, tapi pak, saya cuma sebentar, ini sudah mau jalan." Protes Lintang. 

"Sebentar atau lama seharusnya anda tidak parkir di sembarang tempat, karena bisa menyendat kendaraan lain dan membahayakan pengguna jalan lainnya. Silahkan turun, berikan STNK dan anda ikut dengan kami ke kantor."

"Jangan dong pak! Saya cuma numpang berhenti sebentar, ini sudah mau jalan, nanti saya ke kampus telat." Lintang beralasan. 

"Mana STNK-nya, biar saya periksa sebagai acuan bahwa mobil ini dalam penangguhan." Polisi itu akan memberikan sanksi bagi pelanggar. 

Lintang membuka tas miliknya, merogoh isinya tetapi tidak menemukan dompet miliknya. Mencari di dashboard mobil juga hasilnya nihil. 

"Maaf pak, dompet saya ketinggalan, tapi beneran ini mau ke kampus pak, tolong jangan tahan saya apalagi bawa mbil saya." 

"Kalau kamu tidak bisa menunjukkan surat-surat penting itu, mobil anda akan kami gerek, silahkan selesaikan di kantor sambil membawa berkas yang kami minta."

Mau tidak mau Lintang terpaksa menyetop ankot yang melintas di depannya. Seumur hidup mungkin ini kali pertama Lintag naik angkutan umum. Kalau tidak terpaksa tentu saja dia tidak sudi melakukan ini semua. Hari ini dirinya sangatlah sial, sedari pagi harus mendapatkan gigitan dari gadis itu hingga sekarang harus berurusan dengan polisi. 

"Sialan, mana penuh lagi!" Batin Lintang urung melihat angkot yang penuh penumpang. 

"Cepetan naik mas, malam bengong." Seru penumpang lain yang memberi ruang. 

"Maaf bang, nggak jadi, jalan aja." Lintang mengatupkan tangannya dengan permohonan maaf pada sang supir. 

"Nggak jelas banget, buang waktu saja!" Omel supir angkot. 

Lintang menepi, mencoba menaiki bus yang berhenti di halte. Pria itu segera naik, dan mencari tempat duduk. Entah suatu kebetulan atau tidak, Noza ada di bus yang sama dan hanya tersisa satu jok kosong di sebelahnya. 

Pria itu mau tidak mau mengambil duduk di sebelahnya. Ia hafal betul kalau perempuan di balik masker dan hijab coksu itu adalah gadis yang tadi pagi menggigit tangannya. 

"Astaghfirullah... Kenapa kamu disini? Ngikutin aku?" Noza terkejut yang menyadari keberadaan Lintang duduk di sebelahnya. 

"Nggak usah GR, ini angkutan umum." Jawabnya datar. 

Noza agak menepikan duduknya merapat dengan badan bus. Tidak nyaman sekali berada di dekat Lintang. Perasaannya selalu was-was begini. 

"Duh.. Lama sekali sampainya sih!" Batin Noza gelisah keringat dingin, padahal Lintang melakukan apapun. 

Sementara Lintang tidak peduli. Ia bahkan langsung turun begitu sampai depan kampus tanpa menatap pada gadis itu. Noza baru beranjak setelah ada cukup jarak antara mereka. 

***

Gadis itu tengah melamun di kamarnya setelah pulang kuliah. Ingin sekali cepat lulus agar bisa meninggalkan rumah majikan ibunya yang sekarang di tempati. Tentu saja membawa ibunya pergi dari sana. Setelah lulus, Noza akan mencari pekerjaan dan tidak akan berurusan lagi dengan keluarga Lintang. Sesungguhnya itu keinginan dan rencana Noza sekarang. 

Tiba-tiba Noza merasa sedikit pusing dan mersa mual. Hawa dingin menyerbu tubuhnya. Ia merasa sangat tidak nyaman. 

"Za, jang segini tidur, waktu ashar tidak baik nak, sudah sholat?" Bu Maryam mendapati putrinya tiduran di kamar. 

"Tubuh Noza nggak enak banget bu, sepertinya masuk angin." Jelas gadis itu merapatkan selimutnya. 

"Kamu sakit? Minum obat ya, biar ibu nanti belikan di apotik." Bu Maryam menempelkan punggung tangannya di kening sang putri. 

"Nggak usah bu, hanya sedikit pusing, istirahat saja nanti sembuh."Jawab Noza mencoba terlelap. 

Tiba-tiba Noza merasa sangat mual. Gadis itu langsung turun dari ranjang berlari ke kamar mandi, memuntahkan isinya yang tak kunjung keluar. 

"Ya salam.. AKu kenapa sih? Kok lemes gini." Batin Noza merasa sangat tidak nyaman. 

Ia berjalan tertatih kembali kekamar, tak sengaja melihat kalender di meja belajarnya. Seharusnya ia sudah mendapatkan tamu bulanan, kenapa sampai hari ini belum juga kunjung datang. 

"Nggak, nggak mungkin, pasti ini hanya telat, seperti biasanya juga kadang mundur sampai tiga hari. Ini pasti juga sama." Noza merasa resah. 

Noza berjalan mondar-mandir di kamarnya. Ia jelas gelisah, tetapi mencoba menenangkan pikirannya. Berharap bahwa ia tidak hami benih dari laki-laki itu, karena ia tidak akan sanggup menjalani hidup bila itu terjadi. Ibunya pasti akan malu sekali mempunyai anak gadis yang hamil di luar nikah. Terlebih hasil dari orang yang tidak bertanggungjawab. 

"Za, ini obatnya, diminum ya, kamu kelihatan pucet sekali." Bu Maryam masuk kamar sembari membawa obat. 

"Iya buk, terimakasih, nanti Noza minum." Gadis itu mengiyakan. 

"Ya sudah, kamu istirahat saja, ibu mau lanjut kerja lagi." Pamit bu Maryam. 

Noza mengambil obat yang di meja. Ia membawanya ke dapur dan mengambil segelas air putih. Belum sempat minum, tiba-tiba perutnya merasa sakit. 

"Kok sakit? Apa aku mau datang bulan? Semoga iya, pasti benar." Gumam Noza penuh harap. 

***

Malam harinya, bu Maryam menatap curiga pada putrinya yang terus-menerus murung. Bahkan melamun di meja makan. Lauk dan sayur hanya diaduk menjadi korban kegalauan hatinya. 

"Noza, kenapa makanannya tidak di makan?" Bu Maryam menegur putrinya yang melamun. 

"Noza kenyang bu." Gadis itu beranjak membawa piring yang masih ada makanan ke dapur. 

Gadis itu membuang sisanya ke tempat sampah lalu mencuci piringnya. 

"Noza ke kamar dulu bu, mau langsung tidur." Pamit Noza melewati ibunya yang masih duduk di meja makan. 

"Iya, istirahat saja, ibu masih harus berberes di rumah bu Lisa." Jawab Bu Maryam seperti biasa memastikan dapur majikannya bersih sebelum ditinggal tidur. 

Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang