Bab. 42

275 10 0
                                    

"Za, kamu pernah nggak ngerasa mual muntah terus pengen banget sesuatu gitu. Orang hamil biasanya begitu?" Tanya Lintang sungguh ingin tahu.

"Pernah." Jawab Noza datar. 

"Sering? Apa itu sampai menyiksamu?" Tanya pria itu lagi sunggu ingin tahu. 

"Tidak, sesekali, Alhamdulillah masih bisa beraktivitas seperti biasa. Tuhan maha baik, anak ini tahu makanya nggak rewel." Kata Noza sembari menyentuh perutnya sendiri. 

"Maksudnya anak itu rewel sama aku gitu?" Tanya Lintan sensi. 

"Aku nggak tahu Lintang, aku jawab berdasarkna apa yang aku rasakan. Aku nggak tahu kenapa bisa begitu." Jawab Noza lelah. 

"Setiap pagi aku mual, muntah, dan itu sangat menyiksaku. Setiap kali aku dekat sama anak itu, aku merasa sehat, kupikir kata mama benar, kehamilan simpatikku hanya akan sembuh kalau aku dekatnya. Soalnya papa juga gitu dulu. Jadi, tolong ya kamu mulai malam ini tidur denganku. Aku janji nggak bakalan macam-macam!" Ucap pria itu begitu entengnya. 

"Aku nggak mau tidur di kamarmu!" Tolak Noza. 

"Kalau bukan dikamarku di mana? Kamar kamu sempit, tidak nyaman. Bagaimana kalau kita pindah ke apartemen?" Tawar Lintang lembut.

Noza menghela napas sepenuh dada. Ia tidak mau tinggal hanya berdua dengan Lintang. Terlalu menakutkan dalam pikiran perempuan itu. Lintang itu sulit dibaca, kelakuannya seenak kata dan semaunya. 

"Aku sudah cukup nyaman ditempatk." Jawabnya tentu tak ingin pindah. 

"Oke, tapi kemarin kenapa malah aku ditinggal dikamat bu Maryam? Kamu sengaja kan?" tanya pria itu sembari melajukan mobilnya. 

Noza tidak menjawab, pikiran melayang jauh ke hamparan masa depan. Bagaimana caranya dia menepi. Haruskah dia mengiyakan keinginan Lintang agar pria itu merasa nyaman? Tapi, Noza lebih tenang jika Lintang tidak lagi muncul di setiap hidupnya. 

"Za, aku tanya loh? Kenapa kamu suka sekali diam. Apa kamu marah karena masalah Anzel? Kok kalian bisa kenal?" Tanya pria itu cukup penasaran. 

"Aku tidak ada hak marah." Jawab Noza santai. 

"Baguslah kalau kamu nyadar... tolong jangan katakan apapun. Perasaan dia sangat sensitif, aku tidak mau dia sampai tahu mengenai hubungan kita. Biarlah semua berjalan sampai sembulan bulan nanti tiba. Biarkan aku yang jelaskan pada Anzel pelan-pelan."

Rasanya dada Noza sesak, bukan karena masalah suaminya akan meninggalkan dirinya dan lebih memilih kekasihnya. Itu sama sekali Noza tidak peduli. Karena dirinya juga tidak mempunyai perasaan apapun dengan ayah dari calon anaknya. Hanya saja merasa miris, mengingat kemalangan yang menimpa dirinya. 

***

Menjelang malam, Lintang benar-benar datang kerumah belakang. Kali ini bu Maryam kaget mendapati menantunya malam-malam menyambangi kediamannya. 

"Mas Lintang!" Sapa bu Maryam membukakan pintu. 

"Ibu belum tidur? Lintang mau ketemu Noza, buk, boleh kan? Lintang mau nginep." Kata pria itu mohon izin. 

"Ada dikamar." Jawab bu Maryam yang merasa khawatir. 

Lintang berjalan cukup percaya diri menuju kamar Noza. Dia mengetuk pintunya dua kali, lalu menekan handle pintu. 

Melihat kedatangan Lintang, Noza jelas merasa terusik. Seperti tidak ada lagi privasi untuknya. Mereka memang berstatus suami istri, tetapi hanya hitam diatas putih. Karena selebihnya akan berjalan masing-masing sesuai apa yang mereka mau. 

"Za, aku tidur sebelah mana?" Tanya Lintang mengenai tempat dan posisinya. 

"Kanan." Jawab Noza menguatkan diri. 

"Oke, kamu belum mau tidur? Ini sudah cukup larut loh." Ujarnya memperingatkan. 

"Belum." Jawab Noza dingin. 

Tiba-tiba suara panggilan nada dering ponsel Lintang berbunyi. Pria itu tersenyum melihat id caller Anzel menelponnya. 

"Za, Anzel telpon, tolong kamu jangan bersuara ya, nanti dia dengar." Pesan Lintang. 

Noza lebih tidak minat mendengar. Ia menyumpal telingnaya dengan earphones. Terlihat pria itu mengobrol dengan begitu asyiknya. Tanpa perasaan, bawah yang punya kamar bisa saja terganggu. 

Suara Lintang bertelepon sangat berisik. Dia pikir ruangan itu sama dengan kamarnya yang kedap suara, jadi ia berbicara dengan enjoy tanpa mempedulikan orang lain. Lintang terlihat menyebalkan jika telah begini. 

"Za, kecilkan nada bicara jika bertelpon, ibu tidak bisa tidur sampai terdengar dari luar!" Seru bu Maryam mengetuk pintu, sengaja menegur untuk menyindir menantunya yang tidak tahu aturan itu. 

Lintang yang merasa dirinya tengah melakukan panggilan, jelas merasa tersinggung. Sedetik kemudian dia mematikan handphonenya setelah mengucapkan salam perpisahan manis selamat tidur. 

Noza sendiri lebih tidak ingin pedulu. Namun, tetap saja ia terusik. Hidupnya terasa terganggu dan tidak ada ketenangan sedikit pun. 

"Maaf za, tadi aku kelepasan. Ayo tidur!" Ajak Lintang dengan santainya. 

"Kamu duluan aja." Jawab Noza menutup laptopnya. 

Sementara Noza bari saja keluar dari kamar mandi. Dia berjalan kelemari mengambil selimut yang lainnya, sebab selimut miliknya telah dikuasai Lintang.

Perempuan itu langsung merebah dibagiannya. Noza terlelap dengan damai, menutupi seluruh tubuhnya sampai pundak. 

"Za, kamu sudah tidur? Kenapa hijabmu tidak dilepas?" Tanya Lintang mendekat. 

"Beneran sudah tidur ternyata."Gumam pria itu menilik wajah damai Noza yang terlihat tenang. 

***

Lintang terjaga lebih dulu. Ia kaget saat membuka mata menemukan wajah ayu itu menyapa tepat di depan wajahnya. Ternyata Noza semalam merubah posisinya hingga mereka saling berhadapan.

"Kamu lucu juga kalau sedang tidur." Gumam pria itu mengamati dengan senyum. 

Lintang langsung memutar tubuhnya memunggungi begitu mata lentik Noza bergerak. Perempuan itu terjaga setelah mendengar alarm ponselnya memekik. Sebelum beranjak, hatinya yang kembut itu menggerakkan tangannya untuk merapatkan selimut Lintang yang terbuka. 

Lintang yang jelas sudah terjaga merasa ada sesuatu yang berbeda dari perasaannya. Tanpa sadar, ia merasakan kasih sayang seperti hal mamanya memperlakuak dia. 

"Noza beneran ngelakuin ini? Kenapa dia peduli?" Batin Lintang membuka matanya. 

Lintang kembali pura-pura memejam saat pintu kamar terbuka. Terdengar langkah kaki, lalu sunyi kembali. Rupanya Noza tengah melaksanakan sholat subuh seorang diri. 

Peregerakan perempuan itu tak luput dari pandangan Lintang pagi itu. Dia sudah bangun dari tidur duduk santai menyender ke dinding sambil memperhatikan aktivitas Noza dikamarnya. 

"Kamu kenapa pagi seperti ini sudah rapih? Ada kuliah pagi?" Tanya Lintang. 

"Iya." Jawab Noza datar. 

Tanpa sadar Lintang memperhatikan perut Noza yang jelas berisi. Namun, Noza pintar menyembunyikan dibalik gamis longgar dan juga hijab lebarnya. 


Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang