Bab. 28

315 9 0
                                    

"Buk, Noza dimana? Pesan saya belum dibaca?" Tanya bu Lisa mencari-cari menantunya. 

Hal yang sama juga terjadi pada Lintang. Pria itu tidak menjumpai gadis itu seharian. Baik dirumah maupun di kampus. Sedikit kepo, dia pikir akan bertemu di meja makan. Namun, ternyata Noza tak mengisi salah satu kursi di sana. 

"Noza tinggal di kosan buk, biar dekat dengan kampus. Lebih fokus belajar." Jawab bu Maryam membuat bu Lisa dan Lintang menatap terperangah. 

"Noza ngekost, sendirian di luar? Dia kan lagi hamil? Bagaimana kalau butuh sesuatu." Bu Lisa menjadi tidak tenang. 

"Noza yang minta, biar nggak terlalu capek, karena kadang pulang sore sudah banyak tugas." Jelas bu Maryam. 

"Tapi kenapa dibiarkan sendiri diluar buk, kan bisa pulang pergi bareng Lintang. Kamu juga kenapa nggak peka si Tang, dia itu lagi hami anak kamu, perhatian sedikit kenapa?" omel bu Lisa pada putranya yang nampai santai. 

"Lintang nggak tahu, Noza nggak ada cerita apapun." Sahut Lintang datar. 

"Lah, emang beberapa hari ini kamu ngapain aja? Kamuflase aja di depan mama?" 

Ibu dan anak itu malah terlibat perdebatan di meja makan. Membuat pak Rangga berkata untuk menengahi. 

"Sudah jangan bertengkae, habiskan makan malamnya, nanti kita cari solusi bareng-bareng untuk Noza." Kata pak Rangga menenangkan keduanya. 

Bu Lisa yang khawatir menjadi tidak berselera makan. Sementara Lintang hanya diam, menghabiskan isi piringnya. 

"Bu Maryam, Noza ngekost dimana?" Tanya bu Lisa memanggil besannya. 

"Katanya sih dekat kampus bu, kemarin tidak sempat nganter."

"Aku malah yang tidak tenang bu, hamil muda itu kadang banyak nggak enaknya. Harusnya jangan biarkan Noza sendirian diluar sana."

"Bu Lisa tenang ya, Noza selalu memberikan kabar. Dia baik-baik saja. Aku juga akan sering-sering mengunjungi Noza jika ada waktu." 

Ibu dari dua anak itu tetap saja tidak bisa setenang bu Maryam. Entahlah, hatinya terus mengkhawatirkan menantunya. Ditambah hubungannya dengan Lintang yang belum membaik, pasti akan semakin renggan saja. 

***

"Tidur ma, ini sudah malam." Tegur pak Rangga setelah mereka sudah dikamarnya. 

"Pesan aku tidak dibalas dari sore mas, mana bisa aku tenang. Kasihan Noza, masa tinggal di kosan. Kita harus jemput dia, atau bila perlu jemput untuk pulang ke rumah." 

"Kita tidak boleh egois ma, itu adalah keputusan Noza sendiri. Mungkin dikosan dia lebih tenang dan bahagia. Kita juga harus berusaha memahami hatinya."

"Bukan masalah egois atau bukan loh mas, kalau Noza jauh, Lintang semakin abai dan tidak bertanggung jawab. Walaupun hubungan mereka berawal dari sebuah kesalahan, aku ingin Lintang memperbaikinya dan benar-benar menghargai pernikahan mereka. Tinggal di rumah yang berdampingan saja aku kurang sreg, ini malah lebih jauh lagi." Keluh bu Lisa tidak tenang. 

"Papa paham maksud mama, tapi kita tidak bisa memaksa orang untuk dekat."

"Terpaksa lama-lama juga akan biasa. Kita dulu juga gitu emang kita saling cinta? Nggak kan? Malah berantem terus awal nikah." 

"Beda cerita sayang, Noza dan Lintang itu terpaksa berstatus karena sebuah insiden. Kalau kita dijodohkan, jadi, mari kita berbesar hati memangdang dari segi keduanya. Jangan terlalu memaksa, tapi sebagai bentuk kepedulian kita, bagaimana kalau kita besok carikan tempat tinggal untuk Noza yang lebih layak."

"Otak kita berbeda, aku maunya dia pulang, terserah kalau tidak menganggap Lintang, tapi mama bisa lihat setiap hari wujudnya. Dia harus mendapatkan perhatian lebih. Besok antar aku ke kosannya mas."

Berbeda sekali dengan sikap Bu Maryam yang sudah lebih siap. Walau dua hari ini ia merasa sangat kesepian. Setiap malam biasanya beliau akan menyambangi kamarnya hanya untuk memastikan putrinya sudah tidur atau belum. Sekarang kamar itu kosong. Hanya ada bayangan yang kadang terselip kerinduan. 

***

Keesokan paginya, di kediaman rumah bu Lisa, Lintang kembali mabok pagi-pagi. Pria itu merasakan tidak nyaman sama sekali.

"Ma, mama!" Seru Lintang menggedor pintu kamar ibunya. 

Bu Lisa yang baru saja selesai sholat subuh langsung keluar tanpa melepas mukenanya. 

"Lintang! Kamu kenapa?" Tanya bu Lisa melihat putranya dengan wajah menyedihkan. 

"Aku nggak enak badan, tolong buatkan susu jahe ma, aku lemes, mual, pusing, bu Maryam belum datang." Keluh pria itu uring-uringan sendiri. 

"Kamu istirahat saja di kamar, biar mama buatkan." Ujar perempuan itu lalu keluar menuju dapur. 

Pagi-pagi sudah harus sibuk dengan urusan Lintang. Kasihan juga terlihat sampai pucat begitu. Tapi tidak bisa berbuat banyak, karena efek obat yang bekerja tidak juga manjur. 

Beberapa menit berlalu, akhirnya Lintang merasa lebih baik setelah sarapan. Namun, itu hanya terjadi selang setengah jam saja, karena perutnya kembali mual. Dia memuntahkan isi perutnya tanpa sisa. Susah payah menghabiskan sarapannya, namun berakhir dengan muntah kembali. 

"Tang, muntah lagi?" Tanya bu Lisa prihatin. 

Lintang mengangguk samar, lalu berjalan pelan ke kasur. Merebahkan tubuh lemahnya di sana. 

"Sabar Tang, semoga berangsur membaik." Melihat Lintang yang tersiksa seperti itu bu Lisa merasa kasihan. Seketika kepikiran Noza, apakah menantunya pagi ini baik-baik saja. 

"Kamu capek nggak kalau setiap pagi harus gini? Emangnya nggak pengen ya dekat sama anak kamu? Papa dulu sembuh loh setelah dielus-elus sama mama. Mungkin juga kamu bakalan cepat sembuh kalau dekat dengan Noza."

"Giamana mau dekat, orangnya aja udah minggat. Harusnya mama membiarkan waktu itu Noza gugurin kandungannya. Lintang tidak akan kesiksa setiap hari." 

"Kenapa kamu berpikir seperti itu Tang, apa kamu tidak kasihan, tega membiarkan darah daging kamu sendiri lenyap. Jangan menutup mata terus dengan keadaan, sudah saatnya kamu menyadari kesalahanmu, masih belum terlambat. Kamu sudah merampas masa-masa berharga Noza, kamu merusak masa depannya. Bisa jadi dia mempunyai rencana yang indah tanpa kamu tahu. Harus gugur karena ulah kamu." Ucap bu Lisa memberikan wejangan. 

Lintang terdiam, tubuhnya yang lemas hanya bisa menyerap separonya saja ke otak. Sisanya masuk tanpa didengar dengan baik. Mungkin memang benar salahnya di dia. Namun, tentu saja tidak melulu salahnya. Kenapa malam naas itu bisa terjadi, mungkin karena memang sial tengah menghampirinya. 

Hanya sembilan bulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang