17 tahun telah berlalu sejak Pitaloka, istri tercinta Gumara Peto Alam, diculik secara misterius. Gumara, yang masih terpukul oleh kehilangan istrinya, berjuang keras untuk menemukan Pitaloka namun selalu menemui jalan buntu. Kehidupan Gumara kini h...
Pitaloka terkejut mendengar permintaan itu, namun ia segera menguasai dirinya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya, menatap Wiwit dengan sorot mata penuh pertanyaan.
" Apa maksudmu, Wiwit? Kenapa aku harus menjauh dari putriku sendiri... bahkan dari Gumara?" ucap Pitaloka berusaha tenang.
Wiwit menatap Pitaloka tajam, nada bicaranya mulai terdengar lebih tegas.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
" Karena mereka bukan bagian dari hidup kamu lagi, Pitaloka. Sekar sudah cukup lama hidup tanpa kamu. Dia bahagia dengan keluarganya sekarang, dengan aku sebagai ibunya. Dan Gumara... dia adalah suamiku. Kamu tidak punya tempat di antara mereka lagi." ucap Wiwit menekan kata-katanya.
Pitaloka mendengar itu hanya tersenyum tipis, tapi senyuman itu sarat dengan makna yang dalam.
" Wiwit... berani sekali kamu mengatakan itu padaku. Sekar adalah putri kandungku. Aku yang melahirkannya, aku yang merasakan setiap detik perjuangan hidup dan mati untuknya. Kamu boleh membesarkannya, dan aku berterima kasih untuk itu, tapi jangan pernah lupa... dia tetap anakku, darah dagingku." ucap Pitaloka menahan diri, namun dingin.
Wiwit tampak terkejut sejenak mendengar ketegasan Pitaloka, namun ia mencoba mempertahankan ketenangannya.
" Aku tahu dia anak kamu, tapi aku yang ada di sisinya selama ini. Aku yang melihatnya tumbuh, yang ada di saat dia butuh kasih sayang seorang ibu. Kamu tidak bisa kembali begitu saja dan berharap semuanya tetap seperti dulu." ucap Wiwit berusaha tenang.
Pitaloka mendekat, tatapannya berubah tajam, namun masih terlihat tenang.
" Kamu benar, aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi aku di sini sekarang, dan aku tidak akan pernah menjauh dari Sekar. Tidak peduli apa yang kamu katakan, Wiwit. Sekar adalah darahku, dan aku akan selalu ada untuknya." ucap Pitaloka tegas.
Keduanya saling menatap, suasana di antara mereka penuh ketegangan yang tak terucap.
" Kamu membuat semuanya lebih sulit, Pitaloka. Untuk Sekar... dan untuk Gumara." ucap Wiwit perlahan, dengan nada dingin.
" Bukan aku yang membuatnya sulit, Wiwit. Kamu yang mencoba memisahkan seorang ibu dari anaknya selama 17 tahun. Dan itu... tidak akan pernah kamu menangkan." ucap Pitaloka menatap tajam.
Pitaloka perlahan mendekati Wiwit, matanya tajam memandang Wiwit. Tatapan itu penuh dengan amarah yang selama ini terpendam.
" Kamu pikir aku tidak tahu, Wiwit? Malam itu, tujuh belas tahun yang lalu... penculikanku, bahkan penculikan anak Rajo Langit dan Ratna. Semua itu... dalangnya adalah kamu." ucap Pitaloka dingin, namun penuh ancaman.
Wiwit terpaku, wajahnya memucat seketika. Ia mencoba menjaga ketenangan, namun gemetar kecil di tangannya tak bisa disembunyikan.
" Apa yang kamu bicarakan, Pitaloka? Aku tidak tahu apa-apa tentang itu." ucap Wiwit gugup, berusaha menyangkal.