بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
“Dengan nama Allah yang Maha Pemurah, Maha Penyayang” (Ayat 1).
Artinya, aku mulailah pekerjaanku ini, menyiarkan wahyu Ilahi kepada insan, di atas nama Allah itu sendiri, yang telah memerintahkan daku menyampaikannya.
Inilah contoh teladan yang diberikan kepada kita, supaya memulai suatu pekerjaan penting dengan nama Allah. Laksana yang teradat bagi suatu kerajaan bila menurunkan suatu perintah, menjadi kuatlah dia kalau dia disampaikan “di atas nama penguasa tertinggi”, raja atau kepala negara, sehingga jelaslah kekuatan kata-kata itu yang bukan atas kehendak yang menyampaikan saja, dan nampak pertanggungan jawab.
Nabi Muhammad SAW disuruh menyampaikan wahyu itu di atas nama Allah. Dia, Rasul Allah itu, tidaklah lebih dari manusia biasa, tetapi ucapan yang keluar dari mulutnya bukanlah semena-mena atas kehendaknya sendiri, tetapi Allahlah yang memerintahkan. Dari yang empunya nama itu dia mengambil kekuatan.
ALLAH, adalah Zat Yang Maha Tinggi, Maha Mulia dan Maha Kuasa. Zat pencipta seluruh alam langit dan bumi, matahari dan bulan, dan seluruh yang ada. DIA adalah yang wajibul wujud yang sudah pasti ADA, yang mustahil tidak ada.
Menurut keterangan Raghib orang Isfahan, ahli bahasa yang terkenal itu nama yang diberikan untuk Zat Yang Maha Kuasa itu ialah ALLAH. Kalimat ini telah lama dipakai oleh bangsa Arab untuk Yang Maha Esa itu. Kalimat ALLAH itu — demikian kata Raghib — adalah perkembangan dari kalimat Al-Ilah. Yang dalam bahasa melayu kuno dapat diartikan Dewa atau Tuhan.
Segala sesuatu yang mereka anggap sakti dan mereka puja mereka sebutkan dia AL-ILAH. Dan kalau hendak menyebutkan banyak Tuhan, mereka pakai kata Jama’ yaitu AL-ALIHAH. Tetapi pikiran murni mereka telah sampai kepada kesimpulan bahwa dari tuhan-tuhan dan dewa-dewa yang mereka katakan banyak itu, hanya SATU jua yang Maha Kuasa, Maha Tinggi, Maha Mulia.
Maka untuk mengungkapkan pikiran kepada Yang Maha Esa itu mereka pakailah kalimat ILAH itu, dan supaya lebih khusus kepada Yang Maha Esa itu mereka cantumkan dipangkalnya ALIF dan LAM pengenalan (Alif-Lam-Ta’rif), yaitu AL menjadi AL-ILAH.
Lalu mereka buangkan huruf hamzah yang di tengah, AL-L-LAH menjadi ALLAH. Dengan menyebut nama Allah tidak ada lagi yang mereka maksud melainkan Zat Yang Maha Esa, Maha Tinggi, Yang Berdiri Sendirinya itulah, dan tidak lagi mereka pakai untuk yang lain. Tidak ada satu berhalapun yang mereka namai ALLAH.
Dalam AL QUR’AN banyak bertemu ayat-ayat yang menerangkan, jika Nabi Muhammad SAW bertanya kepada musyrikin penyembah berhala itu siapa yang menjadikan semuanya ini pasti mereka akan menjawab : “Allahlah yang menciptakan semuanya!”
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Padahal jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan
semua langit dan bumi, dan menyediakan matahari dan bulan, pastilah
mereka akan menjawab: “Allah!” Maka bagaimanakah masih dipalingkan
mereka.” (Surat 29 AL ‘ANKABUUT Ayat 61)Dan banyak lagi Surat-surat lain mengandung Ayat seperti ini.
Setelah kita tinjau keterangan Raghib al-Isfahani dari segi pertumbuhan bahasa (filologi) tentang kalimat Allah itu, dapatlah kita mengerti bahwa sejak dahulu orang Arab itu di dalam hati sanubari mereka telah mengakui Tauhid Uluhiyah, sehingga mereka sekall-kali tidak memakai kalimat Allah untuk yang selain daripada Zat Yang Maha Esa, Yang Tunggal, yang Berdiri Sendirinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFSIR BUYA HAMKA JUZ 1 ALIF LAAM MIIM
SpiritualTafsir AL QUR'AN ini ditulis oleh Almarhum Prof. Dr. Syaikh Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang biasa dipanggil Buya HAMKA. Beliau adalah salah satu Alim Ulama besar di Indonesia, yang menulis tafsir ini saat Beliau dipenjara oleh Pe...