صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat atas mereka,…” (pangkal Ayat 7).
Kita telah mendengar berita, bahwa terdahulu dari kita, Tuhan Allah telah pernah mengaruniakan nikmatnya kepada orang-orang yang telah menempuh jalan yang lurus itu, sebab itu maka kita mohon kepada Tuhan agar kepada kita ditunjukkan pula jalan itu.
Telah ada Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang diutus Tuhan, dan telah ada pula orang-orang yang menjadi syahid dan telah ada pula orang-orang yang shalih: semuanya dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan karena menempuh jalan itu. Bekasnya kita rasakan dari jaman ke jaman. Oleh sebab itu maka kita memohonkan pulalah agar kepada kita diberikan pula petunjuk supaya kita menempuh jalan itu dengan selamat.
Inilah yang kita mohonkan dengan Isti’anahkepada Tuhan, dengan berpedoman kepada AL QUR’AN. Kita mohonkan, tunjuki kiranya kami mana yang benar, karena yang benar hanya satu, tidak terbilang. Metode atas rencana yang benar di dalam menegakkan ahlak, budi bahasa, pergaulan hidup, filsafat, lqtishad (perekonomian),ijtima’ (kemasyarakatan), dan siasat (politik) dan sebagainya.
Sebab jalan di atas dunia ini terlalu banyak simpang siurnya, jangan sampai kita menjadi “Datuk segala iya”, atau sebagai pucuk aru yang mudah dicondongkan angin ke mana dia berkisar. Minta ditunjuki jalan tengah yang lurus yang tidak menghabiskan tenaga dengan percuma: “Arang habis besi binasa”.
Kami memohon, pimpin kiranya kami ke jalan itu, jalan bahagia yang pernah ditempuh oleh manusia-manusia yang Engkau cintai dan mencintai Engkau, yang menegakkan jalan terang di dunia ini.
Sekali-kali bukanlah kami meminta “kulit” nikmat. Di luar kelihatan menang, padahal di batin kami kalah. Di luar kelihatan mewah, padahal jiwa kering dan gersang, karena tidak pernah disirami oleh air hujan hidayat-Mu. Kami tidak memohonkan yang demikian.
Yang kami mohonkan ya Tuhanku, ialah nikmat yang kekal abadi, nikmat akan menjadi suluh kami di dalam hidup di dunia ini, dan bekal yang akan kami menghadap Engkau di akhirat, diliputi oleh ridha Engkau.
Apabila Allah telah menganugerahkan nikmatridha-Nya kepada seseorang hamba, tercapailah olehnya puncak kebahagiaan jiwa di dalam hidup yang sekarang ini. Permulaan dari ridha Allah itu ialah bilamana telah tumbuh dalam jiwa keinsafan beragama, menjadi Islam yang berarti menyerah diri sukarela kepada Tuhan, dan iman yang berarti kepercayaan yang penuh. Islam dan Iman menimbulkan ihsan, yaitu bekerja terus memperbaiki dan mempertinggi mutu jiwa.
Maka timbullah Nur di dalam jiwa, cahaya yang memberi sinar kepada kehidupan. Dan cahaya itu jugalah yang akan menyuluhinya sampal ke akhirat. Nikmat inilah yang kita mohonkan: tercapai hendaknya oleh kita kehidupan sebagai Nabi-nabi, Rasul-rasul dan syuhada dan shalihinitu. Karena kalau nikmat itu telah datang, telah tercapailah oleh kita kekayaan yang sejati. Dengan kekayaan itu kita tidak merasa takut menghadapi hidup dengan segala tanggungjawabnya bahkan merekapun tidak gentar menghadapi maut, sebab maut hanyalah perkisaran sejenak daripada hidup fana kepada hidup yang khulud.
Berapa banyaknya orang yang mati, menjadi korban karena menegakkan Imannya kepada Tuhan, namun jejak kebenaran yang mereka tinggalkan dipusakai oleh anak cucu.
“…bukan jalan mereka yang dimurkai atasnya,…” (tengah Ayat 7).
Siapakah yang dimurkai Tuhan? ialah orang yang telah diberi kepadanya petunjuk, telah diutus kepadanya Rasul-rasul telah diturunkan kepadanya kitab-kitab Wahyu, namun dia masih saja memperturutkan hawa nafsunya. Telah ditegur berkali-kali, namun teguran itu, tidak juga diperdulikannya. Dia merasa lebih pintar daripada Allah, Rasul-rasul dicemoohkannya, petunjuk Tuhan diletakkannya ke samping, perdayaansyaitan diperturutkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TAFSIR BUYA HAMKA JUZ 1 ALIF LAAM MIIM
EspiritualTafsir AL QUR'AN ini ditulis oleh Almarhum Prof. Dr. Syaikh Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang biasa dipanggil Buya HAMKA. Beliau adalah salah satu Alim Ulama besar di Indonesia, yang menulis tafsir ini saat Beliau dipenjara oleh Pe...