Bad Influence #23

997 74 7
                                    

Mia mendapati kedua orang tuanya tersenyum. Mereka sudah stand by berdiri menunggu anak semata wayangnya sembari saling bergandeng tangan di depan rumah mereka. Ditambah salju musim dingin yang jatuh saling bersahutan membuat pemandangan matanya terlihat romantis. Ayah dan Ibu Mia adalah bukti bahwa mereka berdua adalah sebuah relationship goals. Suatu saat, Mia pasti akan mendapatkan figur seorang suami dan keluarga seperti mereka.

"Kami sudah merindukanmu, Mia," ucap ibunya memeluk Mia erat.

"Hey Mom, Hey Dad." Mia tak sungkan membalas pelukan kedua orang tuanya bersamaan.

"Bagaimana? Kau bertemu Matt Damon?" tanya ayahnya. Mia menggeleng pelan. Ah, akhirnya dia berada di lingkungan yang berbahasa inggris.

"Tetapi setidaknya aku menemukan seorang yang bisa membuat lengkungan senyum di bibirku." Mia menarik kopernya untuk masuk ke dalam rumah. Tetapi suara seorang gadis memanggil namanya, terdengar dari suara cemprengnya ia tidak asing lagi.

"Mia, kau sudah mendapatkan tanda tangan Leonardo?" Mia merasa prihatin. Bertemu Leonardo Di Caprio? Bahkan masuk ke dalam gedungnya saja boro-boro.

"Maaf Pixie, sepertinya Leo tidak datang," Mia berjongkok agar bisa menatap wajah gadis kecil yang baru berumur lima tahun tersebut, "Tapi kau bisa meminta tanda tanganku. Suatu saat aku pasti menjadi aktris yang hebat."

"Tidak. Aku lebih menyukai Leo," balasnya polos lalu langsung berlari pergi. Mia tertawa, Ayah dan Ibu Mia pun sama.

"Ayolah Mia, kita masuk ke dalam. Salju semakin lebat, bisa-bisanya kau tidak memakai baju hangat," ajak ayahnya.

Ketika Mia membuka pintu depan, ia terkejut. Ia mendapati seorang pria mengenakan hem biru dengan ujung lengannya digulung ditambah celana chino krem sedang duduk di sofa ruang tamu. Mata pria itu berbinar ketika melihat Mia.

"Mia," panggilnya langsung berdiri dan tersenyum.

"Steve." Ah sial! Mia masih saja terpukau akan senyuman Steve. Tolong, adakah antivirus untuk menghapus virus yang bersarang di chip otak Mia?

"Steve sangat merindukanmu. Dia sudah datang ke sini sejak dua jam yang lalu. Apa kau pergi ke Spanyol tanpa memberitahunya?" jelas ayahnya.

Tak ingin terlalu larut dalam suasana tersebut, Mia melangkah masuk ke kamarnya tanpa menjawab pertanyaan dari ayahnya. Ingin hati Mia menceritakan bagaimana kelamnya dan kejamnya Steve terhadap Mia. Tetapi apa mau dikata, Steve sangat pintar mencuri hati ayah ibunya. Sejujurnya, Mia lebih memilih pulang ke rumah ayah ibunya daripada apartemen karena ia tidak ingin bertemu dengan Steve disana. Tetapi apa mau dikata, pria licik itu benar-benar tahu keadaan.

Sesampainya di dalam kamar, Mia terpukau. Masih saja tidak ada yang berubah semenjak ia meninggalkannya setelah lulus dari SMA. Suara ketukan pintu terdengar, Mia sangat yakin akan sosoknya.

"Masuklah," jawabnya.

Steve menutup pintu kamar Mia yang berwarna putih tulang. Steve sepertinya ikut terpana dengan ruang kamar Mia.

"Wow, aku tidak tahu kau mempunyai kamar bagus seperti ini." Mata indah berwarna biru dari Steve sangat bisa mengelabui siapapun. Basa-basi Steve sangat klasik.

"Ayah ibu tidak sedang mendengarkan?" Tanya Mia to the point. Steve paham Mia sedang sangat serius sekarang. Tatapan matanya begitu tajam menghujam.

"Mia, dengar ... Aku minta maaf. Aku tahu kau pasti marah. Anna, dia hanyalah temanku. Aku—"

"Oh benarkah? Menyembunyikan handphone di balik bantal, menerima panggilan darinya saat makan malam bersama, dan juga memasang nada dering sendiri untuknya? Apakah itu normal dari seorang pria yang sudah berkomitmen dengan gadis yang ia sebut pacar dan tinggal satu apartemen?" Mia berbicara dengan menekan setiap perkataan.

Mi Corazone (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang