There You'll Be #36

956 77 17
                                    

Marc menonton televisi dari kamarnya. Sebuah acara olahraga perlombaan Paris Terbuka untuk para pemain handal tennis dari seluruh dunia. Well, setiap perlombaan tennis diadakan di pagi dan siang hari. Ia lebih memilih untuk menonton acara tersebut di kamarnya karena ia merasa kesepian jika harus menontonnya dari ruang tengah, walaupun layar tv disana lebih besar. Jangan katakan bahwa dia akan ditemani Mia.

Setelah beres dengan mengepak barang-barangnya dalam koper. Mia berkacak pinggang mengamati kamar tersebut. Ia berhasil merapikannya kembali dan tampak rapi bersih seperti sebelum ia datang. Ia sangat berterima kasih pada Mama Roser yang sudah dengan susah payah berjuang menghias kamar tersebut hanya untuknya. Mia berjanji pada dirinya sendiri, ia pasti akan membalas kebaikan Mama Roser suatu saat.

Selesai mengamati, Mia menggeret kopernya dekat dengan ambang pintu. Walaupun ia sudah menghabiskan waktu untuk memuaskan diri berada di dalam rumah tersebut agar tidak merasa kehilangan setelah ia pergi dari sini, di dalam hatinya masih saja terselip perasaan yang mengganjal.

Mia menatap pintu kamar Marc Marquez. Pintu tersebut separuh terbuka, mungkin hanya akan pas jika tikus memasukinya tanpa menyentuh sedikitpun pintu tersebut untuk terbuka. Suara televisi hidup pun terdengar keras dari dalam sana.

Jika dipikir-pikir, kejadian tadi pagi masih terasa sangat canggung. Marc masih berbeda dari sebelumnya. Benar apa kata orang-orang, sakit di hati merubah sikap bahkan bisa sampai ke penampilan.

Mia sadar, dirinya mungkin sampai kapanpun tidak akan pernah kembali kesini lagi. Ia berada di jalan buntu atas semua yang terjadi. Terselip ide di otak Mia. Entah ini adalah perbuatan yang benar atau salah.

Mia berjalan mendekati. Dari pintu yang sedikit terbuka itu, Mia bisa melihat jika Marc sedang menonton perlombaan tennis di Paris. Mia mengepalkan tangannya untuk mengetuk pintu. Sebelum melakukannya, apakah Mia yakin ini jalan yang akan ia ambil?

Mia memantapkan diri dan mengetuk pintu. Marc terkejut, ia segera bangun dari posisi tidurannya dan berjalan ke arah sumber suara. Dirinya mendapati Mia yang sedang menatapnya aneh.

"Hey, kau butuh bantuan?" tawar Marc. Sebelumnya, Marc pernah berkata jika Mia membutuhkan sesuatu, panggil saja dirinya yang berada di kamar.

"Aku ... aku akan segera pergi. Jadi, bisakah aku masuk, karena—" Mia tidak tahu apalagi alasan yang bisa ia keluarkan.

"Sure, sure. Masuklah tidak apa. Kau juga belum pernah melihat kamarku." Marc menggeser posisi dirinya berdiri mempersilakan Mia untuk masuk. Ia tahu, selama ini Mia sangat penasaran akan kamar tidur Marc.

Mia berjalan memasuki dan terkagum. Aroma kamar ini persis seperti wangi tubuh Marc, menenangkan. Terdapat televisi di atas perapian, satu kursi empuk tinggi, satu meja kerja beserta kursi putar. Lampu tidur dan nakas berada di sebelah kanan tempat tidurnya. Tempat tidurnya pun berwarna putih bersih satu paket dengan sprei. Benar-benar bersih dan futuristik.

"Wow, aku kagum dengan kamar laki-laki yang bersih," puji Mia masuk ke dalam.

"Kau pasti berpikir kamar laki-laki akan bau dan jorok. Aku selalu membersihkannya setiap hari, jadi aku selalu menjaga kebersihannya," balas Marc menutup pintu dan berkacak pinggang menghampiri Mia. Seperti halnya kini ia menjamu seorang tamu ke dalam istananya.

"Ternyata kini kau sedang menonton acara olahraga?" Mia melihat televisi yang menyala. Menampilkan seorang laki-laki yang berteriak senang karena baru saja mendapatkan poin.

"Entahlah. Saat aku sedang mengganti channel, aku menemukan perlombaan seperti ini." Pikiran Mia berkecamuk, haruskah ia merelakan sesuatu yang berharga darinya untuk Marc sebelum ia pergi?

Mi Corazone (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang