He Won't Go #71

885 70 3
                                    

Perhatian!

Part dibawah akan saling berhubungan dengan part sebelumnya. Jadi, diharap yang belum membaca, silahkan kembali membuka part terakhir sebelum update pagi ini agar tidak kebingungan ^^

Mia dengan bertelanjang kaki, berjalan berjinjit mencoba berusaha sebisa mungkin untuk tidak menghasilkan suara. Ia mendongakkan wajah menilik jam dinding, sudah pukul dua belas malam tepat.

Sesekali ia menoleh ke belakang menatapi wajah yang sedang tertidur pulas tersebut. Terlihat teduh dan tenang. Marc kalau tidur ternyata tidak ngorok ya.

Ide menggantikan dirinya dengan bantal guling untuk Marc peluk adalah hal yang cukup brilian. Mengingat tadi ia hampir kehabisan oksigen karena daya peluk Marc yang luar biasa. Efek rindu mungkin~

Mia membuka pintu itu dengan hati-hati dan beranjak menuruni tangga. Ia masih ingat jika ia mempunyai janji dengan seseorang. Lantai yang didominasi oleh kayu halus desain mediteranian itu terasa dingin di kaki Mia.

Ia celingak-celinguk mencari sandal tetapi sayangnya ini adalah motel, bukan hotel yang menyediakan sandak khusus. Seseorang yang masih santai duduk di balik meja menatap layar handphone-nya terkejut, membuat Mia lega.

"Tidak bisa tidur?" sapa Mia berjalan mendekatinya.

Jean menoleh. Tentu saja, tidak ada orang selain dirinya ataupun tamu yang belum bisa tidur berani membuka percakapan tengah malam seperti ini.

"Hah, Nyonya Stone?"

"Just, Mia. kurasa kita seumuran," sergah Mia yang tidak merasa nyaman dengan nama panggilan itu. Meski ia sudah menjadi seseorang yang sangat dikenal di kalangan publik dunia, ia tidak ingin namanya berubah walau dengan masyarakat kelas atas sekalipun.

"Ya. Aku harus menjaga motel ini." Jean terlihat sangat kaku. Ia berdiri dari duduknya dengan mata berbinar-binar memperhatikan Mia.

"Santailah. Aku hanya tidak bisa tidur dan butuh teman untuk bercerita." Mia memangku tangan di atas meja resepsionis tersebut.

Jean masih terlihat gemetar dan mengatur nafasnya. Mia mentautkan kedua alisnya benaknya bertanya-tanya.

"Kau menjaganya sendirian? Kalau kau menjaga sendirian, kenapa pintunya sudah ditutup?"

"Ya aku sendirian. Sang pemilik hanya datang seminggu sekali. Atau aku bisa meneleponnya karena ada—"

"Oh tidak. Jangan, ini sudah larut malam. Tidak apa. Kau bisa menyampaikan salam dariku untuknya besok pagi." Mia tahu apa yang akan Jean ucapkan pada pemilik motel ini jika ia tidak memotong ucapannya.

"Apa ini? Espresso?" Mia meraih secangkir minuman dari sebuah mug bergambar menara Eiffel dengan kepul asap mengudara di atasnya.

"Ya. Minum saja, itu masih baru. Aku belum mencicipinya kok."

Jean memamerkan senyumnya yang lebar menampilkan deretan giginya yang rapi. Ia mengangguk cepat seperti boneka mainan pasar malam.

"Kau berlibur disini atau kau sedang proses pengambilan gambar untuk film terbarumu?" tanya Jean setelah jeda hening.

Sebelum menjawab, Mia meneguk minuman itu sampai setengah habis. Ah leganya, ia menahan rasa haus sejak dari restoran Italia tadi.

"Tidak. Aku hanya sedang membantu temanku. Jadwalku untuk pengambilan gambar film terbaru masih beberapa bulan lagi," balas Mia ramah.

"Kalau boleh tahu, dia siapa?" Jean berbisik sekaligus memajukan wajahnya. Sebenarnya ia enggan mempertanyakan hal itu, tetapi rasa penasarannya sudah berada di atas puncak.

Mi Corazone (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang