Mi Corazone #1

9.6K 312 77
                                    

Aku mengepalkan kedua tanganku menatap pria itu dari balik layar kaca. Bibirku tak pernah berhenti untuk berbisik, mengucapkan doa yang terbaik untuknya. Mungkin sekarang ini mataku berkaca-kaca. Semuanya sibuk jika hanya ingin menatapku. Lagipula tidak ada pentingnya.

Siapa yang tidak takut jika orang yang disayangi ternyata sedang memacu kendaraannya, dengan kecepatan lebih dari serratus kilo meter per jam pula.

Saat aku memikirkan itu semua, banyak suara teriakan kekecewaan secara tiba-tiba dan memekakkan telinga. Suara itu sangat dekat, bahkan ada di sebelah kananku. Jose, sahabat Marc Marquez, terlihat sedang memegangi kepalanya kuat-kuat. Ada apa ini?

Kulihat di atas layar monitor paddock. Motor berwarna orange dengan bernomor balap 93 sedang mencoba menghentikan badannya yang sedang tergeleser di aspal dan gravel. Hatiku mencelos. Serasa gravitasi tak lagi memangku badanku yang kecil dan tak berdaya.

Papa Julia terlihat kesal. Sangat kentara bagaimana ia menggertakkan gigi-giginya. Kacamata nya pun tidak bisa menyembunyikan ekspresi kemarahan yang keluar dari matanya.

Kurasa, tidak ada kesempatan untuk Marc kembali membalap. Sejauh yang kulihat hanya motornya yang memang hampir hancur. Mack yang ada dibelakang Marc dengan cepat menjelajah di depan memimpin. Firasatku benar, apakah Maverick adalah orang yang akan menghancurkan kejayaan Marc tahun lalu?

Aku memegangi dadaku yang tiba-tiba terasa sesak. Kegelisahan menghinggapi sampai membuat bulu kudukku berdiri. Entah sudah berapa lama aku berpikir. Tiba-tiba Marc yang masih mengenakan helmnya tiba di paddock, dengan bantuan seorang pria mengendarai motor matic berwarna putih bersih. Gaya berjalan Marc pun menampilkan kekecewaan berat.

"Marc?" sahutku yang tidak ia gubris. Dia tetap berjalan menuju kursi empuk kebesarannya.

"Jose?" aku mencoba meminta saran pada Jose. Dia menoleh. Tatapannya seolah-seolah memberi jawaban.

"Maaf Mia, mungkin bukan sekarang. Biarkan dia sendiri. Bukan aku membencimu, tetapi lebih baik jika kau memberinya ruang dengan menjauh dari sini." Nada lembut Jose seakan-akan berubah menjadi pedang Goblin yang menghunus mata hatiku.

Aku tidak paham dengan maksud Jose. Tetapi aku tidak mempunyai alasan yang cukup untuk tetap tinggal. Aku ingin mencoba mengerti perasaan Marc. Tetapi, untuk yang kedua kalinya, aku dalam keadaan yang kacau. Aku ingin tetap tinggal untuk berada disisinya. Tetapi untuk yang ketiga kalinya, sekarang ini, aku siapa untuknya?

Lama aku menunggu diatas sini. Di ketinggian gedung dibalik podium kejayaan bagi pemenang di sirkuit Termas De Rio Hondo, Argentina. Bahkan aku sampai lupa bersama siapa aku berangkat tadi. ya, kuputuskan untuk menerima saran dari Jose. Atau kata yang lebih baik, pengusiran.

Kudengar kicauan burung bersama kawanannya. Kicauan merdu itu kini layaknya tawaan. Enak sekali mereka tertawa di atas penderitaan orang lain?

Sebuah suara orang yang menaiki tangga datang. Ada beberapa orang memakai baju hem putih polos tanpa corak datang. Name tag yang menempel di dada menandakan bahwa mereka merupakan bagian dari panitia race hari ini.

"Maaf Nona, anda tidak bisa tinggal disini. Para pemenang akan menerima kemenangannya di podium," ucap salah seorang pria berkepala plontos. Aku teringat wajah pria ini, mirip tokoh Ayah Sam Witwicky dalam film Transformers.

"Siapa yang memenangkan race kali ini?" tanyaku.

"But you can't stay here now. Silahkan pergi!" perintahnya kini terdengar lebih tegas.

"Kau tidak menjawab pertanyaanku. Siapa yang menang di balapan ini?" aku berusaha sedikit menekan nada bicara. Yah walaupun suaraku cempreng. Setidaknya aku sudah mencoba.

"Silahkan pergi atau anda saya seret keluar secara paksa!" tangan pria ini memegangi pergelangan tanganku. Sangat erat bahkan aku bisa membayangkan warna kulitku akan berubah menjadi merah.

Aku mengalihkan pandangan pada teman pria ini. Dia tidak membantu, tetapi tentu saja dia berharap hal yang sama agar aku pergi.

"Aku dari paddock milik Team Honda Repsol. Aku dari tim Marc Marquez." Sial, mereka tidak menggubrisku.

"Maaf, tetapi Marc tidak beruntung hari ini. Silahkan pergi." Sejenak dia berhenti menyeretku, namun pandangannya masih sama menusuk. Sedetik kemudian dia kembali menyeretku dengan tenaga yang jauh lebih besar.

"Hey hey, apakah baik-baik saja disini?" sebuah suara yang sangat aku kenal. Aku menoleh padanya.

"Mia? Kenapa kau ada disini?" Maverick mengerutkan alisnya.

"Mia? Kau baik-baik saja?" timpal Valentino Rossi. Oh ya tuhan, aku merasa tengsin di depan idola ayahku ini. Aku lebih menyukai pertanyaan Vale daripada Maverick walaupun aku lebih dekat dengannya.

"Tidak apa-apa. Lepaskan dia. Aku ingin berbicara sesuatu," ucap Mack melepas pergelangan tanganku dari tangan setan jelmaan Kyuubi ekor sepuluh. Memang ya, the power of artist itu memang adanya. Sekarang aku lebih menyukai tindakan Mack. Tak kusangka ternyata banyak kamera yang sedang merekam kami.

"Maverick, aku malu. Aku tidak tahu jika kita sedang diliput," ucapku berbisik dan menutupi sebagian wajahku dengan telapak tangan.

"Tentu saja. Karena kau sedang berdiri dihadapan pemenang race hari ini," balasnya tak kalah berbisik. Aku membulatkan mata. Maverick, pemuda yang dua kali memenangkan race di tahun perdananya bersama tim Movistar Yamaha.

"Uhm ... jadi kau ingin pamer? Aku tidak butuh pamermu. Aku malah berharap Marc yang menang hari ini." aku memajukan bibirku beberapa senti.

"Tidak. Kau tahu aku tidak pernah pamer padamu. Yah, awalnya aku juga mengira Marc yang akan memenangkan balapan hari ini. Lagipula lihatlah, kau ini lucu kalau sedang cemberut." Jujur secara pribadi dari hati. Aku merasa pipiku seperti kepiting rebus sekarang. Tanpa ada hujan dan badai. Sebuah kecupan mendarat di bibirku.

Aku mencoba menerka wajah yang ada di hadapanku. Tangan kanannya mengangkat topi birunya ke atas. Wajah putih milik Mack menyentuhku. Terasa intens. Aku terlarut dalam ciuman Dewa Aphrodite ini. Maverick akhirnya melepaskan ciumannya dan menatapku sembari tersenyum.

"Look, apa yang selalu aku bilang. Aku selalu mempunyai kesempatan untuk menciummu." Dia kembali berjalan. Melewatiku yang masih terpaku.

Ini seperti mimpi. Berciuman dengan pemenang race dibalik podium pemenang. Berciuman dengan seorang jomblo segar. Diamati idola ayah, dan pria ganteng dari Italia seperti Valentino Rossi dan Andrea Dovizioso. Diselamatkan dari rasa tengsin karena diusir. Dan direkam oleh kamera.

Tunggu, direkam kamera dan ditayangkan secara langsung?

God, I fucked up, now!

Mi Corazone (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang