Rendezvous #3**

2.1K 151 4
                                    

Marc memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku jaket. Tentu saja udara dingin masih bisa mengalahkan kehangatan tubuh kekar milik Marc. Ia melirik Emilio yang ada di sampingnya. Pria yang hampir paruh baya itu masih sibuk berpacaran dengan hape miliknya. Marc mencoba melirik dan mengintip untuk mengetahui apa yang sedang dilakukannya selama hampir sepuluh menit itu.

"Itu jari-jemarimu, apa tidak pegal?" celetuk Marc.

"Aku juga sedang membaca berita tentang perkembangan tim sebelah," balas Emilio mengucapkannya cepat dan tidak menoleh pada sang penanya.

"Untuk apa?"

"Tentu saja kita bisa mengambil keuntungan apabila berita itu memuat kelemahan tim biru. Kau bahkan mempunyai saingan baru." Secara tidak sengaja, Emilio mengingatkan kembali akan kedatangan monster dari tim biru garpu tala. Bukan tapir biru loh.

Satu nama yang terlintas di benak Marc, Maverick Vinales. Teman saat ia masih kecil, mempunyai hobi yang sama, namun tak pernah menang melawan dirinya. Meski demikian, Marc tidak tahu kabar mengenai pria yang sering dipanggil Mack itu. Bisa saja selama beberapa tahun ini, lelaki itu sudah menjadi pembalap dengan skill yang mumpuni.

"Kenapa diam? Kau takut dengannya?" suara Emilio membuyarkan lamunan Marc.

"Tentu saja tidak. Aku hanya takut dengan Valentino," ucapan Marc mendapat senyuman kecil dari Emilio. "Tetapi, ada sesuatu di diriku yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya yang mencoba memberontak dengan semua ini."

Emilio berhenti berjalan dan menatap ke depan. Pandangannya kosong selama beberapa mili detik. Marc heran, tiba-tiba manajernya ini menghentikan langkah. Akhirnya Emilio menghadap Marc dan menatapnya dalam.

"Berubahlah dewasa. Kau tidak akan selamanya berumur dua puluh tiga tahun. Berpikir dewasalah dalam membalap. Pikirkan orang-orang yang selalu mendukungmu, jangan kecewakan mereka. Kenapa? Karena kau adalah anugerah terindah yang aku temukan. Saat melihatmu masih kecil, aku melihat potensi besar dalam dirimu. Oke?" jelas Emilio yang akhrinya bisa mematikan hapenya itu.

Hanya anggukan oon yang bisa Marc lontarkan. Mau bagaimana lagi? Saat Emilio berdakwah, seratus persen tidak bisa diganggu gugat.

Marc melihat template nama café itu. Madrid Night Café Bar, baru kali ini ia menemukan café di jalanan yang relatif sepi di Madrid. Alunan suara musik yang sepertinya menenangkan terdengar sayup-sayup. Suaranya dari dalam.

"Kau yakin ini café nya?" Tanya Marc memastikan.

"Tentu saja. Ayo." Emilio kembali berjalan untuk memasuki café tersebut.

"Jangan bercanda. Aku tidak tahu jika kau senang menghabiskan waktu disini." Ucapan Marc hampir terpenggal ketika memasuki café itu.

Banyak sekali pengunjung malam itu. Banyak pria muda sedang meminum champagne maupun wine dan tidak menutup kemungkinan banyak gadis-gadis sedang menghabiskan Friday night-nya disini.

Ah sial, ini Friday night. Bulu kuduk Marc berdiri seketika. Gadis-gadis, satu kata dari sekian ketakutan Marc yang paling ia takuti. Pandangan Emilio bergerak ke arah yang sama, tak heran jika ia mendapati tatapan Marc seperti baru saja melihat hantu.

"Marc, kau ingin memesan apa?"

"Sama sepertimu tadi." Kelihatannya ia masih mupeng dengan kopi yang menggiurkan yang dibawa Emilio.

"Lebih baik kau mencari tempat duduk yang aman dari pandangan gadis-gadis itu." Emilio mengedipkan sebelah matanya. Sial kau manajer, batin Marc.

"Alright, this is my last song. I promise," ucap seseorang yang Marc dengar melalui microphone.

Suara itu kemudian diikuti suara tepuk tangan yang riuh. Marc menoleh ke arah sumber suara yang notabene berada di ujung depan matanya. Seorang gadis pirang, bersama dengan empat pria memegang alat musik menurut keahlian masing-masing.

Gadis itu mengenakan baju putih berlengan panjang dan celana chino perempuan berwarna hitam. Bagian ujung lengan bajunya ia gulung sedikit ke atas. Dia terlihat sebagai tamu yang cantik, tapi kenapa bajunya sama dengan pelayan? Jikalau dia pelayan, kenapa tidak memakai clemek seperti lainnya?

Suara gitar elektrik mulai mengalun dengan kunci awal C minor. Pria berkepala botak yang memainkan gitar sepertinya sudah bertahun-tahun mendalami peran ini.

"I've made up my mind. Don't need to think it over if I'm wrong I'm right. Don't need to look no further this ain't lust. I know this is love but," gadis berambut pirang dengan lipstick merah muda menempel di bibirnya, "If I tell the world. I'll never say enough 'cause it was not said to you. And that's exactly what I need to do if I'm in love with you." ***

Marc terhipnotis dengan semua itu. Entah sudah berapa lama ia tidak menyaksikan penampilan musisi, bahkan musisi jalanan pun. Ia terlalu sibuk untuk memikirkan pekerjaannya. Bahkan untuk mendekati wanita saja ia seperti tidak ada kesempatan.

Musik berbicara semuanya seperti mengalir begitu apa adanya. Tetapi dengan arus yang jelas dan jernih. Gadis pirang memakai baju putih itu, menyanyi dengan perasaannya. Kenapa dia tersenyum dengan lagu seperti ini?

"Thank you, guys." Tutup Mia sedikit membungkukkan badan. Tepuk tangan dengan nada terpesona saling bersahutan. Mia menatap seorang pria yang ada di ujung tepat sebelum pintu keluar berada.

"Hey, bukankah itu Marc Marquez?" teriak salah suara dari sudut kanan café ini.

Mia mendengar sebuah teriakan itu. Ia menoleh padanya. Terlihat seperti seorang gadis sosialita khas Spanyol sedang menunjuk pria yang berdiri mematung disana memandang dirinya juga.

Marc merasa akan ada hal buruk datang melihat tiga orang gadis itu berdiri dan sepertinya beranjak untuk membunuh Marc. Well, itu sebutan untuk orang-orang yang tergila-gila pada Marc ketika bertemu.

Mia turun dari panggung kecil tempat dimana band itu berada. Mia merasa akan ada sesuatu yang tidak mengenakan terjadi di café ini. Mengingat bagaimana penampilan pria yang gadis-gadis itu tunjuk seperti seseorang yang terkenal. Lagipula, tidak mungkin mereka berteriak memanggil teman mereka sendiri se-histeris itu.

Tanpa aba-aba pada dirinya sendiri, Marc berlari menuju ke dalam café untuk mencari perlindungan. Tangan Marc meraih pergelangan tangan Mia yang baru saja berhasil turun dari panggung. Marc berpikir, sepertinya gadis ini mengenal seluk beluk tempat yang ada di dalam. Ditambah sepertinya gadis ini tidak mengenal dirinya, dilihat dari bagaimana ia langsung mengalihkan pandangan setelah melihatnya sesudah bernyanyi di atas sana.

"Wait what are you doing?" Tanya Mia setengah berteriak. Tentu saja ia mau tidak mau harus mengikuti alunan langkah berlari Marc.

"Tolong bantu sembunyikan aku dari sini," balas Marc dengan bahasa inggrisnya yang memang kental dengan aksen Spanyol.

"Apa? Aku tidak bisa mendengarmu," balas Mia mengorek-orek telinganya sebagai pertanda. Sepertinya Mia mendengar Marc berbicara dengan bahasa spanyol.

Suara teriakan kembali terdengar semakin dekat. Marc menoleh memperkirakan jarak mereka. Mia mulai mengerti kenapa.

Tiba-tiba Mia menarik tangan Marc yang belum siap untuk berlari. Mia hafal betul letak pintu belakang tempat dimana ia masuk bersama Betty tadi.

Mia dan Marc berlari saling bergandengan tangan menyusuri jalanan Madrid yang penuh dengan gemerlap lampu dibawah sinar beribu bintang.

---

*** Adele - Chasing Pavements

Mi Corazone (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang