Good Bye #32

899 77 25
                                    

Belum juga Marc memutuskan panggilannya dengan orang di seberang telepon, Marc berbalik dan terlonjak kaget mendapati sesosok wanita sedang menatapnya.

Dari keringat yang sedang mengucur dan nafas yang tersengal-sengal, Marc bisa mengetahui jika wanita itu baru saja berlarian. Tidak henti-hentinya Mia mengatur pernafasannya.

"Marc?" panggil Mia dengan nada bergetar karena kelelahan. Walaupun begitu, Marc masih saja terpesona dengan wajah cantik Mia. Gadis itu selalu saja terlihat cantik dimanapun dan kapanpun.

"Apa yang kau lakukan disini? Kau mengagetkanku saja!" balas Marc mematikan panggilan teleponnya dan memasukkan handphone-nya ke dalam sakunya. Duh, kenapa Marc harus menjawab dengan kata-kata itu? Otak Mia kan harus berpikir ulang.

"Aku merindukanmu, Marc." Satu kata sukses menggetarkan naluri sanubari seorang Marc Marquez. Tetapi, rasa yang baru saja Mia dan pacar yang sesungguhnya tinggalkan sekitar lima menit lalu itu seketika mengubah suasana.

"Kau yang sudah bertunangan tidak seharusnya merindukan pria lain. Kau akan dianggap tidak setia. Kau tahu itu," balas Marc dengan nada menyindir dan secara halus. Oke, Mia merasakan tekanan pada ucapan itu.

Mia berpikir kembali, sebenarnya untuk apa dirinya menemui Marc? Bukankah ia akan membunuh harga dirinya sendiri?

Namun tidak ada jawaban dari Mia. Marc mengangguk paham. Ia tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan gadis yang sukses menghancurkan hatinya. Marc berpikir, seperti inikah perasaan patah hati? Apakah dulu Laia merasakan rasa yang sama?

"Aku ucapkan terima kasih, Mia. Setidaknya kaulah orang pertama yang mengajariku untuk mengenal patah hati." Tanpa berhenti Marc berjalan melalui Mia yang masih berdiri mematung.

"Marc?" panggil Mia berbalik ketika ia menemukan fakta bahwa selama ia berpikir keras tadi, Marc melangkahkan kakinya untuk menjauh. Tetapi panggilan Mia yang terdengar berteriak itu tidak Marc gubris. Pria itu tetap saja yakin untuk melangkah pergi.

"Aku pernah berkata kepada seseorang. Aku perasa yang mudah merasa untuk sebuah rasa yang kadang justru membuat tersiksa. Entah dia masih mengingatnya atau tidak. Selama dengannya, aku pikir aku menjaga, tapi ternyata melepas ikatan, membuat yang tertangkap menjadi hilang perlahan-lahan," perkataan Mia tidak Marc pedulikan. Ia memilih menutup perasannya rapat-rapat. Ayolah, dia kan seorang aktris, batin Marc.

Semakin dirasa, langkah Marc semakin menjauh darinya. Mia melangkahkan kaki dengan gontai menjaga agar jaraknya tidak dirasa jauh dari pria yang baru ia sadari sangat ia cintai tersebut.

"Di dalam jatuh cinta yang hebat, tersimpan bakal patah hati yang dahsyat. Tetapi denganmu, aku rela merasakan itu semua. Dan aku rela disakiti olehmu karna aku terlalu mencintaimu, Marc," tidak cukup, ini belum cukup untuk meyakinkan Marc. Tidak cukup untuk membuat langkah Marc berhenti, dan tidak cukup untuk membuat Marc kembali.

"Aku akan selalu menikmati luka, apalagi itu darimu, rasanya manis, terlebih wajahmu turut selalu ada. Kau bisa memperlakukanku apapun Marc. Please, stay with me, tetaplah disini!" Mia perlahan menghentikan langkahnya. Tidak ada harapan, pria berbadan tegap yang ia kejar tidak sekalipun berhenti atau sekedar memperlambat kakinya.

Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, kakinya lemas serasa tak lagi bisa menopang berat tubuhnya yang seperti lidi di belah dua. Mia mulai menyeka bulir-bulir air mata yang jatuh di pipinya. Tidak, ia tidak akan terlihat cengeng. 

Mia berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangisan. Ini memang salah, Mia tidak seharusnya bertemu dengan Marc. Ia tidak seharusnya jatuh cinta dengan pembalap dua puluh tiga tahun tersebut.

"Seseorang pernah berkata padaku, kita hanya dua orang yang kebetulan mempunyai kemiripan nasib, tidak dengan perasaan. Tak apa jika pada akhirnya kau lupa, Marc. Lupa padaku yang pernah berulang-ulang jatuh cinta. Perlu kau ketahui, aku memilih berjuang untukmu bukan karena takdir. Tetapi karena aku ingin."

Tidak ada lagi langkah kaki, Mia terlalu sibuk mengusap air mata yang jatuh. Tidak ada lagi langkah kaki, pasti pria itu sudah pergi. Tidak ada lagi langkah kaki, pasti perasaan Mia telah terbawa olehnya. Hanya aroma parfum yang masih tertinggal dihembuskan oleh angin yang saling bergesekan. Mungkin suaranya tadi tidak cukup didengar oleh Marc.

"Aku mendengarmu, kau ini ternyata cerewet ya?" sebuah suara cempreng tepat di depannya membuat Mia mendongakkan kepala.

Terlihat Marc sedang menatapnya tersenyum. Seperti tidak percaya, Mia kembali mengucek kedua bola matanya. Benar, tidak ada yang berubah.

"Kau kira aku ini hantu?" Marc mentautkan kedua alisnya menatap Mia heran.

Bukannya menghentikan tangisan, Mia kembali menitikkan air matanya dengan volume yang lebih banyak lagi. Marc tidak tahu apa yang harus ia lakukan, apa lebih baik tadi dia pergi saja ya dan menemui Mia esok hari. 

Kalau tahu seperti ini kan Marc akan pergi saja dan tetap melangkahkan kaki keluar dari taman, ditambah Mia menangis seperti anak kecil lagi.

Marc dengan kedua telapak tangannya yang halus dan kekar memegangi wajah Mia. Ia mendongakkannya dan dengan jari-jemarinya Marc menghapus air mata di pipi.

"Sudahlah. Aku tidak apa-apa. Aku akan selalu berada di sisimu. Aku akan membantumu sebagai teman yang baik," bukan itu. Mia tidak ingin mendengarnya. Ia kira Marc kembali untuk dirinya.

"Aku tidak bisa lagi, Mia. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubunganmu dengannya. Aku tidak marah padamu kok. Berjanjilah bahwa kita masih berhubungan dengan baik sebagai teman ya?" Marc menatap mata Mia dalam. Sungguh, mata elang Marc memang menghipnotis.

Berakhir kah sampai disini? Mia memandang mantap mata Marc. Dapat Mia lihat luka menyala di matanya, dan ia tahu betapa keras tlah Marc coba. Selama ini Mia berusaha memantaskan diri untuknya. Tetapi Marc layak mendapat yang jauh lebih baik.

Ia tidak ingin terlihat seperti gadis bodoh dan lemah yang meminta belas kasih. Jika dipikir-pikir, Mia masih bisa bertemu dengan Marc walaupun hanya sebagai teman. Setidaknya itu menjadi penenang pikirannya sesaat. Tetapi, siapkah Mia jika suatu saat temannya itu menemui cinta yang lain?

Benar. Mimpi Mia benar-benar terjadi. Saat ia terbangun di salah satu hotel di Los Angeles, ia memimpikan dirinya dan Marc, tetapi dalam hubungan yang berbeda. Sebuah penglihatan yang menjadi nyata.

Suatu saat, ia menemukan Marc sedang melambaikan tangan pada seseorang. Gadis itu mengenakan dress emas dan rambut bersemprotkan hairspray berwarna keemasan. Bisa Mia lihat ekspresi Marc sangatlah bahagia. Yang pasti, wanita itu bukan dirinya. Tetapi entah mengapa walaupun sekedar mimpi, tetapi terasa sangat nyata. Rasa sesak menghantam dada Mia secara tiba-tiba.

"Aku sangat mencintaimu, Marc. I'm always gonna love you," celetuk Mia berusaha membantah dan mengingkari sebuah mimpinya. Ia tidak akan membiarkan mimpi itu terjadi.

Marc tersenyum manis dan mengusap rambut Mia dengan lembut. Satu, dua, tiga. Nihil, tidak ada jawaban darinya. Hati Mia remuk redam. 

Tidak heran mengapa Jose sempat mengijinkannya menemui Marc. Bahwa pria itu tahu jika Marc adalah tipikal pria yang tidak mudah kembali kepada apa yang pernah menyakitinya. Mia paham betul perihal tersebut.

'Dugaanku benar, Marc. Aku kini adalah wanita yang paling beruntung, sebab aku pernah di bahagiakan olehmu,' batin Mia memejamkan matanya. Ia menyentuhkan keningnya pada kening Marc. 'Dan pada akhirnya, kita selalu dihadapkan pada kehilangan.'

"Kurelakan kenangan menyentuh keningmu agar ketika kau bangun, kau tidak merasa seperti dipeluk kesepian."  









:'(

Mi Corazone (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang