Marc masih setia membenamkan kepalanya diatas pundak Mia. Tangannya tidak bisa ia lepaskan dari pinggang wanita itu. Mata Marc terpejam tertidur.
Mia terus berusaha menghalau pikiran kotornya karena tubuh Marc yang memeluknya begitu erat dari belakang. Entah sudah berapa lama mereka berputar mengitari sirkuit. Hingga tiba saatnya Mia merasakan motor yang dikendarainya mulai goyah dan terasa berat ketika menarik pedal gas.
Mia celingak-celinguk mengamati apa ada sesuatu yang ia geret pada motornya. Motor itu akhirnya mengeluarkan bunyi yang tidak sedap didengar dan akhirnya macet di tengah sirkuit. Tetapi anehnya lampu depan masih menyala. Mia bersyukur setidaknya membantu penglihatan.
"Marc, motornya mogok. Marc?" Mia tidak mendapat respon apapun dari seseorang yang ia tanyai.
Ia menoleh kebelakang dan mengetahui fakta bahwa Marc telah tertidur. Pantas saja pria itu mengeratkan dekapannya. Padahal Mia sudah berpikiran kotor karena Marc.
"Marc, aelah bangun woy dasar kebo!" Mia menggeol-geolkan badannya dan berhasil membuat Marc hampir terjungkal.
"Kenapa sih? Aku lagi ngimpi kita pacaran," balas Marc monyong dan mengucek matanya. Loh? Sudah malam ya? Suasananya gelap.
"Motornya mogok. Aku tidak melakukan apapun."
Marc turun dan mengamati speedometer. Pantas saja macet karena bahan bakarnya saja habis.
"Kau ini memang tidak mendengarkan. Kalau panah ini berada di E, itu artinya kau kehabisan bensin." Marc mencubit pipi Mia dan menggerakkannya.
"Ya habis gimana. Kau terlalu asik memelukku sih jadi aku tidak tahu kapan harus berhenti." Marc menepuk dahinya kehabisan akal.
"Terus gimana dong?" rengek Mia membulatkan matanya.
Tidak ada acara lain lagi. Marc menghembuskan nafas berat. Sudah dipaksa bangun, disuruh dorong motor pula. Mana mereka masih di pertengahan sirkuit yang jauh dari paddock lagi.
"Kita dorong," perintah Marc menarik tangan Mia untuk turun.
"Marc ... tetapi aku lelah. Aku 'kan tadi disuruh mengantarmu berkeliling sirkuit karena tidak ikut merayakan kemenanganmu di podium. Kau juga menyender tubuhku erat sampai badanku pegal," alibi Mia yang malas untuk mendorong motor malam-malam seperti ini.
Hari apa ini? Nasib Marc seperti dipermainkan saja ketika bersama Mia.
"Aku saja yang dorong. Dasar manja!" cibir Marc pelan di akhir kalimat.
Mia tersenyum menggoda dan mengedipkan matanya dengan ritme. Kalau sudah begini mau diapakan lagi, Marc selalu saja luluh.
"Kita ada dimana? Masih jauh ya?" tanya Mia mengikuti langkah Marc yang sedang mendorong motor matik putih itu dari sisi kiri.
"Ya begitulah. Sialnya kita berhenti di tengah-tengah sirkuit."
"Kau marah ya, Marc?" nada bicara Mia berubah seakan ia menjelma menjadi anak polos yang berumur lima tahun. Ini dia keahlian Mia, meminta belas kasih dengan cara berpura-pura memanfaatkan bakatnya. Bahahaha.
"Enggak kok. Aku tidak pernah marah. Apalagi denganmu."
"Oh, jadi dulu ketika memukulku itu kau tidak marah, ya?" Mia bergaya berpangku tangan selayaknya detektif yang sedang berpikir keras.
Marc gelagapan ketika mengingat itu semua. Ia tidak tahu harus berkata apa. Marc merasa Mia sedang mempermainkannya dengan mengungkit masa lalu.
"Masa lalu biarlah masa lalu. Jangan kau ungkit jangan ingatkan aku. Seperti kata Mbak Inul," timpal Marc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mi Corazone (Marc Marquez Fanfict)
FanficDua orang yang dipertemukan entah karena nasib atau perasaan. Mia dan Marc adalah dua orang pemimpi besar yang dipertemukan secara tidak sengaja. Akan tetapi Mia tersesat ke dalam perjalanan perasaan yang tidak bisa ia tebak. *Setiap part sedikit, j...