All I Ask #83

1.1K 73 17
                                    

"Masuklah," perintah Mia datar.

Tidak seperti menjamu tamu yang lain, Mia tidak membiarkan Marc untuk masuk lebih dulu. Ia lebih memilih langsung nylonong masuk ke ruang tengah tanpa memedulikan Marc yang menutup pintu itu atau tidak.

Mia membenahi sofanya yang penuh keripik dan baju-baju yang berantakan karena ulah sahabatnya lalu. Mulutnya terkatup marah, tidak ada yang keluar walau hanya untuk berdehem.

Tiba-tiba dari belakang, seseorang memutar tubuh Mia dan memeluknya sangat erat. Mia tahu itu Marc, bukan demit ataupun setan di rumahnya. Mia tidak berkutik, bukan karena bingung tetapi ia tahu kini ia tidak bisa membendung lagi amarahnya. Ia tidak ingin meledak.

"Memeluk dan menciumku dengan nafsu tidak bisa membuatku begitu mudah memaafkanmu, Marc."

Marc tidak peduli. Hasrat hatinya terus ingin memeluk Mia se-erat mungkin, berharap bahwa ini bukanlah akhir. Satu hal yang baru Marc ketahui lagi, yaitu wangi rambut Mia berbeda. Kenapa sewaktu di motel Marc tidak menyadarinya ya? Atau, Mia yang sengaja mengganti samponya?

"Aku tahu kau sedang berpikir jika aku adalah orang yang tidak tahu malu karena masih berani menunjukkan diri di hadapanmu. Jadi, biarkan aku memelukmu sebentar saja. Lalu aku bisa kembali dengan tenang." Marc kembali mengeratkan pelukannya berharap Mia membalas juga.

Lama Marc menantikan balasan pelukan itu, namun tak kunjung datang juga. Marc tidak bisa menahan berat tubuhnya lagi. Kepalanya sangat pening, ia berdiri seakan tidak ada tenaga, seperti belum pernah Marc rasakan sebelumnya.

Kesadaran Marc mulai menurun, terlihat dari bagaimana ketika Marc melihat gorden yang tersibak terbuka itu menampilkan ombak pantai, ia malah merasa mual. Wah, jadi ini ya perumahan elit di Pantai Malibu? Marc tidak sabar ingin berenang bersama Mia besok.

"Marc, k-kau kenapa? Tubuhmu berat sekali." Mia merasa pelukan Marc mengendor dan berat ia rasakan ketika membalas pelukan itu.

Seperti tertidur, tubuh Marc lemas tidak berdaya. Ia pingsan. Untung Mia dengan cepat menahan tubuh itu untuk tidak menabrak dinginnya lantai. Kejadian ini seperti yang pernah Nick alami dan ceritakan ketika memapah tubuhnya yang sakit, begitu pikir Mia.

Dalam kepanikan yang teramat sangat, Mia segera merangkul tangan Marc dan membawanya ke dalam kamar tidur. Wajah Marc begitu pucat, bibirnya membiru.

Mia meraba denyut nadi yang ada di pergelangan tangan Marc, masih berdenyut dengan ritme yang konstan. Sepertinya niat untuk membawanya ke rumah sakit harus Mia urungkan, tidak terlalu parah. Intinya, Marc masih hidup.

"Dokter Dave? Hey, kau bisa kemari? Ya, di perumahanku di Malibu. Temanku tiba-tiba tidak sadarkan diri. Terima kasih."

Mia menutup panggilan kepada dokter pribadi Nick. Tidak ada orang yang terlintas di kepala Mia selain Dokter Dave gila yang penuh banyolan itu.

***

Gendang telinga Marc samar-samar mendengar dentingan piano dari luar kamar. Marc tersadar sepertinya kini ia bangun di atas tempat tidur milik Mia. Tercium dari wangi bantalnya yang masih menyisakan wangi rambut pirang gadis itu.

Marc melangkahkan kaki berjalan gontai mencari sumber suara. Terlihat seorang gadis mengenakan mini set berwarna hitam pekat dengan jari menari diatas tuts piano hitam putih. Dari belakang saja terlihat cantik, apalagi dari depan.

Marc senang mendapati momen seperti ini. Ia selalu memimpikannya. Dimana mempunyai seseorang yang dicinta, mempunyai orang untuk ditunggu, dan mempunyai orang untuk berkeluh kesah.

Mi Corazone (Marc Marquez Fanfict)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang