Seperti tidak percaya, kini Marc sedang berpegangan tangan dan berlari bersama seorang gadis asing berambut pirang. Rambut pirang itu bergerak ke arah tidak menentu mengikuti gerakan larian sang gadis. Yah, setidaknya Marc bersyukur dia bisa jauh dari kejaran gadis-gadis centil itu.
Mia yang tidak tahu arah terus saja berlari memegangi tangan pria asing tersebut. Saat nafasnya tidak beraturan dan pada akhirnya ia kesulitan untuk bernafas, Mia memutuskan untuk mengakhiri lari-berlari mereka.
Mia berhenti dan membungkuk memegangi lututnya. Ia mencoba menstabilkan pernafasan. Mulutnya terasa asam dan tenggorokannya kering. Mia melirik pria disebelahnya. Bahkan pria ini terlihat ngos-ngosan.
"Apa kita sudah cukup jauh?" Tanya Mia dengan nada yang tidak terlalu terdengar.
"Ya, kurasa begitu," balas Marc. "Terima kasih banyak."
Mia tidak menjawabnya. Malahan terdengar kekehan pelan keluar dari mulut gadis itu. Marc mengerutkan dahinya. Ada apa dengannya? Apa jangan-jangan dia orang gila?
"Apa ada yang salah?" Marc agak membungkuk agar bisa melihat wajahnya. Kekehan itu malah semakin keras dan menjadi tertawaan. Oke, Marc kini takut. Jangan-jangan dia juga bagian dari gadis-gadis centil itu?
"Aku tidak tahu siapa kau, tetapi kita sudah berlarian sangat jauh." Jawab Mia kembali menegakkan badan dan menarik mundur rambutnya yang berantakan. Syukurlah, dugaan Marc terbantah salah.
"Benarkah? Sekarang dimana kita?" Marc memegangi pinggangnya dan menoleh ke kanan dan kiri mencari tahu keberadaan mereka.
Hanya rumah-rumah khas negara Spanyol yang bertingkat dengan lampu depan yang menyala. Sepi bahkan hanya untuk suara binatang malam pun tidak ada. Hanya hening dan nafas tak beraturan yang keluar dari mulut mereka berdua.
"Kau tidak tahu?" nada riang Mia berubah menjadi khawatir.
"Kau juga tidak tahu?" Marc membalas bertanya.
"Really? Don't be kidding me. Oh My God, aku kini bertambah tersesat." Mia menengadahkan kepala dan menarik rambutnya. Hari apa ini, ia merasa semua yang ia lakukan salah. Marc menatap Mia heran, jadi gadis ini bukanlah dari Spanyol?
Marc mulai tertawa. Senang rasanya bisa menjahili seorang bule.
"Why are you laughing? Apa ada jigong di gigiku?" tanpa malu Mia menunjuk barisan gigi-giginya yang sebenarnya rapi dan bersih.
"Aku tahu jalan pulang dari sini. Ayo kita kembali," ajak Marc memberi tanda untuk berjalan dengan gerakan kepalanya.
"Kau mengetesku? What the.. Kau tahu, kau orang yang paling menyebalkan yang pernah aku temui saat pertama kali," Mia berbicara dengan menggertakkan giginya sambal mensejajarkan langkah dengan Marc, tetapi Marc kembali tertawa, "Apa? Kau senang bisa mengerjai orang asing sepertiku?"
"Kau pikir itu lucu? Huh, aku bahkan sudah menolongmu dari kejaran gadis-gadis itu." Menyadari apa yang gadis bule ini katakan, Marc menghentikan tawanya. Yah, malah kini dirinya yang merasa bersalah.
"Sorry." Marc memaksa untuk batuk agar tawanya segera berhenti. Hanya diam yang bisa Mia lontarkan.
Kini diam menguasai mereka berdua. Suara sepatu high heels Mia dan sepatu sport Marc saling beradu. Marc yang terlanjur merasa malu dan Mia yang terlanjur merasa bad mood sangat pas di keadaan seperti ini.
"Bagaimana dengan rumahmu? Apa kau punya rumah disini?" celetuk Marc memecah keheningan.
"Tidak. Aku tinggal di hotel."
"Kau bekerja di café tadi?" tanya Marc kembali setelah mendapat jawaban ketus.
"Tidak. Aku hanya mampir tadi."
"Tetapi kau memakai pakaian yang sama dengan para pekerja itu?"
"Aku tidak bekerja di café tadi. Aku meminjam pakaian ini. Aku menyanyi hanya untuk menghibur diri karena kegagalanku menghadiri acara penting. Kenapa aku meminjam dan apa acara penting itu? Ceritanya panjang, aku tidak ingin mengulang semuanya. Apa itu cukup membuatmu berhenti bertanya?" skak mat bagi Marc Marquez.
"Aku tahu kau bukan orang Spanyol. Jadi, kau dari mana? Prancis? Atau Italia?" mendengar pertanyaan lagi, Mia memutar bola matanya. Yang bertanya hanya bisa memandanginya dengan menaikkan satu alis.
Saat masih berjalan, Mia merasakan sesuatu yang sangat sakit di bagian kaki. Ia penasaran dan melepas sepatu high heels-nya. Betapa terkejutnya dia, kaki Mia berwarna kemerahan dan merasakan nyeri setiap kali dia menyentuhnya. "Aww!"
"Woah ... itu sepertinya lecet parah. Apa kau tadi berlarian dengan sepatu itu?" Marc membungkuk untuk memeriksa keadaan.
"Aku bahkan tidak sadar berlarian menggunakan sepatu ini. Aww!" Mia kembali menyentuh kaki-kakinya dan berteriak memanggil salah satu nama selebgram Indonesia. Eh.
"Kau tidak bisa berjalan dengan keadaan kaki seperti ini," saran Marc.
"Lalu bagaimana aku bisa pulang jika tidak dengan berjalan? Lagipula kenapa tidak ada taksi atau kendaraan apapun itu?" Marc sejenak berpikir keras.
"Kau akan ku gendong. Bagaimana?" mendengar hal itu, Mia membelalakkan matanya. Apa dia sedang modus dan mengambil kesempatan dalam kesempitan?
"Apa kau sedang berpikir jorok?" aksen British Mia mulai terdengar. "Kau jangan macam-macam denganku atau aku akan berteriak sekeras mungkin?"
"What? No! Anggap saja sebagai balas jasa kau sudah menyelamatkanku tadi." Mia tidak yakin dengan ini semua. Dia memikirkan apakah tawaran Marc sangat worth untuk diterima. Tapi, bagaimana lagi?
"Tidak. Aku tidak yakin denganmu." Mia mengamati secara detail bagaimana Marc. Tinggi mereka hampir sama walaupun Marc lebih tinggi sedikit, bahkan saat Mia mengenakan high heels malah lebih tinggi dirinya.
Marc menghembuskan nafas berat. Harus bagaimana lagi? Gini nih, Marc tidak ada kemampuan khusus untuk meyakinkan seorang perempuan.
"Anggap saja ini permintaan maaf ku karena menyinggung perasaanmu tadi. Aku berjanji akan menggendongmu sampai kau menemukan hotel tempatmu menginap. Bagaimana?"
Ingin menerima tetapi gengsi, ingin menolak tetapi hanya inilah kesempatan yang ia dapat saat ini. Mia mengutuk ketidakhadiran kendaraan sekarang ini. Ya sudahlah, fix ini worth it.
"Uhm ... baiklah jika kau memaksa. Tapi awas, aku bisa membaca pikiran. Jika kau berpikir mesum, akan ku pukul kau dengan sepatuku." Ancam Mia berjaga-jaga.
"Naiklah."
Marc setengah membungkukkan badannya. Mia melingkarkan tangannya di leher Marc dan Marc memegangi lutut Mia. Tak lupa sepatu high heels yang berkilauan pun masih erat di jari Mia.
Marc mulai berjalan dan benar saja. Walaupun tubuh Mia terlihat kecil seperti lidi di belah dua, tetap saja beratnya minta ampun. Anggap saja latihan sebelum tes pra-musim, batin Marc.
"Apakah aku berat?" tanya Mia sebagian was-was.
"Tidak. Aku terbiasa latihan dengan beban berat seperti ini." Hati Mia senang karena mendapat jawaban yang sesuai dengan kemauannya. Mana ada cewek yang rela dibilang berat dan gemuk oleh lelaki?
"Tapi, dari nada bicaramu kau seperti kelelahan menggendongku. Apa kau sedang jaim?"
"Kau sedikit berat sih," jawaban Marc kini mlenceng. Awas, high heels siap melayang.
"Jadi, apa sekarang kita bisa saling mengenal satu sama lain?" celetuk Marc yang menggagalkan niat Mia.
"What is your name?" Marc berusaha bertanya dengan logat British yang ia buat. Mia terkekeh pelan mendengar bagaimana Marc mengucapkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mi Corazone (Marc Marquez Fanfict)
FanficDua orang yang dipertemukan entah karena nasib atau perasaan. Mia dan Marc adalah dua orang pemimpi besar yang dipertemukan secara tidak sengaja. Akan tetapi Mia tersesat ke dalam perjalanan perasaan yang tidak bisa ia tebak. *Setiap part sedikit, j...