Mia memperhatikan lagi satu per satu dua wajah kesayangannya itu. Lagi, dari bandara itu dia akan kembali berpisah dengan kedua orang tuanya. Mia merasa kasihan saat ibunya itu harus terus mengusap ingusnya yang keluar-masuk.
"Steve, tolong jaga Mia selama di Amerika sana. Dia anaknya tidak disiplin, jorok, dan suka malu-maluin," pinta ayahnya itu yang spontan mendapat tatapan tajam Mia. Steve menyunggingkan sesungging senyum.
"Tenang saja, Mr. Stone. Aku akan selalu menjaganya. Yah, selama kami hidup satu tahun bersama di apartemen dia juga seperti itu. Jadi aku selalu hafal tiap perilaku Mia setiap hari," balas Steve benar dan ikut menggoda Mia.
"Mia kau sudah siap?" tanya Steve yang tidak dijawab oleh sang penjawab. Mata Mia menerawang ke segala arah.
"Mia, kau baik-baik saja?" tanya Steve untuk yang kedua kalinya. Mia terkejut dan segera menoleh.
"Ya. Ayo kita berangkat. Aku akan segera kembali, Mom Dad, jaga diri kalian baik-baik ya," ijin Mia. Setelah berpelukan ria, Mia mengangkat kopernya dan melangkah mendahului Steve yang sedang berpamitan.
'Marc, aku minta maaf. Aku tidak bisa lagi. Selamat tinggal.'
***
Mia memainkan jari-jemarinya. Ini adalah kebiasaan Mia sejak kecil untuk menghilangkan rasa groginya. Kini ia duduk di sebuah ruang tunggu, ada sebuah kaca besar dimana terdapat pemandangan kota dan gedung pencakar langit kota Los Angeles.
Hanya ada sofa panjang berwarna krem, satu pot dengan tumbuhan panjang menjulang, dan tepat di depan mata adalah pintu jalan menuju impiannya. Steve? Pria itu sedang mengadakan rapat kerja di salah satu perusahaannya disini.
Satu orang wanita keluar dari ruangan itu dengan wajah yang tidak bisa ia baca. Yang bisa Mia tebak adalah wanita tersebut merupakan salah satu peserta casting. Mungkin diantaranya ada rasa sedih, kecewa, marah, dan murka tercetak di wajahnya. Mia tidak peduli itu, yang ia pedulikan kini hanyalah ia harus berdiri dan berjalan masuk. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mengerahkan segalanya untuk momen ini.
Betapa terkejutnya Mia saat memasuki ruangan itu. Bukan ruangannya, juga bukan kamera yang sedang merekamnya, tetapi seorang wanita yang duduk bersama pria hampir paruh baya disampingnya.
Dia pasti wanita yang bernama Anna itu. Ya, dia Anna. Berambut hitam panjang se-punggung, bibir merah seksi merona, mata bulat abu-abu. Mia tidak heran lagi apabila Steve pernah mengatakan padanya jika Anna adalah wanita idaman setiap pria.
"And you must be Mia Stone, right?" ucap Anna dengan aksen Amerika nya sangat kental tanpa membaca kertas biografi di hadapannya. Senyumannya sangat membahana.
"Yes. It's me," balas Mia singkat. "Kau sangat cantik. Seperti yang Steve pernah katakan."
"Kau gadis yang beruntung bisa mendapatkan Steve," lanjutnya. Apa maksud perkatannya?
"Dia selalu membicarakan tentangku padamu?" Mia membalasnya seramah mungkin.
"Ya. Dia sangat mencintaimu. Dia selalu bekerja keras agar kau bisa meraih impianmu. Dia juga mengatakan bahwa bakat aktingmu sangat bagus." Mia tersenyum tipis, tetapi pipinya yang merah merona tidak bisa menyembunyikan rasa malu dan bahagianya.
"So, let's see what you got." Anna mengijinkan Mia untuk memulai memamerkan bakatnya.
ini dia momennya. Sejenak Mia berpikir, ah sial dia lupa jika ia belum menulis script untuk perannya sendiri. Ada apa sih dengannya. Setiap ada casting, ia selalu membuat naskah sendiri tidak peduli itu adalah naskah terburuk di dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mi Corazone (Marc Marquez Fanfict)
FanfictionDua orang yang dipertemukan entah karena nasib atau perasaan. Mia dan Marc adalah dua orang pemimpi besar yang dipertemukan secara tidak sengaja. Akan tetapi Mia tersesat ke dalam perjalanan perasaan yang tidak bisa ia tebak. *Setiap part sedikit, j...