Bab 27: Rumah Tangga Baru

588 33 1
                                    

“Rumah tangga, siapa saja yang membangunnya dengan cinta maka akan bahagia.”


 
 

Rumah Tangga Baru

 

Selepas maghrib aku baru sampai di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin. Pesawat yang kami tumpangi terlambat terbang, jadi terpaksa kami harus menunggu berjam-jam di Bandara Juanda. Tidak ada rasa lelah yang aku rasakan, justru yang ada hanyalah kebahagiaan. Sesampainya di Banjarmasin, kami kemudian langsung mencari taksi untuk pulang.

 Saat itu kami hanya berdua di Bandara, tidak ada yang menjemput. Aku yang meminta agar orangtuaku tetap berada di rumah saja. Aku tidak mungkin tersesat di Banjarmasin. Jadi tidak masalah kalau aku hanya pulang berdua, bersama Rani.

 Kami menaiki taksi yang sudah aku pesan. Kemudian taksi itu melaju memutari jalanan. Aku bersama Rani, berdua duduk di belakang. Kami masih belum banyak bicara, masih canggung, malu-malu. Hanya sesekali kami tertawa, untuk sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu lucu.

 Selepas isya, kami sampai di rumah orangtuaku. Yah, kami sengaja singgah di sana. Ini untuk pertama kalinya aku membawa Rani ke rumah. Untuk pertama kalinya juga ibu melihat langsung wajah Rani. Aku tidak tahu bagaimana nanti ekspresi ibuku saat melihat Rani. Apa dia hanya diam saja? Atau berlaku sebaliknya, menyambut dengan penuh gembira.

 Di rumah ternyata sudah menunggu adik-adikku, ayah dan ibuku dan juga paman serta tanteku yang kemarin ikut mengantarkanku ke Jawa. Mereka berkumpul di ruang tamu, bercakap dan menunggu kedatangan kami berdua.

 Saat itu aku sebenarnya malu, karena aku tidak pernah membawa perempuan ke rumah. Dan ini untuk pertama kalinya, aku membawa pasangan halalku ke rumah orangtuaku. Aku tidak menyangkan, ibuku waktu itu menyambut baik Rani. Sikapnya berubah total dari sebelumnya, dia terlihat bahagia dan senang. Mungkin karena ibu tidak memiliki anak perempuan, jadi saat melihat anaknya menikah dia menjadi sangat senang.

 Malam itu kami bermalam di rumahku, tidur di tempat yang biasanya aku tidur sendiri.

 Besok pagi-pagi sekali kami bangun, kemudian setelah shalat subuh dan melakukan aktifitas kecil lainnya, kami makan bersama. Itu adalah makan bersama pertamaku di rumah ini bersama Rani. Sikap ibu juga ternyata sangat menerima kedatangan Rani. Aku juga bisa melihat ibu sedikit canggung saat berbicara dengan Rani, tapi dia tidak melihatkan raut wajah yang cuek, cutek atau semacamnya yang sempat pernah terlintas di pikiranku.

 Malam itu adalah terakhir kalinya aku tidur di rumah ini. Rumah yang sudah aku tempat selama 19 tahun lamanya. Aku juga akan berpisah dengan keluarga kecilku ini.

 Sebelum menikah, saat mengurus berkas-berkas aku memang sudah membicarakan dengan orangtuaku dimana aku akan tinggal. Aku memang dari dulu berkomitmen untuk tidak tinggal bersama orangtua setelah menikah. Bagaimana pun aku memiliki keluarga baru dan akan menjadi kepala rumah tangga, untuk itulah aku lebih memilih untuk tinggal berdua bersama Rani.

 Tidak ada tentangan dari orangtuaku, dia menyerahkan semua keputusan sekarang kepadaku. Ayahku kemudian mencarikan rumah sewaan yang bisa aku tempati. Yah, aku kemudian menyewa rumah yang satu bulannya R400.000.

 Dari buku-buku yang aku baca, setelah menikah memang seharusnya kita jangan lagi tinggal bersama orangtua. Itu agar kita bisa mandiri dan urusan rumah tangga kita juga tidak diketahui oleh orang lain. Meski masih muda, aku terus mempelajari bagaimana rumah tangga dalam Islam. Jadi, aku bisa rumah tanggaku sendiri tanpa ada campur tangan dari orang lain.

 Berpisah rumah dengan orangtua bukan berarti menghilangkan tali silaturahmi. Setiap hari aku masih berkunjung ke rumah orangtuaku, untuk berbagi cerita, untuk mengunjungi mereka. Kami juga tidak pernah menjauh dan kalau ada nasihat, baik itu dari ibuku maupun ibu Rani kami selalu mendengarkan.

Rumah tangga kami bangun dari hal yang sederhana. Rani tidak pernah protes dengan tempat tinggal yang sekarang kami tinggali. Meski hanya menyewa kami merasa kehidupan rumah tangga kami dipenuhi dengan kebahagiaan. Bertahun-tahun kami berjuang untuk sampai sekarang dan pada akhirnya, Allah lah yang Maha Memudahkan semuanya.

 Satu persatu setiap minggunya kami sering berbelanja perabotan rumah tangga. Dari yang awalnya lemari tempat pakaian hanyalah kotak kardus tetapi sekarang kami bisa membeli lemari kecil cukup untuk pakaian kami. Dari yang dulunya kami tidak memiliki TV sekarang kami memilikinya. Kalau setiap ada uang lebihan kami selalu membeli barang untuk keperluan rumah tangga.

Sedikit pun kami tidak pernah meminta bantuan kepada orangtua, bahkan kalau ada lebihan kami selalu membantu mereka, walaupun sedikit tetapi setidaknya kami bisa berguna.

 Ternyata benar, menjadi pasangan halal itu lebih menenangkan. Kemana saja bisa berdua, bahkan mendapatkan pahala. Beda dengan mereka yang masih pacaran, berjalan berdua bergandengan tangan tapi menghasilkan dosa. Buat apa?

***

Alhamdulillah bisa update sampai bagian ini. Besok adalah bagian akhir dari cerita ini. 😊
Terimakasih buat kalian yang sudah membaca sampai bagian ini.

Cerita Cinta Pengejar Nikah Muda (Finish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang