Part 88

6.5K 593 52
                                    

" Ayo kita semua berenang di air terjun. Tapi nanti kita hati-hati yah." Ayahnya Akmal mengomando para bocah agar bisa tertib.

Hal itu bukan perkara mudah, karena mereka ingin segera berlari kesana-kemari. Mengabaikan nasehat orangtua agar berhati-hati.

" Ayooo..."

" Main air kita. Akhirnya.."

" Aku mau berenang juga."

" Asik...."

Sahut-sahutan mereka memeriahkan suasana. Berisik sekali sebenarnya, namun orang dewasa di sekitar mereka menikmati itu. Tidak merasa terganggu sama sekali.

" Taya, Afif ayok. Kita jalannya sama-sama yah."

Akmal terlihat sekali menjadi panutan adik-adik yang baru ia temui. Bocah yang baru saja masuk sekolah dasar tersebut terlihat tidak keberatan sama sekali.

Para ayah ikut serta tentu saja, hanya beberapa orang saja yang  menjaga tenda mereka. Menjaga satu orang anak saja bisa kewalahan apalagi harus menjaga sebanyak itu.

" Afif suka main air. Kita boleh main airnya lama nanti?"

Afif menatap Akmal, bertanya berapa lama kira-kira mereka akan bermain air.

" Emmm Kak Amal juga belum tahu. Tanya Papa dulu yah." Walaupun usianya paling besar bukan berarti Akmal dapat mengambil keputusan.

Mereka masihlah tetap bocah kecil yang terkadang mendengarkan nasehat orangtuanya tanpa bantahan.

" Ayah... Nanti mandi di sungainya berapa lama?"

" Sebentar saja yah. Sampai jam 4. Kalau terlalu sore nanti kita susah jalan pulang. Soalng penerangannya belum bagus. Tapi kita bisa main sepuasnya besok."

" Sampai jam 4, Afif tahu jam empat berapa?" tanya Akmal.

" Segini?"

Bukan Afif yang menjawab tapi Taya yang ikut mendengar menunjukkan angka empat dengan jari mungilnya.

" Iya, pintar yah kalian berhitung."

Taya dan Afif tentu saja senang mendengar pujian tersebut. Wajah keduanya terlihat sangat sumringah.

" Waahhh dingin..." Bayu berteriak histeris, dengan nada senang tentu saja.

" Segar, enak yah main air gini."

Raffa dan Bayu sudah berada di dalam air, tentu saja di awasi oleh orang dewasa. Lalu para bocah lainnya ikut menyusul.

Pekikan riang mereka terdengar, para ayah masih saja mengingatkan mereka untuk main ke area yang tidak terlalu dalam dan berhati-hati.

" Ayah ndak main ail?"

Taya menyadari Ayahnya hanya melihat dari ujung sisi sungai, tidak ikut mandi seperti dirinya.

" Ayah lihat dari sini. Abang boleh main air kok."

Byakta merasa senang mengajak putranya, dapat menghabiskan waktu dengan Taya tanpa mamanya membuat Byakta belajar banyak hal. Selama beberapa jam yang sudah mereka lewati belum terjadi drama. Byakta tentu saja bersyukur atas hal tersebut.

" Ayo kita kumpulin batu.."

" Aku mau bikin benteng.."

" Aku kita lempar batu ke sungai, siapa yang paling jauh.."

" Batunya yang kecil yah..."

" Aku mau susun batu saja."

Mereka saling bersahutan, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tapi yang paling penting adalah mereka dapat menikmati aktivitas dan kegiatan bermainnya.

" Taya bisa berenang?" Raffa menghampiri Taya yang asik mengumpulkan batu-batu kecil dalam genggamannya.

Badannya terendam air dan ia tak ingin beranjak sama sekali.

" Bisa, belenang sama Ayah. Taya sudah belani di kolam dalam."

Taya menjawab dengan bangga akan kemampuannya. Tapi kata Ayah tadi nggak boleh ke arah yang dalam, soalnya airnya mengalir. Taya takut hanyut lalu hilang. Jadi ia main di sisi yang tidak terlalu dalam.

" Wah, keren. Aku juga bisa berenang. Nanti kita berenang sama-sama yah."

" Hu'uh. Nanti bilang Ayah."

Mereka menghabiskan waktu sore dengan cerita, ketika waktunya sudah mulai sore mereka masih saja tak ingin beranjak dari air. Tak ada yang ingin segera berakhir.

Dimulailah tugas para ayah untuk membujuk bocah-bocah tersebut agar segera naik. Takut sakit karena terlalu lama bermain air. Selain itu juga hari sudah mulai gelap.

NatayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang