Part 118

6.1K 695 146
                                    

Sabtu minggu waktunya keluarga, Taya tentu saja senang karena bertambah satu orang teman bermainnya. Kalau hari kerja biasanya bersama mama saja, namun kalau libur ada ayah juga. Tentu Taya senang.

" Abang mainnya disini saja yah."

Byakta meminta Taya bermain di ruang keluarga saja. Bisa lari-lari sepuasnya karena ditengah sengaja dikosongkan dan hanya di hiasi karpet bulu tebal.

Tidak ada meja yang akan menghalangi keinginan Taya untuk lari dan loncat didalam rumah.

" Abang nanti pusing loh."

Byakta heran, energi Taya ketika bangun tidur langsung full, lalu siang masih full dan sore juga full. Intinya tak habis-habis. Bagusnya malam hari Taya langsung tidur sesuai jadwal.

" Abang, Mama mana?" tanya Byakta heran tak melihat istrinya. Sedari tadi bocah gembul itu sudah heboh.

" Mama mandi Ayah..." jawab Taya sambil lalu.

" Abang mainnya pelan-pelan nak." Byakta khawatir.

Taya mana mendengarkan ayahnya. Ia heboh sendiri. Karena terbiasa bermain seorang diri, lari-larian sendiri juga sudah menyenangkan untuk Taya.

Brak.

Bunyi kencang benda jatuh dengar. Byakta yang sedang duduk santai disofa ruang keluarga panik.

Jangan-jangan Taya.

" Abang, apa yang jatuh nak?"

Byakta menghampiri asal bunyi keras tadi, benar saja ada Taya.

" Patah.. Huwaaaa... Patah.." Taya takut dimarahi ayah.

Padahal tadi ayah sudah bilang jangan lari-larian, jangan main depan ruang tamu, pelan-pelan saja. Tapi Taya nggak dengarin ayah.

Marah nanti.

" Huwaa..... Taya, patah Ayah itu.." Taya makin panik melihat ayahnya yang tak bersuara sama sekali.

" Abang ada yang luka?"

Byakta menghela napas pasrah. Mau bagaimana lagi coba. Meja kaca kecil untuk tempat bunga di ruang tamu mereka patah menjadi dua.

Entah bagaimana sampai bisa patah. Mungkin tidak sengaja kena kaki Taya. Karena posisinya dekat sofa.

" Ndak luka.. Kaki Taya ini kena. Ndak sengaja Ayah. Patah mejanya."

Taya berusaha menjelaskan dengan takut, soalnya tidak hati-hati.

" Coba Ayah lihat kakinya. Tadi kacanya kena kaki Abang?"

Byakta memastikan jika putra gembulnya tidak memiliki luka yang ditimbulkan akibat pecahan kaca.

" Merah nih, takut memar. Nanti kita kasih salep yah."

Taya mengangguk mengiyakan saja. Soalnya Taya tahu kalau salah. Jadi harus nurut sama ayah.

" Ayah... Solly.." cicitnya takut.

Padahal Byakta tak marah loh. Cuma Taya belajar kalau ayah sama mama lagi diam lama biasanya karena Taya melakukan sesuatu yang tidak baik.

" Abang kurang hati-hati. Ayah takut Abang luka, kan sakit kalau kena kaca." Byakta memastika ia menatap Taya agar bisa mengerti kekhawatirannya.

" Hikss Taya ndak nulut Ayah. Tadi bilang lali-lalinya pelan aja." akunya manis, Taya tahu kok dia salah.

" Abang kalau dikasih tahu dengarin yah. Nanti Allah ambil lagi telinganya. Nggak bisa dengar."

" Hiksss iya..." isaknya lagi mengiyakan ucapan ayahnya.

Tentu saja Taya takut.

" Nangisnya berhenti dulu yah, Ayah ambil sapu dulu. Abang jangan turun dari sofa."

Taya menunggu ayah dengan sabar. Tak berani turun, bahkan posisinya masihlah sama. Berdiri memegang sandaran sofa. Tak juga duduk.

" Kakinya sakit nggak nak?" Tanya Byakta sekali lagi.

" Ndak Ayah, solly." cicitnya pelan. Merasa bersalah.

" Its okay. Taya harus lebih berhati-hati lagi yah." pinta Byakta lembut.

" Mejanya patah. Bunga Mama ndak ada meja." adunya lagi.

" Bukan patah, tapi pecah. Kacanya pecah. Bunga Mama nggak punya meja lagi deh."

Byakta dengan sabar meladeni putranya itu. Terlihat sekali merasa bersalah.

" Mama nanti sedih, hiksss. Ayah...." isaknya pelan.

" Bang kok cengeng sih nak. Nggak apa-apa. Nanti minta maaf sama Mama yah."

Byakta segera saja menyimpan sapu dan pengki. Lalu menghampiri Taya dan memberikan pelukan hangat.

Penguatan.

" Sudah nangisnya, nanti Abang minta maaf sama Mama yah." hibur Byakta.

Butuh waktu beberapa menit untuk membuat Taya tenang.

NatayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang