Part 116

6K 673 152
                                    

Baheera tak paham lagi dengan putranya itu. Taya memang suka main tanah, tangkap kecoa, cari cacing. Atau bahkan main air hujan diselokan depan rumah.

Tapi Taya sangat pemilih untuk makanan. Tidak mau makan di pinggir jalan, tidak mau jajan sembarangan, apalagi kalau ada yang tak sesuai hatinya.

Bocah gembul itu entah menuruni sifat siapa.

" Ndak mau maam sini..."

Astaga, Taya kembali berulah. Membuat mama pusing saja.

" Kan kita bungkus nak. Kita nggak makan di sini kok." jelas Baheera lembut.

Taya tetaplah Taya, ada saja alasannya. " Satenya bakal hitam-hitam. Ndak mau maam. Kotol."

" Itu bukan kotor. Tapi arang, nah arang itu warnanya hitam. Terbuat dari batok kelapa yang dibakar atau dari kayu yang dibakar." Baheera berusaha meluruskan pemahaman Taya yang salah.

" Kotol Mama, ndak maam sate.." rengeknya lagi. Masih merasa tak puas dengan penjelasan mamanya.

" Nanti ada sup daging kok. Abang maam sama sop daging aja yah."

" Ndak bakal hitam-hitam itu?"

" Nggak, supnya dimasak diatas kompor. Nggak dibakar pakai arang."

" Jangan beli sini lagi." pintanya kemudian, cemberut, " Bakal satenya ndak kompol kaya di lumah Taya."

Baheera ingin menangis. Mana ada tukang sate bakar sate diatas kompor seperti mereka di rumah. Nanti keautentikan satenya berkurang.

Lebih enak bakar menggunakan arang. Dasar Taya saja yang tidak tahu kalau selama ini sate yang ia makan dibakar menggunakan arang.

" Iya nak. Abang dengerin Mama deh, aduh jangan main air dengan sedotan begitu." tegur Baheera melihat kelakuan Taya yang membuat gelembung didalam air gelas mineral dengan cara meniupkannya.

" Abang, kalau bakar sate itu memang pakai arang kok. Karena kita nggak punya arang makanya kita bakar diatas kompor rumah."

" Nanti kotol mama... Ndak sehat. Ada kuman nanti Mama maam."

" Satenya nggak langsung kena arang kok. Ada besi penyanggahnya."

" Mana... Taya ndak lihat. Itu hitam-hitam loh."

Ekspresi Taya itu membuat mamanya keki. Gemas sekali.

" Nanti mama kasih lihat deh." pasrah Baheera. Taya bisa saja sangat keras kepala.

" Sudah yuk pulang. Ndak maam sini." ajak lagi kemudian.

" Masih tunggu pesanan kita dulu Bang. Sabar yah nak."

" Ndak usah Mama..." rengeknya lagi.

" Abang duduknya jangan gerak, bisa jatuh loh kalau tidak hati-hati."

" Huh."

" Kalau Mama kasih tahu jawabnya yang baik bagaimana?" Baheera menegur putranya dengan serius.

Taya seringkali lupa. Tugas Baheera sebagai orangtua adalah mengulang hal yang sama.

" Iya Mama.." jawab Taya cemberut.

" Pintarnya, Abang anak baik yah. Terimakasih nak. Nah sekarang kita harus sabar yah tunggu satenya."

" Pulang saja.. Ndak maam itu. Kotol Mama..."  protes Taya lagi.

" Itu bukan kotor Bang, nanti Taya tanya sama Ayah deh kalau Ayah sudah pulang kerja. Bakar sate memang pakai arang kok Bang."

" Ayah tahu?"

" Tahu kok."

" Ayah maam ini juga?"

" Iya, Taya juga maam ini kok dulu."

" Taya suka kok." jawabnya polos.

Baheera menggeleng pasrah. Ia tahu putranya suka makan sate, tapi ketika melihat langsung begini protesnya luar biasa.

Untung orang yang melihat mereka  memaklumi sikap Taya.

" Iya kan enak yah."

" Ndak mau maam."

Kenapa hanya itu yang dilontarkan oleh Taya. Buat mama pusing saja.

" Nanti Abang maam pakai sup daging saja. Enak."

" Ayo pulang."

Taya langsung melompat turun dari kursinya begitu melihat bungkusan milik mereka diberikan ke mama.

" Hati-hati, Mama harus bayar dulu."  Baheera segera saja memegang tangan Taya agar tak keluar.

Pergi sama Taya nggak boleh kehilangan fokus. Bisa kabur entah kemana bocah gembul itu.

" Iya Mama.." Taya menuruti mamanya. Soalnya sudah seselasi. Bisa pulang.

NatayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang