Part 78

7.3K 627 21
                                    

Cuaca hari minggu sangatlah cerah, Taya yang sudah pulang berenang bersama ayahnya sekarang sibuk membantu merapikan tanaman mamanya.

Memberikan pupuk, menganti tanah, memotong ranting, merapikan semuanya.

" Ayah, itu Taya...."

Baheera teriak panik melihat Nataya. Yatuhan cobaan hidup sekali memiliki putranya yang aktif dan luar biasa. Ladang untuk bersabar dan belajar ikhlas.

" Abang kok di cabut semua?"

Byakta menatap putranya panik, sejujurnya panik karena istri tercintanya itu akan mengomelinya nanti.

Tidak sekarang, di hadapan putra mereka.

" Tadi suluh Ayah bantu cabut lumput."

Taya memandang ayah dan mamanya bingung. Tangan mungilnya masih memegang bunga yang berhasil ia cabut dari potnya.

Ada beberapa yang tergelak tak berdaya karena Taya sudah mencabutnya. Padahal bunga-bunga tersebut sudah Byakta rapikan.

Tinggal memberikan pupuk saja.

Namun itu semua tinggalah wacana.

" Rumput loh Bang, bukan bunga." gemas Byakta.

Pekerjaannya bertambah, merapikan ulah putranya itu.

Taya dan tanaman itu tidak bisa akur. Ada saja dramanya yang membuat mamanya senewen.

" Ini bukan lumput?" tanyanya memastikan.

Menurut Taya ini tidak ada kembangnya, jadi bukan bunga. Terus juga bentuknya tinggi kurus, seperti rumput kok.

Taya merasa ia tidak salah, sudah sesuai kok seperti penjelasan ayahnya tadi.

Tapi kenapa mamanya panik yah? Sedih juga tuh.

" Bukan Abang, itu bunganya Mama." jelas Byakta mulai merapikan ulah Taya.

Menanamnya kembali, memberi pupuk, menyiraminya, lalu merapikan tanah yang berceceran.

" Ini bunga Mama?"

Taya menghampiri mamanya dengan langkah yang cepat, tidak lupa bunga yang sudah ia cabut tadi masih berada dalam genggamannya.

" Iyaa. Kenapa Abang cabut?" Baheera menatap nelangsa kearah bunga yang ada dalam genggaman putranya itu.

Nasibnya tak pernah baik ditangan mungil Taya.

" Bukan lumput yah. Hmmmmm...." Taya bergumam bingung.

Masa sih ia salah, pikirnya tak yakin.

" Mama sedih yah? Maaf..."

Taya merasa bersalah, ia segera membuang bunga itu sembarang lalu memeluk kaki mamanya merasa bersalah.

" Mama sedih lah Bang. Orang itu bunga Abang cabutin." kompor Byakta.

" Tadi Ayah suluh cabut kok." jawabnya di balik kaki mamanya, ia masih saja memeluk kaki mamanya dengan erat.

" Heiii, tadi Ayah minta tolong apa sama Abang?" Baheera mensejajarkan tingginya dengan putranya, sontak saja pelukan Taya di kakinya terlepas.

" Cabut lumput, tinggi ini, lalu kulus. Ayah kasih lihat calanya tadi." jelasnya sambil berpikir, apakah ada yang terlewatkan olehnya dari penjelasan ayahnya.

" Jadi Ayah minta tolong cabut rumbut atau bunga?" tanya Baheera lagi.

Sedangkan Byakta hanya menyaksikan interaksi ibu dan anak tersebut, tanpa berniat mengintrupsinya sama sekali.

" Cabut lumput Mama." jawabnya pelan.

" Lalu yang Abang cabut apa?"

" Bunga Mama itu sana banyak." Taya menunjukkan kearah bunga yang sudah berhasil ia cabut tadi.

" Emmm kalau begitu Ayah minta tolong cabutin rumput saja tadi tapi Abang cabutin bunga. Ayah nggak suruh cabutin bunga kan?"

Baheera harus memastikan jika putranya paham apa yang ia lakulan itu salah. Selama ini Taya sering sekali mencari alasan untuk membenarkan perilakunya. Dan terkadang hal itu tidaklah baik.

Taya perlu belajar bahwa menjadi salah itu tidak apa-apa. Agar ia paham dan belajar dari kesalahannya itu.

Dan menjadi salah bukan berarti hal buruk.

" Iya.. Ayah ndak suluh cabut bunga. Taya cabut bunga. Itu bukan lumput. Maaf Mama..."

" Besok hati-hati lagi yah. Sekarang tidak apa-apa. Abang jadi tahu kalau itu bukan rumput." hibur Baheera gemas.

Taya cepat tanggap jika ia salah, dan mengakui salahnya. Meminta maaf juga.

" Sekarang Abang bantuin Ayah yah tanam lagi bunganya." pinta Baheera lembut.

" Ayah, ayo tanam lagi bunga Mama..." pekiknya girang. Taya segera saja berlari menghampiri ayahnya.

NatayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang