Part 124

5.8K 682 141
                                    

" Ayah, sapinya sembelih yah? Nanti mati?"

Taya antusias sekali mengikuti ayah dan kakeknya untuk melihat orang menyembelih hewan kurban.

" Iya nanti disembelih semua. Alhamdulillah tahun ini kita bisa berkurban. Abang nanti mau lihat apa?"

" Ada sapi.. Taya lihat besal-besal loh. Nanti siapa sembelih?"

" Sudah ada petugasnya. Nanti kita lihat-lihat saja yah."

" Kasan ndak sembelih?"

" Nggak dong. Kasan bantu lihat saja."

" Itu Ayah, ayo sana. Ada Pakdhe bawa sapi. Lihat-lihat." pekik Taya antusias.

Kondisi kurban tahun ini tidaklah seramai tahun-tahun sebelumnya. Jadi tidak terlalu banyak kerumunan orang.

Tentu saja Taya ingin melihat sapi, jadi bocah gembul itu punya alasan untuk ikut melihat proses penyembelihan hewan kurban. Selain itu juga keluarga mereka berkurban.

" Abang jangan dekat-dekat."

Byakta langsung menarik Taya agar menjaga jarak aman. Siapa tahu nanti sapinya lepas atau bagaimana.

Mencegah lebih baik.

Antisipasi.

Taya saja yang terlalu antusias sampai melepaskan diri dari ayahnya.

" Ayah itu diikat? Kenapa? Nanti sapinya ndak bisa gelak."

Taya panik melihat sapinya diikat.

" Mau disembelih Bang. Harus diikat biar aman."

" Kasan sana. Jangan sana, nanti dimaam sapi. Ayah, panggil kasan. Ayah..." Taya semakin panik melihat kakeknya berada dekat sapi yang mau disembelih.

Nanti kasian kalau sapinya marah lalu kakeknya dimakan.

" Nggak apa-apa yah, kan sapinya sudah diikat. Aman kok. Abang jangan teriak nak, nanti sapinya kaget."

Byakta langsung menggendong Taya yang mulai histeris panik.

Daripada Taya langsung kabur kearah kakeknya, jadi Byakta memilih mengamankan Taya dulu.

" Ayah.. Jangan sana. Pulang.."

Taya sepertinya kaget melihat prosesi penyembelihan hewan kurban. Ini memang pengalaman pertama.

" Ayo kita pulang aja yah. Abang jangan gerak-gerak dong. Nanti jatuh."

Byakta kesusahan menggendong Taya sebab putranya begerak gelisah.

" Pulang yuk. Nanti Mama cali Taya."

Ada saja alibi bocah gembul itu. Gengsi sekali bilang takut.

Dasar Taya.

" Benar nih Abang nggak mau lihat sapi disembelih. Kemarin Abang katanya mau lihat."

"Lihat nanti saja Ayah. Nanti Mama cali Taya, pulang yuk."

" Nanti mah sudah nggak ada yang potong sapi. Nggak bisa lihat lagi."

Byakta itu memang menyebalkan. Suka sekali menggoda putranya. Sudah tahu Taya takut dan gengsi akut, masih saja sengaja menggodanya.

" Pulang Ayah.." pekiknya kesal. Taya kan takut.

Nggak mau lihat sapi disembelih. Mata sapinya seram sekali, seperti melotot kearah Taya.

" Yasudah ayo pulang. Ajakin Ayah pelan aja yah. Ayah dengar, nggak boleh teriak."

Taya cemberut sebal, bocah gembul itu merasa bersalah karena berteriak.

" Pulang aja yuk. Ndak lihat sapi mau potong. Selam Ayah." aku Taya merengek pelan.

" Ayah antarin Abang pulang yah. Habis ini Ayah harus bantu-bantu Pakdhenya disini. Taya main sama Mama sama Necan sama Aunty saja di rumah."

Byakta mewanti-wanti putra gembulnya itu jika nanti harus kembali untuk membantu panitia kurban.

Agar Taya nanti tak perlu merengek ingin ikut lagi.

" Iya. Ayo pulang. Ndak sini. Nanti Mama cali Taya."

Angguknya setuju. Tanpa pikir panjang lagi. Soalnya Taya mau dirumah saja.

" Abang jalan sendiri yah. Ayo pulang."

Byakta menurunkan Taya dari gendongannya. Jika lama terasa berat juga.

Tak kuat.

" Ndak dadah Kasan?"

" Nggak usah. Nanti Ayah bilangin Kasan. Kecuali Abang mau pamit kesana." Goda Byakta iseng, pasalnya kakeknya Taya berada dekat sapi yang sudah siap dipotong.

" Ayah saja pamit."

Taya segera saja menarik tangan Ayahnya agar pulang. Nggak mau lama-lama deh.

NatayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang