mata hitam pekat

6.3K 313 1
                                    

Sering kali otak berfikir jika kamu mirip dengannya. Hakikatnya kamu bukanlah dirinya, dan kamu orang baru bagiku. 🍁


"Eh Nabila akhirnya kamu datang juga"
Suara wanita dengan riasan pengantin itu berteriak heboh saat aku menghampirinya diatas pelaminan.

"Iya dong, gue gitu loh"

"Makin cantik aja, kapan kau nyusul."

Pertanyaan itu lagi, dia kira aku nggak pengen apa, berdiri dipelaminan kayak dia. Itu bahkan sudah jadi impianku sejak dulu kala waktu masih duduk dibangku kuliah.

"Nggak ah, kamu aja yang makin cantik. Apalagi sekarang udah ada yang muji tiap hari," godaku kembali.

"Banyak teman cowokku yang cakep la, mau yang mana aja tinggal pilih"

"Nanti aku pilih. Nggak nyangka aku kamu sama dia," aku melirik kearah mempelai laki-laki yang sekarang melotot tak terima kearahku.

"Eh mulutnya Nabila makin pedes aja"

"Kebanyakan kau cabein sih dulu"

"Enak aja, pergi sana banyak yang ngantri dibelakang tuh," sengit pria itu lagi.

"Oke, aku pergi. Jangan salahkan aku kalau cemilan disana nanti habis"

"Eh Bu dokter ikutan stres nanganin orang depresi tiap hari"

"Enak aja!" Aku berjalan cepat setelah menjitak kepala mempelai pria yang sekarang sedang tertawa puas melihatku bersungut-sungut karenanya.


Indah sekali, suasana bahagia sepasang pengantin itu berjalan bersisian. Saling bergandeng tangan, menatap satu sama lain, lirikan mata mesrah pun saling disampaikan. Lengkap dengan atmosfir bahagia yang menyelimuti semua orang.

Aku duduk bersama teman-temanku sma lainnya. Nampak seperti reuni bagi kita, apalagi selalu dibubuhi canda tawa selama resepsi berlangsung.

Setelah acara anjengan sambil berjabat tangan. Langkah kakiku membawa kearah teman satu perguruan silat ku berkumpul.

Jangan pikir aku yang sering dikatakan orang lemah lembut ini, dulu masa mudanya, juga terlibat dalam organisasi perguruan yang dikatakan berat masa latihannya itu, keras pokoknya.

Mereka menyambut ku dengan senyuman, terlebih saudara-saudara cewek ku. Sedangkan para kakak-kakak pelatihku dulu, saling lempar menggoda ku bergantian, tentu dengan canda-canda receh.

Aku menyalami mereka satu persatu, tentu dengan salaman khas kita saat latihan dulu. Kecuali kepada para pelatih lelaki, aku hanya menangkupkan kedua tangan didepan dada disertai senyuman.

Mataku terhenti pada seorang lelaki berbaju batik lurik coklat elegan. Postur tubuhnya tegap berwibawa. Mata hitam pekat itu bukankah lelaki berbaju loreng kemarin. Tanpa pikir panjang aku segera duduk kembali, bukan ditempat ku tadi, tapi kali ini aku mengambil duduk disamping Fifi, saudara silat ku. Tempat dudukku dan lelaki yang aku rasa lupa namanya itu hanya berjarak satu kursi dariku saat ini.

"Nabila kamu kapan nengokin kita latihan silat lagi,"
Tanya Fifi padaku, acara resepsi selesai 10 menit yang lalu. Saat ini kita menikmati jamuan rawon dan teh botol diatas meja.

"InsyaAllah kalau ada kesempatan ya. Tapi aku sempatkan kok, soalnya aku juga kangen ma kalian," kataku padanya. Fifi mengangguk menanggapi. Dia kembali menyelesaikan acara makannya lalu kembali bicara.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang