rasa itu kembali terbayang

4.8K 265 2
                                    

Malam Minggu, malam dimana semua pemuda asik cari tempat hiburan. Hiburan dengan teman, ataupun hiburan dengan pacar. Kali ini aku tak ingin jalan-jalan, aku akan pergi ke padepokan, sambang mereka. Saudara - saudara ku silat.

Mengingat percakapan singkat ku dengan kak Zidan kemarin, membuat ku teringat pada masa latihan dulu.

_ flashback _
"Siapa yang pakai lipstik sekarang!" Ucap kak Zidan tegas disertai wajah datarnya.

Dia menatap para siswanya yang sedang duduk berunding disampingnya. Aku dan Fifi mengangkat tangan ragu sambil nyengir tak enak.
"Gila garang banget tuh muka." Batinku menggerutu, nyaliku tiba-tiba aja ciut.

"Nabila push up 70x. Fifi push up 50x," Serunya tak terbantahkan.

"Eh kok gitu, kan nggak adil." Rutuk ku dalam hati ketika mengambil posisi push up.

"Kak kok gitu." Sanggahku.

Kak Zidan hanya senyum meremehkan.
"Mau latian silat apa pemotretan kamu, jalanin aja hukumannya kalau nggak mau ditambah,"

pintanya tak bisa dikalahkan. Mau membantah nanti malah ditambah lagi tuh hukuman.

Dengan hati terpaksa, lebih tepatnya dongkol juga sih gegara kak Zidan mengutus salah satu siswa untuk mengawasi ku. Apalagi ocehan dan candaan pelatih lainnya. Makin malam makin panas nih karena keringat ku yang terus keluar bersamaan naiknya suhu badan.

Tak hanya itu, sebenarnya banyak banget hukuman yang sedikit nyeleneh kalau kak Zidan udah turun lapangan.

Pernah juga saat aku harus sambung yang artinya aku harus masuk ke gelanggang, aku berhadapan dengan kak Zidan.

Awalnya di tanding fisik aku masih bisa menguasai, walaupun tenagaku tak sebanding dengannya yang lincah. Apalagi ini tenaga lelaki yang harus kulawan.

Skor akhir aku harus kalah darinya, karena saat aku mengarahkan tendangan kearah lehernya dia malah melakukan bantingan.

"Eh... Aaaakh...," Teriakku pelan, dengan mata terpejam aku meratapi nasib harus terbentur paving karena bantingannya.

Tunggu... Tunggu. Kok punggungku nggak saikit ya, padahal aku tak menggunakan body protector ataupun matras.

Perlahan aku membuka mata. Waktuku terhenti. Semua seakan berhenti saat mata coklat ku menatap mata hitam pekat itu begitu dekat. Tangan kak Zidan menjadi bantalan punggungku. Sedangkan tangan satunya masih memegang kaki kananku.

Semenit dua menit kamu terdiam tak tau harus apa, atau bingung kenapa kita seakan terhipnotis.

"Ehem..." Deheman dari seorang pelatih lain membuyarkan semuanya. Ah seharusnya jangan dulu.

"Waktu habis. Ganti yang lainnya," ucap wasit mengintruksikan aku dan kak Zidan untuk melakukan salam penutup.

Setelah itu aku hanya terdiam. Lebih tepatnya malu berhadapan dengan kak Zidan lagi saat ini. Apalagi dengan suara-suara saudara-saudara yang budiman.

Disela-sela latihan biasanya aku dan yang lainnya suka becanda ria, sampai rame nih tempat kalau udah pada ketawa. Apalagi kalau aku ketawa ngakak.

"Nabila. Terusin ketawanya."

Kak Zidan mengintruksi. Itu artinya dia memintaku diam, ya ampun tatapannya inten banget. Aku menutup mataku dengan siku seakan aku menagis, dan itu menjadi sumber tawa dari teman lainnya.

"Cengeng, dilarang manja disini." Tukasnya.

"Iya iya." Jawabku singkat. Dia malah melotot kearah ku.

"Bantah?"

"Enggak kak enggak!"

Setelah mendengar kata menyerah dariku lelaki itu malah tertawa dengan puas sekarang.

"Maunya apa sih nih orang!" Caci ku dalam hati sambil mengutuk lelaki ini.
___🍃____

"La kamu kapan balik Surabaya," tanya salah seorang temanku. Dia duduk disebelah ku lalu tangganya membetulkan letak sabuk putih perguruan disisi kanannya.

"Minggu depan deh kalau nggak mundur atau maju," jawabku seadanya, tersadar dari lamunanku dengannya ditempat ini.

"Masih lama, yuk turun lapangan."

Kali ini Fifi mengedipkan satu matanya kearah ku. Dia bermaksud menggoda ternyata.

"Boleh, bentar aku pakai sabukku dulu."

Sudah lama aku tak turun ke gelanggang ini. Setiap aku dapat cuti aku memang selalu kemari, tapi hanya sekedar silaturrahmi dan berbincang singkat sama yang lainnya.

Ditengah kesibukanku mengintruksi para siswa yang latihan kak Zidan memanggilku untuk mendekat kearahnya dan kakak-kakak lainnya.

"Nabila kok disini," tanya kak Saiful padaku. Wajar dia bertanya, karena dia baru datang dan dia pelatih dari jauh.

"Iya kak, mumpung cuti." Aku tersenyum canggung kearahnya.

Ku lihat dia bicara seperti ada yang disembunyikan. Nadanya resah, dan caranya duduk pun terbaca oleh ku.

"Kamu psikiater kan..." Tanyanya.

Kali ini kak Saiful memandang ku, berarti dia mulai percaya padaku untuk berbicara.

"Iya kak."

"Bisa bantu saya," dia mengerutkan keningnya sembari menatapku. Itu pertanda bahwa ia tengah berfikir keras.

"Semua perkara akan hilang jika kita tenang, semua keresahan hanya hadir dari pikiran. Sebuah kabar bahagia, tak perlu khawatir semua wajar kok kak."

Kak Saiful menatap ku lalu menghembuskan nafas lega. Sedangkan yang lain, menatap ku melongo. Tak percaya dan mencoba mencerna apa yang aku katakan barusan.

"Kabar baik apa," tanya kak Zidan padaku.

"Maaf kak, aku Ndak punya hak buat bicara. Jika kak Saiful mau, dia sendiri yang bicara."

"Kehamilan yang kedua istriku, dan juga perubahan sikapnya."

Kak Saiful terlihat tersenyum canggung dia seakan malu mengatakannya. Terlebih ketika yang lain ikut ngetawain. Lucu emang nih bapak yang mau punya 2 baby.

"Maaf kak. Aku tak biasa jika membicarakan hal seperti ini didepan umum. Karena kebanyakan hanya perseorangan saja."

Aku nyengir malu karena takut dianggap aneh sama yang lainnya. Tapi mereka malah tertawa kecil sekarang.

"La nomer telvon kamu ganti kah"
Kak Zidan menatap ku dengan tatapan aneh.

"Nggak kak, tetep sama"

"Oke."
Dia manggut-manggut lalu menengok handphonnya. Tak lama setelah itu aku dapat sebuah pesan singkat darinya.

"Besok bisa kita jalan sebentar"
Kaku banget nih orang sekarang. Karisma juga sih dia.

"InsyaAllah, jam 9"
Aku membalas pesannya cepat lalu ku taruh kembali handphone ku.

"Cie... Mau konsultasi apaan Lo. Atau mau pdkt sama Nabila."

Goda kak Saiful pada kak Zidan, karena dia tadi bertanya soal nomor telepon ku.

Kak Zidan tidak bicara apapun. Dia hanya diam, tapi mata hitam pekat itu menatap ku dengan tatapan yang tak ku mengerti.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang