saingan sama ibu kowal 👏

1.9K 145 0
                                    

Manusia memang terkadang perlu tamparan untuk menyadarkan dari kesalahannya. Tapi diantara kita kamu selalu mendominasi.

"Biar Fahri kerumah mas Zidan pak!"

Aku mendengar Fahri berkata dengan keras dari balik pintu.

"Jangan fah, nanti makin runyam,"

Bapak masih menahan Fahri yang katanya mau pergi.

"Fahri nggak peduli. Pokoknya semua harus selesai sekarang. Fahri cuman mau penjelasan dari keluarga sana aja pak," jawab Fahri,tak lama setelah itu aku mendengar suara derum motor miliknya.

"Dasar, punya anak dua sama-sama keras kepala." Gerutu mamak sedikit keras, mungkin biar aku juga mendengarnya.

*_zidan pov_*

"Harusnya kamu jangan gitu Dan sama Nabila," ucap ayah setelah Maria juga berpamitan pulang.

Ayah masuk kedalam kamarnya. Lalu sekarang ibuk yang duduk disampingku.

"Nabila itu orangnya lucu ya Dan, pasti bakalan ramai deh nih rumah kalau ada dia," ucap ibuk lengkap dengan senyumnya.

"Dia itu baru belajar Dan, kamu nggak boleh terlalu menuntut dia buat langsung bisa ini itu," lanjut ibuk, aku masih tetap diam mendengarkan.

"Kalau kamu memang cari yang bisa ini itu ya terserah kamu nak, tapi ingat. Zidan sama Nabil udah sejauh apa?"

Aku menoleh kearah ibuk. "Zidan cuman cari yang seperti ibuk," jawabku, aku kembali menyenderkan punggungku kesandaran kursi.

"Menurutmu Nabila ada kesamaan sama ibuk nggak?"

Aku menaruh kepalaku dipangkuan ibuk, lalu tangan lembut itu mengusapnya perlahan memberikan ketenangan.

"Dia sosok yang lembut, mirip sama ibuk. Selain itu Nabila juga nggak banyak menuntut, dan lagi dia suka tersenyum."

Aku melihat ibuk yang tersenyum.
"Apa kamu tega menyakiti Nabila, hubungan kalian sudah sejauh ini nak. Tapi kalau memang kamu sudah tidak nyaman lagi sama dia. Kamu selesaikan baik-baik. Nabila pasti mengerti kok, kalau untuk kebahagiaan kita harus mengorbankan kebahagiaan lain."

Aku langsung kembali ke posisi duduk.
"Zidan nyaman sama Nabila buk, dan Zidan yakin sama dia."

"Semua terserah sama kamu nak, terserah kamu mau milih siapa. Tanyakan sama hatimu. Kamu itu butuh siapa, bukan ingin siapa," ucap ibuk dengan nada tegas.

Seketika aku langsung menyambar kunci motorku. Sebelum aku pergi, kusempatkan menoleh ke arah ibuk.

"Zidan butuh Nabila buk," tukasku dan pamit untuk pergi ke rumah gadis itu.
______⚓_____

Tiiiit....
Suara klakson motor dari arah berlawanan membuatku berhenti ditepi jalan. Pengendara motor itu sepertinya sengaja menghentikanku.

"Fahri?"
Ucapku ketika pengendara motor yang menghentikanku tadi sekarang membuka helem miliknya.

Fahri tertawa sinis dan langsung mencengkram kerah bajuku.

"Apa yang Lo lakuin ke kakak gue hah! Dia nangis-nagis minta batalin pernikahannya"

Miris hatiku mendengar kata menangis dan lebih parahnya adalah kata batal.

"A, aku bisa jelaskan, jangan begini Fahri"
Leraiku mengajak Fahri duduk dibangku pinggir trotoar. Untung suasana sedang sepi dan Fahri juga mau menurut.

"Saya memang salah, dan saya ingin memperbaikinya."

Fahri melengos tak mau melihatku.
"Ck, dari awal juga Lo emang udah maksa kakak gue. Dan bodohnya keluarga gue yang nggak bisa nolak orang macam Lo," Fahri mendengus tak suka.

"Maafkan saya, dan izinkan saya untuk memperbaiki semuanya." Balasku.

"Kayaknya nggak ada yang perlu diperbaiki, kakak gue udah minta buat batalin aja semua. Dia nggak mau nikah"

Aku kembali berjingkat mendengarnya. Kenapa Nabila selabil itu, mengambil keputusan saat hatinya tertekan.

"Tapi saya..."

"Gue jadi curiga. Kak Nabil nggak mau nikah sama lo, apa mungkin selama ini Lo udah sering nyakitin dia," sarkas Fahri.

"Saya mohon Fahri, biarkan saya menjelaskan sendiri pada Nabila. Saya hanya ingin memperbaiki semuanya."

Tanpa pikir panjang aku langsung mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi. Sedangkan Fahri, dia langsung mengikutiku dengan motornya sendiri.

"Assalamualaikum. Pak, saya ingin bertemu Nabila," ucapku tergesah saat bertemu bapak diruang tamu.

"Nabila ada dikamar sama mamaknya nak, bapak harap kamu bisa menyelesaikan semua ini" bapak menekan kata menyelesaikan.

Hatiku makin sesak rasanya, aku tak menyangka kalau akan sekacau ini.
"Zidan akan memperbaikinya pak," aku pamit untuk langsung menuju kamar Nabila.

Saat aku sampai didepan pintu kamar yang terbuka aku melihat mamak yang tersenyum kearahku, sedangkan Nabila yang menyadari kehadiranku dia malah menatap kearah lain, menyembunyikan mata coklat yang sekarang berdasar merah.

"Nabila, saya ingin bicara denganmu," ucapku selembut mungkin. Kakiku melangkah masuk, mendekat kearah mamak dan Nabila yang masih tak mau menatapku.

"Nggak, Nabila pengen sendiri. Mamak bawa aja lelaki ini keluar kamar," tukas Nabila, aku melihat sebuah air mata menetes membasahi pipinya.

Mamak menghela nafas kasar lalu beranjak berdiri dan keluar kamar sendiri.
"Kalian sudah sama-sama besar, jadi selesaikan masalah kalian sendiri," sarkas mamak sambil menutup pintu kamar. Meninggalkan aku dan Nabila berdua saja.

"Ish mamak apa-apaan sih."
Nabila berdiri dengan kesal saat tau pintu ditutup mamak dari luar.

Aku mendekat kearahnya hingga menyisakan jarak satu jengkal didepannya. Dengan jarak sedekat ini aku bisa melihat matanya yang sebam, bibirnya yang pucat, dan mungkin hatinya yang rapuh.

"Maafkan saya," lirihku menatapnya lekat.

"Kalau kamu nyesel milih aku, yaudah kita sampai disini aja. Aku nggak apa kok kalau kamu milih dia,"
Nabila mengalihkan pandangan kesamping.

Kembali lagi ku hembuskan nafasku. Ku tangkup kedua pipinya dengan kedua telapak tanganku, lalu kuhapus air mata yang mengalir itu.

"Saya tau saya salah, saya mohon maafkan saya. Jangan batalkan semua ini Nabila"

Mata coklat itu seakan mencari kebenaran dariku.

"Aku sakit mas, kalau selalu dibanding-bandingin sama wanita lain. Kalau memang mas nggak suka sama aku ya udah mas sama Maria aja!"

Nada bicara Nabila naik satu oktaf. Dia berpaling ingin menjauhiku. Tapi belum sempat dia selangkah menjauh, aku sudah menarik tangannya sampai dia menabrak tubuhku. Tanpa pikir panjang aku langsung memeluknya dengan erat.

"Saya mencintaimu la, dan saya membutuhkanmu. Saya mohon maafkan saya"

Aku bisa merasakan tubuh Nabila yang kaget dengan apa yang kulakukan. Tapi lama-lama dia rileks meskipun tak menjawabku sama sekali.

"Kamu selalu memaksaku mas, dan bodohnya aku yang nggak pernah bisa nolak kamu"
Suara Nabila bergetar, aku yakin kalau dia tengah menangis saat ini.

"Maafkan mas, mas menyesal. Mas butuh kamu Nabila"

"Nabila cuman minta waktu mas. Nabila
Mohon, jangan paksa Nabila lagi," lirihnya.

Masih dalam posisi yang sama, kita saling terdiam, menyelami rasa masing-masing.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang