menjemputmu pulang 🚢

1.9K 139 1
                                    

Melawan arus samudra itu sulit. Tapi tiada yang tak mungkin.

Riuh ramai suara dari orang-orang yang sedang menunggu kepulangan para prajurit TNI AL yang sedang berlayar. Termasuk Nabila, sedari tadi aku duduk disalah satu bangku tunggu diantara para kerabat lain yang juga menunggu orang yang tengah dirindukannya.

Tepat setelah satu Minggu lalu mas Zidan pergi berlayar. Dan pagi tadi dia memintaku untuk menjemputnya di dermaga bhumi marinir.
Tempat dimana aku mengantarnya dan melepasnya, sekarang menjadi tempat dimana aku menunggu dan menjemputnya.

Tanpa sadar aku tersenyum sendiri membayangkan seperti apa nanti rupa mas Zidan-nya itu. Apakah semakin hitam, atau semakin kurus.

"Sedang menunggu siapa nduk?"

Suara seorang lelaki paruh baya yang tiba-tiba duduk disampingku telah membuyarkan lamunanku. Aku menoleh kearahnya.

"Pak kyai. Saya menunggu mas Zidan pak," jawabku sedikit memelan karena sungkan.
Lalu mencium punggung tangan beliau.

Sudah lama aku tidak mengunjunginya. Mungkin terakhir kali aku kerumahnya adalah lebaran 3 bulan lalu.


"Setahu pak kyai, Ada 3 Zidan disini atau mungkin ada lebih banyak lagi nama Zidan. Lalu Zidan yang mana nduk yang kamu tunggu?"

Pak kyai terkekeh kecil melihatku kebingungan. Aku cuman tersenyum kecil,, lebih tepatnya nyengir nggak jelas.
Ternyata pak kyai belum tahu mengenai hubunganku dengan mas zidan. Bolehkah aku bersyukur untuk hal ini.

"Pak kyai, saya izin ke toilet dulu,"
Pamitku sesopan mungkin.

"Iya nduk," jawab pak kyai sambil mengangguk.

Aku beringsut mundur menuju ke toilet untuk sekedar membasuh muka.
"Kamu dimana dek, mas sudah turun dari kapal" _zidan_

Tanpa membalas pesan singkat itu aku segera keluar dari toilet.

Mataku menelusuri seisi penjuru ruangan yang banyak dari mereka saling berpelukan. Mataku menajam ketika sosok orang yang aku tunggu tengah berpelukan dengan wanita berpakaian sama seperti anggotannya.

Kakiku semakin mendekat ketika kedua orang itu tak menyadari kehadiranku yang sudah berada didepan mereka.

"Mas Zidan," lirihku pelan hampir tak terdengar olehnya.

Lelaki itu langsung mendorong sang wanita menjauh dari tubuhnya. Sedangkan wanita itu memandangnya tak terima.

"Maria," ucapku tak percaya.

Maria memeluk lengan mas Zidan sambil mengangkat dagunya menantangku.

"Ini nggak benar la, a.. aku bisa menjelaskannya"

Mas Zidan mencoba meraih tanganku tapi aku langsung mundur darinya.

"Tak ada yang perlu dijelaskan kan mas, karena aku sudah paham"

Aku tersenyum meredam Sesak didadaku. Aku tak boleh kalah dari wanita ini.

"Ka, kamu nggak marah," tanya mas Zidan memastikan.

Aku menggeleng sembari tersenyum melihat Maria yang menganga tak percaya.

"Buat apa marah sama orang yang belum tentu jadi milikku"

Aku menekan kata 'milikku' dengan melirik Maria yang sedang tertusuk hatinya.

"Baguslah kalau kau sadar," sahut Maria ketus.

"Loh, ini toh nduk, Zidan yang kamu tunggu"

Aku langsung berbalik badan melihat pak kyai sudah disana bersama kak Rian yang tertawa kecil melihat ketegangan diantara aku, mas Zidan, dan Maria.

Aku langsung mencium tangan pak kyai, begitupun dengan mas Zidan. Setelah itu mas Zidan langsung menggenggam tanganku dan melepaskan tangan Maria begitu saja.

"Iya pak, Nabila ini calonnya zidan yang saya maksud beberapa bulan yang lalu," jawab kak Rian mendahului mas Zidan yang sudah bersiap menjawab.

Aku cuma menunduk sungkan karena belum sempat memberi tahu pak kyai tentang lamaran kemarin.

"Owalah, cocok kamu Dan sama Nabila."

"Enggeh pak, mohon doannya"

Sekilas aku melirik Maria yang pergi menjauh dari kami. Dia berjalan pelan dengan langkah tangguhnya itu.

"Baru kali ini ya yah, Zidan dijemput sama cewek. Biasanya kan dia selalu dijemput sama adiknya yang cowok itu." Kekeh kak Rian.

"Syarif  kan yan, Sampek hafal aku Dan.. Dan"
Pak kyai ikut tertawa renyah melihat mas Zidan yang menggaruk tengkuknya.

"Sama aja yan, kamu juga dijemput terus sama pak kyai kan" jawab mas zidan asal.

Kami kembali tersenyum melihat wajah kak Rian yang cemberut nggak jelas.

"Aku mau pulang yah, kangen sama istriku"
Kak rian mengalihkan pembicaraan.

Pak kyai hanya geleng-geleng sambil mengikuti mau anaknya.

"Gue duluan ya Dan, la. gue tunggu undangan kalian," ucap kak Rian sambil mengedipkan matanya.

Sebelum pak kyai dan kak Rian pergi,aku dan mas Zidan mencium punggung tangan pak kyai dengan khidmat.

"Gimana, kangen nggak?"
Goda mas Zidan ketika pak kyai dan kak Rian sudah tak terlihat oleh mata kami.

Aku berjalan mendahuluinya sambil mengedipkan bahu tak tahu.

"Kayaknya enggak," jawabku singkat.

Mas Zidan kembali menyeimbangi langkahku. Kali ini dia mencolek pundakku yang hanya sebatas dadanya.

"Yakin, awas nanti nggak bisa tidur"

Aku semakin melajukan langkahku keluar dari bhumi marinir ini menuju rumah sakit tempatku bekerja. Tapi mas Zidan tak pernah lelah mengikutiku.

"Nggak kebalik ya mas, mungkin mas Zidan yang Ndak bisa tidur karena dapat pelukan hangat dari ibu Kowal."

"Kamu cemburu..?"

Aku menoleh kearah lelaki itu yang sedang menahan senyumnya.

"Udah tau iya, masih aja nanya. Dasar lelaki nggak peka," gerutu ku dalam hati ketika kakiku mulai memasuki koridor rumah sakit.

"La, undangan kita sudah jadi loh. Kapan kita nyebarin,"

Dia berkata dengan nada hangat. Tapi sayang, itu tak mampu mengalahkan aktingku dalam hal ini.

"Iya kalau jadi," jawabku ketus.

Mas Zidan melotot mendengar jawabanku.
Dia langsung menarik tanganku untuk berhenti berjalan.

"Apa maksudmu," tanyannya.

"Silahkan berfikir sendiri Kapten"

Tanpa menunggu jawabannya aku langsung melepaskan genggaman itu dan berlari menuju ruanganku.

Tapi saat aku baru sampai didepan pintu ruanganku tiba-tiba tubuhku ambruk menabrak seseorang.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang