ayah untuk Zafran ⚓ pangeran untuk tuan Putri 🌹

2.8K 155 0
                                    

Untuk segala kenangan yang ada disini. Tetaplah disini agar aku dapat kembali untuk meniliki. Tegar dalam mengenang segalanya sendiri dalam suasana dan waktu yang berbeda nanti
🍂

"Mas bagaimana perkembangan pencarian?,"

Untuk kesekian kalinya aku mendatangi pusat pemberitahuan korps marinir.
Hanya sekedar menanyakan perkembangan apakah mas Zidan ditemukan atau tidak.

Dan untuk kesekian kalinya aku teringat pada pesan terakhir mas Zidan yang disampaikan kak Rian sehari setelah kabar kejadian yang menimpa mas Zidan dan beberapa tentara lainnya.

"Aku sudah berjanji akan membawa Zidan hidup ataupun mati. Kamu bisa pegang janjiku Nabila,"

Sebulir air mata kembali lolos dari pelupuk Mataku.
Persahabatan yang begitu indah akan terlihat ketika kita tiada. Itulah yang diterapkan kak Rian dan mas Zidan.

"Aku yakin kak,"

Aku memegang keyakinanku bahwa mas Zidan masih hidup. Begitupun kak Rian. Meskipun banyak orang yang sudah menganggap kalau mas Zidan sudah tiada. Tapi selagi jasad raganya belum ditemukan aku akan tetap berdoa agar kembali dipertemukan dengan mas Zidan dalam keadaan hidup.
_________________⚓_______________

Sebelum pulang aku menyempatkan untuk rehat sejenak disebuah taman dekat rumahku. Mengingat kenangan bersama mas Zidan, masa terendah kami, dan masa masa sulit kita disini.

Sesak dadaku menahan air mata dari perpisahan selamanya ini. Haruskah aku mengakui jika ini perpisahanku yang terakhir dengan mas Zidan. Sulit untukku menerima semuanya. Sangat sulit melepaskan orang yang kita cintai secara mendadak.

"Nabila,"

Suara bariton dari sisi kiri dekat pintu masuk. Mataku menangkap seseorang dengan perawakan tinggi dan tubuh porposional itu mendekat kearahku.

"Lek Sofyan,"
Sapaku pada seseorang yang sudah duduk disebelahku.

Lelaki itu tersenyum hangat padaku.

"Kok disini, ngapain ?"
Tanyaku padanya. Lek Sofyan kembali tersenyum hangat, tapi kali ini ada sedikit kikikan dari tawanya.

"Hem... Inikan dekat sama rumah kamu. Jadi aku kesini dan berharap bisa ketemu sama kamu, eh ternyata beneran."

Kekehan dari lek Sofyan membuatku sedikit terkikik kecil.

"Ah nggak mungkin,"
Balasku enteng.

"Hem... Kenapa, memangnya nggak boleh ya, kalau aku kangen sama kamu,"
Ucapnya serius.

Tanpa melihat wajahnya yang serius aku sudah tertawa kecil karena perkataan yang menurutku tak masuk akal.

"Becanda kamu lek,"
Kekehku sebentar.

"Saya serius Nabila. Tolong dengarkan saya dulu,"

Kata saya dari lelaki ini berarti keseriusannya dan memintaku untuk merespon dengan serius pula. Karena lelaki ini tidak terbiasa berkata saya padaku selain ketika dia serius seperti ini.

"Baiklah baiklah, hiyuuuuh."

Aku mencoba mengatur nafasku untuk menghentikan tawaku yang masih tidak bisa berhenti. Rindu rasanya bisa tersenyum seperti ini meskipun masih belum bisa selepas dulu.

"Jika saya dulu terlewat dan jawaban doamu bukan aku ataupun jawaban doaku bukan kamu. Bolehkah aku menjadikan namamu sebagai jawaban doaku saat ini, La."

Terpaku, menatap mata hitam kecoklatan itu mencoba mencari kebohongan dari apa yang diucapkannya barusan.

"A apa kak,"

Nihil. Tidak kutemukan sama sekali apa yang aku cari dari matanya. Dengan tergagap dan mengerjap-ngerjapkan mataku melihatnya yang malah tersenyum semakin manis.

"Aku sudah mendengar kabar tentang Zidan. Dan aku serius dengan segala yang aku ucapkan,"

Seketika hatiku terhantam kembali kepada kenyataan yang menimpaku. Aku menunduk menahan perasaanku yang tak karuan.

"Maaf kak, aku "

Aku benci saat seperti ini aku pasti tidak akan bisa meneruskan bicara. Entahlah rasanya tabungan kosa kataku hilang semua ketika aku dalam keadaan tertekan batin.

"Dulu aku diam, bersikap seakan-akan aku tidak ingin dekat darimu. Mengalihkan perasaanku bersama orang lain, sedangkan aku tahu kalau kamu juga menungguku."

Kak Sofyan menarik nafas lalu membuangnya perlahan, sedangkan aku hanya diam menatap matanya yang terkesan selalu ceria lebih ke konyol.

"Maaf jika aku terlalu pengecut karena berharap kamu yang mengejarku. Aku terlalu egois menahan perasaanku dan mengabaikanmu dulu."

"Maksud kak Sofyan apa,"

Seulas senyum membuatku semakin merasa bersalah pada mas Zidan.

"Izinkan saya menjadikanmu jawaban dari sepertiga malamku. Izinkan saya menjadi pangeran untuk tuan putri sepertimu, nahkoda bagimu. Dan ayah untuk Zafran."

Kembali terdiam dan ternganga dibuatnya.

"A ak aku..."

Sejenak kuhembuskan nafas pasrah sebelum meneruskan kata-kataku.

"Maaf lek, aku tidak bisa menjawabnya."

Kepalaku menunduk mencoba menghindari tatapan mata lek Sofyan.

"Izinkan saya merasakan senja bersamamu. Mengakhiri waktuku menunggumu, Nabila."

Sekali lagi perasaan ini masih bisa untuk kuterima. Ini terlalu cepat, an aku tidak siap untuk jatuh cinta lagi pada rasa yang tepat.

"Maaf kak, mungkin jawaban dari senja akan menyakitimu. Senja tidak bisa kamu miliki, maafkan senja yang mengecewakanmu."

Kak Sofyan mengusap wajah kasar.

"Nabila, kamu harus memikirkan hal lain selain dirimu sendiri. Kamu harus memikirkan masa depan Zafran juga,"

Seketika hembusan nafas panjang ini membuatku sesak nafas.

"Tetap jadikan aku sebagai senjamu kak, aku yakin kamu akan mendapatkan senja yang lebih indah dari fajar yang akan kamu dapatkan."

Seulas senyum kusertakan untuknya. Sebuah senyum perpisahan untuk sang patah hati yang sama.

"Aku berharap akan mendapatkan senja sepertimu, meskipun bukan kamu."

Senyuman hangat dari lek Sofyan aku anggap sebagai kerelaannya akan perasaan yang tidak bisa kau balas.

"Aku yakin itu lek,"

"Tetaplah menjadi senjaku meskipun kamu bukan fajar bagiku,"

Senyumnya mengembang dan kubalas anggukan kecil dan senyum hangat.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang