Ldr 2 bulan

2.2K 152 2
                                    

Untuk mendampingi orang besar seperti mu, pelajaran ikhlas itu harus aku terapkan setiap saat kan ?. Karena aku juga mencintai negara yang kamu cintai.

Kemarin sepulangnya mas Zidan menghadap laksamana, ternyata ada sebuah kabar bahagia untuk keluarga kecil kami. Setelah kenaikan pangkat mas Zidan menjadi mayor, komandan memberikan kami izin untuk menempati rumah dinas diluar asrama batalion marinir.

Rumah dinas yang tak terlalu jauh dari korps marinir dan RS, mungkin hanya sekitar 10 km perjalanan.

"Alhamdulillah dek, kita udah ada rumah sederhana ini,"
Ucap mas Zidan memandangi rumah yang diperkirakan dua kali lipat lebih besar dari pada asramanya itu. Di depan ada 2 orang ajudan dan 2 orang satpam yang bertugas.

"Iya mas, Alhamdulillah." Jawabku sebelum mas Zidan menuntunku kedalam.

Bagian dalam rumah tak jauh berbeda dari depan rumah yang memiliki halaman cukup luas. Semua sudah tertata rapi, namun aku harus tetap menata baju dan dapur kan. Setengah jam lalu aku mulai merapikannya dari dapur, karena aku juga perlu memasak makan siang terlebih dulu.

"Mas, berangkat jam berapa?"
Tanyaku ketika sampai dikamar melihat mas Zidan sudah selesai mandi dan berganti pakaian santainya.

"Nanti siang La, kenapa mau ikut."
Jawabnya seenak hati.

"Ndak lah, bukan tugasku," ketusku.

Ya, selain hadiah sebuah rumah dinas. Mas Zidan juga mendapat tugas melakukan ekspedisi dilautan cina selama 2 bulan. Dua hal bertolak belakang dalam satu waktu.

"Jangan sedih, mas pergi demi bumi Pertiwi, tapi mas akan pulang untukmu."

Mas Zidan mendekat kearah ku lalu dia menarikku kedalam dekapannya. 3 bulan pernikahan dan mas Zidan akan meninggalkan ku 2 bulan berpisah.

"Itu terlalu lama mas,"
Aku membalas pelukan hangat itu. Begitu nyaman sampai aku tak mau berpindah.

"Nanti kamu akan terbiasa dengan semua ini La, sebagai pendamping marinir kamu harus lebih sabar ketika kita berpisah."
Lirih mas Zidan menenagkan.

"Aku tau mas, berat rasanya kita terpisah antara daratan dan samudra. Tapi aku juga mengerti kalau negara ini membutuhkan mu. Dan aku harus jadi nomer dua demi bumi Pertiwi,"

"Aku berjanji, kamu adalah satu-satunya tuan putri dikehidupanku,"

Aku langsung menaruh telunjukku diatas bibirnya. Menghentikan dia untuk berbicara.

"Jangan bicara tentang kehidupan,"

Mata kami saling mencari jawaban masing-masing. Sama-sama gelisah.

"Aku janji,"
Ucapnya kemudian kembali mengeratkan pelukannya. Mataku terpejam menikmati kehangatan yang diberikan, tapi tak lama setelah itu semua berubah semakin pusing dan gelap sampai aku tak mampu membuka mata.
________⚓________

*Zidan pov*

"Nabila, dek bangun dek. Kamu kenapa La,"
Aku terus menepuk-nepuk pipinya dengan lembut, mencoba membangunkannya yang tiba-tiba pingsan.

Mana mungkin dia bisa tumbang karena kecapekan, itu sangat jarang baginya selama ini. Apa mungkin mag nya kambuh.

Tanpa pikir panjang aku langsung membawanya ke kamar. Membaringkannya diranjang lalu menelfon Mia agar datang kerumah dan memeriksa keadaannya.

"Apa mag akutnya kumat dok?,"
Tanyaku pada Mia yang sedang memasang infus ditangan Nabila.

Mia tersenyum dan menggeleng.
"Tidak, dia begitu lemas makannya saya pasang infus."

"Lalu apa yang terjadi dok?"

Aku berjalan mendekati Nabila. Tanganku mengusap lembut telapak tangan yang tidak terpasang selang infus.
Perlahan matanya mulai mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya sekitar.

"Apa yang terjadi mas,"
Tanya Nabila begitu lirih dan lemah.

Aku tersenyum sekilas, mengusap ubun-ubunnya perlahan.

"Kamu tadi tiba-tiba pingsan La,"

Nabila sedikit terkejut. "Maaf mas, aku membuatmu khawatir,"

"Bagaimana dok, apa Nabila perlu di obname ke rumah sakit,"
Tanyaku beralih ke Mia yang membereskan peralatannya.

Sebelum menjawabku Mia malah tertawa kecil, terlebih ketika melihat Nabila yang begitu bingung.

"Tidak perlu. Selamat ya, kalian akan menjadi orang tua."

Seketika aku dan Nabila membulatkan mata tak percaya.
"Maksudnya, Nabila.."

"Iya mayor, Nabila hamil, usiannya baru 2 Minggu. Dan itu masih sangat lemah, aku akan memberinya resep obat penguat kandungan nanti."
Mia mencatat sebuah resep lalu memberikannya padaku.

Aku menatap mata istriku dengan penuh kebahagiaan. Kebahagiaan yang selama ini belum terpikirkan oleh kami.

"Baiklah, terimakasih dok."
Ucapku dan Nabila saat Mia akan beranjak meninggalkan kamar.

"Jaga kesehatan Nabil, aku sudah tak sabar dipanggil Tante sama anakmu nanti,"
Kekeh Mia yang dibalas senyuman dari Nabila.

"Mari dok, saya akan mengantar anda, kebetulan saya juga akan menebus resep yang anda berikan."

Aku mengantar Mia sampai didepan rumah, karena tadi dia membawa mobil sendiri jadi aku tak bisa mengantarnya kembali ke rumah sakit. Waktu sudah hampir jam 1 siang, setelah mendapatkan beberapa obat dan vitamin aku langsung pulang.

"Kamu yakin dek, mau nganterin mas?"

Tanyaku saat Nabila sudah berganti pakaian biru tua Jalasenastrinya.

"Iya mas, aku kok jadi pengen naik kapal mas Zidan sebentar aja,"
Matanya merayuku lucu.

"Kau ini, ada-ada aja. Tapi kau masih lemas La,"

Aku menaruh obat diatas nakas, lalu beranjak memeluk Nabila. Wajahnya terlihat masih pucat. Padahal dia baru saja melepas infusnya eh udah mau pergi mengantarku ke dermaga.

"Ndak apa mas, cuman sebentar aja. Boleh ya," bujuknya lagi.

Sekilas ku kecup keningnya lalu mengangguk singkat sebelum aku berganti pakaian loreng kebanggaanku dan berangkat menuju dermaga.

"Ayo, La. Tadi katanya pengen naik kapal,"

Aku menuntun Nabila saat kakinya menginjak lantai kapal dia malah memejamkan mata kuat-kuat dan tangannya bergetar takut.

"Hei, buka matamu. Kenapa, kau takut."
Candaku menyentil keningnya.

"Ish mas, aku tuh dulu thalassophobia,"
Dengusnya, dia membuka mata takut-takut. Bibirnya membuka gaket melihat lautan lepas didepannya.

"Apa itu thalassophobia?" Tanyaku membawanya kedekapanku. Aku rasa dia sudah tak lagi takut, Karena dia membalas pelukanku dengan tenang.

"Thalassophobia itu kondisi seseorang yang merasa takut terhadap lautan, mas "

"Kenapa kau takut. Apa kau punya trauma,"

"A... Aku dulu pernah hampir jatuh dari perahu saat menyebrangi Bengawan mas,"
Jawabnya malu-malu. Melihat semburat merah di pipinya membuatku tak bisa lagi menahan tawa.

"Hahahaha. Kau ini ternyata masih penakut saja,"

Nabila mendengus kesal dengan memukul dadaku pelan.
"Ish, sudahlah mas. Aku mau turun,"

Aku mengantarnya turun dari kapal. Sebentar lagi aku akan berangkat, jauh darinya dalam waktu 2 bulan. Dengan keadaannya yang hamil muda sangat membuatku tak tega untuk meninggalkannya sendiri.

"Mas janji, mas akan kembali untukmu dan anak kita,"
Lirihku menggenggam kedua tangannya.

"Pergilah mas, Pertiwi memanggilmu,"

"Siap, ibu Jalasenastri."

Ku kecup lama kening wanita yang ku cintai ini, mengisi cadangan rindu sebelum senyum hangat itu mengantarku pergi menjauh terhalang kabut lautan.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang