untuk komandan mayor zidan ⚓

2.5K 153 3
                                    

Terkadang pikiran dan hati kecil memberi dua pilihan jalan yang sama sulitnya dijalani. Untuk mengambil keputusannya pun akan dihantui rasa takut tersendiri.

*Zidan pov*

"Izinkan Zidan bersama Indria, Nabila, berbagilah dengannya,"

Tanpa sepengetahuan mereka sebenarnya aku sudah lama mendengar setiap kata yang mereka ucapkan.

"Kenapa ibuk malah meminta keridhoan Nabila, apa ibuk juga lebih menyukai Indria,"
Lirihku pelan.

Apa maksud ibuk melakukan semua ini. Kenapa harus serumit ini kisahku.

Ingatanku kembali saat semalam ibuk memaksaku menceritakan semuanya padanya. Dan salah satu kelemahan ku adalah aku tak akan bisa berbohong pada wanita nomor satu dihatiku ini.

"Apa yang kamu lakukan nak, ibuk mendidikmu bukan untuk menyakiti hati wanita. Apalagi dia istrimu,"

Suara lirih ibuk terkesan tegas dengan penekanan disetiap katanya.

Kembali terdiam dan menunduk adalah sikapku sedari tadi mulai bercerita. Apa yang aku lakukan, aku hanya mengikuti kata hatiku.

"Aku hanya mengikuti kata hatiku, buk."

Ibuk menghela nafas kasar beberapa kali. Tangannya juga mengelus dadanya sendiri.

"Apa yang kamu inginkan saat ini Dan,"
Tanya ibuk seperti sebuah tudingan bagiku.

Terdiam lama adalah pilihanku.

"Kamu memilih Nabila, atau memilih Indria,"
Sarkas ibuk.

Kali ini aku sedikit terhenyak mendapatkan pertanyaan seperti itu.

Siapa yang aku pilih, aku tak tahu mana yang hatiku mau.

"Maafkan Zidan buk, Zidan tidak bisa memilih,"

"Kamu egois Dan, kamu nggak bisa menyakiti hati keduanya terus-menerus,"

Ibuk menatapku tajam dengan tatapan kekecewaan, sedangkan aku menatapnya lekat.

"Tapi aku..."

"Mau tidak mau kamu harus cepat mengambil keputusan nak, atau kamu mau kapalmu tenggelam dan tidak menyelamatkan satupun penumpangnya."

Ibuk menunggu respon dariku yang memilih untuk tetap diam sampai beliau pergi masuk ke kamarnya sendiri.
____________⚓____________

"Nda, nda... Nda nda,"
Ocehan Zafran meminta digendong olehku.

Sedikit senyum kusampaikan padanya agar dia tenang. Sedari tadi aku bermain bersama putraku diatas ranjang kecilnya. Zafran seperti mengerti jika bundannya sedang sedih dan banyak pikiran.

"Maafkan bunda ya sayang, bunda ngelamun ya, nggak ngajak main Zafran iya,"

Aku mengajak bicara anakku sambil menggendongnya. Zafran tertawa lucu saat aku menggodanya.

Ah melihat wajah dan mata Zafran membuatku ingat pada mas Zidan. Putra kecilku ini sangat mirip dengan mas Zidan. Jika disandingkan mereka akan terlihat seperti kembar seiras.

"Bunda bingung nak, apa yang harus bunda lakukan."
Monologku menatap Zafran.

Zafran pasti tidak akan mengerti karena dia baru berusia 3 bulan,

"Aben aben aben,"
Celotehan lucu Zafran kembali menghiburku.

Kulirik jam dinding kamarku yang menunjukkan waktu jam 3 sore. Setelah terdengar adzan ashar aku segera memandikan Zafran sendiri karena ibuk dan ayah sedang ada acara menjenguk teman mereka yang sakit. Sedangkan mamak dan bapak sudah 2 hari lalu pulang kekampung untuk menemani Oma ku yang sudah tua.

"Anak bunda sudah ganteng, yuk bobok nak,"

Tanganku mulai menepuk-nepuk pantat Zafran pelan sambil bersenandung kecil sholawat nabi agar dia cepat tertidur.

"Bok bo bobo,"

Mata Zafran mulai meredup dan tertutup dengan wajahnya yang tenang membuatku gemas, tak tahan ingin menciumnya. Setelah aku rasa Zafran tertidur pulas aku memilih keluar kamar sebentar untuk mengambil minum didapur.

"Dek, mas ingin bicara sebentar sama kamu,"

Mas Zidan menghadangku saat aku baru menutup pintu kamar.

Tanpa berniat berbicara aku hanya mengangguk setuju. Setelahnya mas Zidan menggiringku menuju kursi ruang tamu.

"Maafkan mas Zidan, dek,"
Ucapnya mengawali pembicaraan ini.

"Aku tahu mas, aku nggak lebih dari Indria. Aku tahu kalau aku jauh dibawahnya. Dia pasti lebih cocok kalau sama kamu,"

Air mataku mulai menumpuk dipelupuk mata. Cobaan seberat ini untuk hatiku.

"Aku tidak bermaksud menyakitimu La,"

Mas Zidan mengarahkan badanku menghadap kearahnya.

"Tapi kamu tetap menyakitiku mas,"

Setetes air bening itu mengalir menuruni pipiku. Mataku mulai memerah karena tangis tanpa suara ini.

"Kamu pasti milih dia kan mas, aku tahu itu."

"Bukan itu Nabila..."

"Sudahlah mas, aku nggak tahan jika keadaannya terus seperti ini, dan aku mungkin nggak akan sanggup jika nanti harus berbagi dengan wanita lain,"

"Apa maksud kamu La,"

"Aku sadar mas, kalau aku tidak lebih baik dari Indria hingga ibuk sendiri yang memintamu untuknya."

"Aku nggak tau kalau ibuk..."

"Sekarang kamu tahu kan mas, kalau ibuk juga memilih Indria untukmu,"
Potongku sebelum mas Zidan selesai berbicara.

Suaraku habis dan semakin lirih mengatakannya. Seketika mas Zidan langsung membawaku kedalam pelukannya. Erat sekali sampai-sampai aku terbuai oleh usapan lembut pada punggungku jika tidak dalam keadaan seperti ini mungkin aku tak akan mau lepas darinya. Tapi ini berbeda.

"Aku, maaf. Maafkan mas,"

"Aku tidak sebaik Aisyah yang bisa berbagi meskipun dia selalu cemburu pada istri baginda nabi Muhammad, dan aku juga tidak semulia Fatimah yang pantas diperjuangkan Ali bin Abi Thalib,"

Mas Zidan mengurai pelukannya lalu menghapus air mataku yang menetes.
Lama kami saling terdiam sebelum dia kembali menggumamkan kata "maaf,".

"Tunggu sebentar mas,"

Aku beringsut kekamar kami lalu mengambil sebuah setelan baju.

"Untuk komandan kapten Zidan. Aku menyerahkan Jalasenastri ku untuk kamu bersamanya mas,"

Aku menyerahkan seragam berwarna biru laut Jalasenastriku pada mas Zidan. Tapi mas Zidan tidak segera menerimanya dan aku langsung menaruh diatas meja tepat dihadapannya.

"Apa maksud kamu Nabila,"
Tanya mas Zidan menatapku nanar.

"Aku nggak mau jika harus berbagi mas, aku memilih pisah darimu jika kamu tetap memilih dia."
Tukasku.

Mas Zidan menatapku tak percaya, tangannya mencoba menggapai tanganku namun segera kutepis cepat.

"Itu tidak mungkin La, aku tidak mau."

Kucoba menetralkan tangisku dengan bernafas besar.

"Jika kamu tidak melepas salah satu maka kamu akan kehilangan posisi di TNI mas, negara ini tidak membutuhkan prajurit yang mempunyai selir,"
Sarkasku membuat mas Zidan kembali terdiam.

Tak kuat rasanya jika terus berdebat seperti ini. Dengan cepat aku langsung masuk ke kamar dan mengunci pintunya dari dalam.

"Nabila, dengerin mas dulu, dek... Tolong buka pintunya, mas ingin bicara denganmu."

Mas Zidan terus saja menggedor pintu kamar tanpa henti.
Aku membekap mulutku kuat agar tangisku tak terdengar mas Zidan yang berada dibalik pintu ini.

"Aku ingin sendiri mas, hik hik,"

Sekuat apapun aku menyembunyikan tangisku mungkin masih tetap terdengar mas Zidan diluar. Sampai lelah aku menangis, entah berapa jam hingga mataku terpejam tak sadarkan diri.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang