Dokumen N 1 💐

2.4K 155 0
                                    

Tak perlu menyesali apa yang terjadi. Dan tak perlu ragu dengan apa yang akan dijalani.

Sehari setelah acara lamaran kemarin yang juga acara menentukan tanggal pernikahan yang sudah ditetapkan akan diadakan 3 bulan lagi.

"Saya izin pak, hari ini saya akan membawa Nabila kerumah saya untuk mengurus surat izin orang tua"
Mas Zidan mencium punggung tangan bapak dan mamak bergantian.

Orang tuaku memahami jika calon menantunya ini bukan orang biasa. Maka dari itu, untuk menikah pun tak akan semudah orang-orang biasa.

"Nabila senyum dong, mau ketemu calon mertua kok cemberut,"
Goda mamak, memang sedari tadi aku hanya diam tak menanggapi ketika kak Zidan meminta tanda tangan kedua orang tuaku. Hatiku masih merasa dipaksa.

"Iya Mak, aku pergi dulu,"
Pamitku pada mamak dan bapak, lalu segera mengikuti langkah mas Zidan menuju motornya.

"Dek jangan kenceng-kenceng pegangannya"
Mas Zidan sedikit menoleh kearahku yang begitu kencang meremas jaketnya. Dia sedikit berteriak karena suaranya terbawa angin yang menerpa kencang.

"Mas Jangan bawa motornya kenceng-kenceng,"
Balasku sambil menutup mata karena mas Zidan malah menambah kecepatan laju motornya.
______⚓_____

Tak lama kemudian kami sampai didepan rumah mas Zidan.

"Udah sampai dek, masih mau merem aja kamu. Nanti dikira orang kamu ketiduran loh,"
Mas Zidan melepaskan helemku, lalu membantuku turun dari motornya.

Aku membuka mata perlahan saat kakiku sudah menginjak tanah, dan saat itulah tawa membahana mas Zidan menguar.

"Kamu tuh lucu dek. Hahahaha..."

Aku mencebik sambil menghentakkan kaki kesal.

"Ish, mas!" Geramku, tapi mas Zidan malah kembali tertawa.

"Kamu ini Dan, calon mantu ibuk kok digoda terus"
Suara ibuk menghentikan tawa mas Zidan.

Aku berkata "sukurin mas" tanpa suara hanya dengan gerakan bibir saja.

"Loh. calon mantu ayah sudah datang, kok nggak disuruh masuk toh Dan"
Kali ini mas Zidan melotot kaget sama suara ayah.

"Ayo masuk dek."

Aku langsung mengikuti langkahnya masuk ke rumah sederhana namun terkesan lebih mewah ini sambil terkikik.

"Mas, sebenarnya ini surat apa sih. Kok harus minta tanda tangan ku, sama orang tua kita?,"
Tanyaku ketika kita sampai diruang tamu.

Ruangan sepi, hanya kami berdua. Ayah dan syarif sedang sholat Dzuhur, sedangkan ibuk mengambilkan minum. Lalu kakak pertama mas Zidan sudah pulang kerumah istrinya kemarin malam.

"Ini itu dokumen N 1.
Ini adalah surat yang menyatakan akan menikah, yang harus ditanda tangani orang tua, dan istri."

Mas Zidan menerangkan sambil menunjukkan berkas tersebut. Kata-kata terakhir kalimat mas Zidan ditekan pada kata 'istri'.

"O.... Gitu"
Aku hanya manggut-manggut didepannya yang sedang tersenyum.

"Mas, ibuk kerumah tetangga sebelah dulu ya. Maaf ya nak, ibuk Ndak bisa nemenin, soalnya ibuk harus mimpin tahlil dirumah tetangga"

Usai membubuhkan tanda tangan ibuk pamit kepada ku dan mas Zidan. Kami memang baru saking dekat, tapi rasanya aku dan ibuk lebih dekat dari pada kau dan mamak.

"Iya buk Ndak apa."

Ibuk tersenyum hangat lalu mengusap kepalaku ketika aku mengecup tangannya.

"Aku nemuin ayah dulu ya La, kamu disini dulu ya. Nanti ayah akan keluar kok"

Aku mengangguk, mas Zidan melangkah ke sebuah kamar yang difungsikan sebagai tempat sholat. Bertepatan ketika mas Zidan masuk, Syarif keluar menghampiriku. Dia duduk diseberang kursi lainnya.

"Eh kak, mas Zidan nggak buat Lo sedih kan?" Dia cengengesan.

"Kayaknya enggak deh," ucapku sambil tersenyum.

"Tapi gue lihat, kak Nabil kok jarang senyum sih kalau sama mas Zidan"

Syarif menatapku serius, Aku sedikit terhenyak.

"Enggak kok," jawabku cepat.

"Apa kak Nabil masih belum terima sama cara mas melamar kemarin"

Kali ini tiada lagi tatapan serius, Syarif terkekeh kecil sambil mencondongkan dagunya mengejekku.

"Kau ini, tak pernah berubah dari dulu," ucapku mengingat tingkah tengilnya dulu.

"Ah nggak juga, mas Zidan tuh makin serem ya kak," ucap Syarif sedikit berbisik.

Matanya menelisik kepalanya menoleh ke kanan dan kiri mencari sosok yang dibicarakan tidak muncul dia kembali menghempas tubuhnya ke punggung kursi sambil bernafas lega.

"Mas mu itu alexithymia ya, sya"

Syarif mengerutkan dahinya, matanya menatap ku bingung.

"Apaan tuh kak?"

"Alexithymia itu sama kayak seseorang yang tidak bisa merasakan emosi orang lain akibat perbuatannya.
Dan dia tidak bisa mengartikan emosinya sendiri. Seorang alexithymia cenderung tidak mau mendengarkan orang lain.
Dia selalu menganggap apa yang dilakukannya benar dan dia sangat sulit menerima pendapat orang lain.
Kecuali orang itu yang dipercayainya."

Aku menjelaskan pada Syarif. Sedangkan yang dijelaskan hanya manggut-manggut.

"Sepertinya calon kakak iparmu ini demam"

Aku menegang ketika sebuah telapak tangan menangkup keningku. Seperti sedang memeriksa suhu tubuhku yang baik-baik saja.

"M, mas mas Zidan"
Syarif gelagapan melihat mas-nya sedang berdiri disampingku.

"Saya tidak punya riwayat penyakit macam itu," ucap mas Zidan dingin sambil mengambil duduk disampingku.

Aku cuman nyengir nggak jelas. "Maaf," lirihku. Dia mengusap kerudungku gemas.

"Kau ini, mencoba mengklaim calon suamimu psikisnya sakit ya"

Kekehan mas Zidan membuatku lega.

"Ayah, mas antarkan dek Nabila pulang dulu ya"
Pamit mas Zidan ketika ayah sudah sampai diruang tamu.

"Loh, kok buru-buru nak,"
Ucap ayah ketika aku mencium punggung tangannya.

"Maaf  yah, Nabil ada keperluan untuk mengurus berkas lainnya hari ini"

Sebenarnya Aku tak enak hati untuk mengatakan itu. Tapi aku sudah 2 jam disini.

"Yasudah, tak apa, nak Nabila kan bisa mampir kesini setiap saat," ujar ayah.

"Kalau udah sah, ya bakal nginep kesini terus dong yah," ucap mas Zidan disertai kekehan.

"Kau ini Dan, kalau nganterin calon mantu ayah hati-hati jangan sampai lecet"

"Siiiip... yah"

Mas Zidan mengacungkan jempolnya, lalu aku dan mas Zidan mengucapkan salam bersamaan sebelum motor yang kami naiki melaju.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang