baret ungu tertelan ombak samudra ⚓

2.1K 141 0
                                    

Saya hanya bilang akankah saya pantas bersamamu. Dan saat itu juga saya berfikir akankah saya bisa melepaskanmu untuk Dia.

2 bulan pencarian yang tidak membuahkan hasil membuatku kian terpuruk. Tapi bagaimanapun aku harus tetap kuat didepan Zafran dan semua orang.

"Unda... "

Ocehan lucu Zafran membuatku kembali membawaku kedunia nyata.

Lama aku dan Zafran memandangi foto kami bertiga. Didalam foto berfreme besar itu tengah menggunakan gaun panjang dengan hijab senada. Sedangkan mas Zidan dan Zafran memakai seragam dengan baret marinir yang sama. Disana kita saling tersenyum manis menunjukkan kehangatan keluarga kita.

Saat itu usia Zafran baru 3 bulan tepat pada hari jadi pernikahanku dan mas Zidan.

"Apa sayang,"
Kupandangi wajah Zafran yang tersenyum lucu membuatku gemas tak tahan untuk tidak mencubit pipi gembulnya.

Wajah mungil ini membuatku teringat pada mas Zidan. Sudah kubilang kalau mereka ini sangat mirip seperti anak kembar.

"Nabila,"
Panggil ibuk dari arah belakang.

Ibuk melangkah mendekatiku dan Zafran lalu beralih mengambil Zafran dari gendonganku.

"Kamu Ndak kerja nak, sini biar Zafran sama ibuk,"

Seulas senyum aku sampaikan untuk ibuk. Aku harus bisa tersenyum didepan mereka meskipun tak selepas dulu.

Hidupku masih bisa indah namun tak seindah dulu.

"Iya buk, Nabila berangkat ya,"

Berpamitan dengan ibuk dan Zafran adalah gantiku berpamitan dengan mas Zidan.

Disini aku selalu ditemani ibuk karena ibuk juga tidak mau jika aku terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Meskipun aku yakin kalau ibuk tak kalah bersedih dariku tentang kepergian mas Zidan.

"Kamu hati-hati ya nak,"

Senyuman hangat ibuk kubalas dengan senyum manis sebelum aku melangkah keluar rumah.

Masa Iddah ku sudah selesai, dan hari ini aku ada jam bertemu dengan seseorang yang mengalami trauma berat karena kecelakaan yang menimpa keluarganya.
_______________⚓____________

Flashback

"Komandan. Kapal dalam keadaan darurat!"

Teriak komando nahkoda membuat semua prajurit yang ada dikapal sanderaan ini panik.

"Kondisikan situasi. Pasukan bersiap untuk terjun ke laut. Laksanakan sesuai rencana,"

Sebisa mungkin aku mencoba mengambil keputusan diwaktu tersempit ini. Kondisi kapal semakin kacau ketika ditemukan rangkaian bom yang siap meledak dalam 10 detik.

Jika kalian ingin tahu seperti apa jantung orang-orang yang ada dalam situasi ini. Bisa dipastikan dada mereka berdetak lebih kencang dari pada saat mereka jatuh cinta.

"Komandan zidan bom tidak berhasil dijinakkan."

Laporan dari salah satu tim penjinak bom membuat atmosfer semakin mencekam.

"Lakukan rencana B."
Tukasku.

Semua yang ada dalam kapal ini langsung melepas ransel dan peralatan lainnya yang dimungkinkan menyusahkan kita saat menyelam.

Satu persatu dari mereka terjun kelautan berenang menjauh dari kapal untuk menyelamatkan diri.

"Nabila, jika hari ini adalah hayatku. Maaf jika aku menjadikanmu seorang Jalasenastri yang berdiri sendiri tanpa nahkodanya. Aku yakin kamu bisa memimpin Zafran menjadi anak yang membanggakan."

Tanpa sadar batinku berkata lirih melihat para prajurit ini harus tunggang langgang berenang tergesa-gesa.

Dalam situasi inilah aku merasa gagal menjadi seorang marinir yang memimpin pasukannya.

"702, 702, mayor Zidan apa kau masih disana."

Suara HT yang tergantung disaku kiriku berbunyi. Itu suara Rian yang berada dalam batalyon kapal berbeda.

Agresi besar ini mengharuskan kita untuk saling terhubung satu sama lain. Selain untuk mengkondisikan pasukan, HT juga menjadi sangat membantu dalam keadaan darurat seperti ini.

"702, mayor Zidan disini. Komandan Rian tolong dengarkan saya tanpa mencela."

Disini tinggal tersisa beberapa orang saja yang belum menceburkan diri. Sisanya sudah menyelamatkan diri menjauh dari kapal besar ini.

"Siap, laksanakan."
Jawab Rian mantap.

Meskipun aku tahu jika dari ritme suaranya dia ingin mencelaku kenapa tidak langsung menceburkan diri saja sekarang.

Seandainya hal itu bisa dilakukan seorang mayor. Dalam tanggung jawab seorang marinir kita tidak boleh memikirkan diri sendiri. Seorang pemimpin harus berfikir dua kali lipat dari prajuritnya. Tanggung jawab penuh jiwa dan raga.

Seorang pemimpin pasukan tidak akan menyelamatkan dirinya jika masih tersisa prajurit yang belum selamat dari situasi ini. Pemimpin juga harus siap mati bersama atau mati terlebih dahulu dari dan demi prajuritnya dalam pertempuran.

"Tolong sampaikan pada Nabila kalau saya, Zidan Alfiansyah Akbar selalu menempatkan dia dalam posisi permaisuri sampai akhir hayat."

"Laksanakan."

"Sampaikan pada Nabila, Jika ini akhir kehidupan saya, bilang padanya jangan terlalu bersedih. Jadikan Zafran seorang marinir seperti ayahnya."

"Laksanakan."

"Saya akan kembali, entah dengan raga yang sama ataupun wujud yang berbeda."

Tit tit tit tit tit....

Bunyi detik jam pada bom itu semakin keras dan rapat.

"Zidan. Lo harus segera menjauh dari kapal itu. Nggak usah ngomong aneh-aneh, Lo harus selamat kalau nggak mau lihat Nabila sedih !"

Doooooooaaaaaaaarrrrr.......

Kapal besar milik sandera yang sudah diamankan ini meledak ditengah laut. Meluluh-lantakkan beberapa orang yang masih tersisa didalamnya.

"Dan, Zidan. ZIDAN LO DIMANA!"

Rian frustasi karena mendengar ledakan hebat dari suara HT yang terhubung dengan Zidan membuat sebulir air mata itu mengalir dari mata merah sang baret ungu.

"Gue yakin Lo pasti selamat. Gue janji akan bawa Lo ke Nabila, entah itu bersama nyawa Lo. Atau cuman raga Lo,"

Rian semakin terpaku melihat radar kapal yang ditumpangi Zidan tidak terdeteksi. Dan ditemukan hancur dengan puing-puing mengambang ditengah lautan.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang