Terkadang masa lalu membawa ujian pada kehidupanmu sekarang. Entah membuatmu selalu terikat dengan seseorang, atau memberimu jalan lain dengan seseorang.
🌹
*Zidan pov*Tepat jam 4 sore aku sudah menunggu Nabila didepan halte bus rumah sakit tempatnya bekerja. Aku menunggunya sambil memarkirkan motor dinasku disamping halte.
Tak lama setelah itu datang seorang wanita dengan tubuh tinggi semampai dan wajah bulat anggun. Namun sayang, itu bukan Nabila. Tapi Indria.
"Zidan bisakah kita bicara sebentar."
Wanita itu sekarang berdiri didepanku."Bukankah semua sudah jelas."
Balasku tenang. Aku tak mau menyakiti siapapun, apalagi seorang wanita.Aku melihat sebuah senyum manis terukir di bibirnya.
"Hanya sebagai teman. Aku mohon,"
Bujuknya sambil menangkupkan kedua tangan didepan dada.Kuhembuskan nafas pasrah sejenak.
"Baiklah, 30 menit." Jawabku melirik jam dipergelangan tangan.
"Oke, kita ke kafe depan ya,"
Ucapnya semangat.Aku mengekorinya dari belakang. Melihat Indria memilih tempat duduk di bagian dalam dekat kasir, aku pun diam mengikuti kemauannya.
"Kemarin Aku lupa tanya, bagaimana kabarmu."
Tanya Indria dengan nada ceria.Aku menatapnya sedikit menyelidik. Setelah kemarin aku memergokinya menangis lalu sekarang bertingkah seakan-akan tak terjadi apa-apa.
"Baik, kau ?"
Tanyaku balik."Seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja."
Indria mengulas senyum yang mau tak mau aku harus membalas senyumannya demi menghormati perasaannya.
"Aku cuman mau ngelurusin tentang yang terjadi pada kita dulu. Bolehkan?,"
Indria terdiam sejenak, dia menatapku lurus. Tanpa kata apapun aku hanya mengangguk setuju, mempersilahkan dia untuk mengatakan segalanya.
"Sebenarnya waktu itu, setelah kata rehat itu. Kenapa kau tak pernah menghubungiku lagi."
Mendengar kata-kata itu membuatku menyunggingkan senyum miris. Kelebihan dia mendominasi kesalahan tak pernah berubah dari dulu.
"Bukankah kau yang meminta untuk rehat. Lalu segala akses juga kau blokir."
Balasku sarkas.Indria menatapku miris, matanya menunjukkan penyesalan. Lama kita saling terdiam. Mendengar Indria menghembuskan nafas besarnya berkali-kali.
"Maaf, sebenarnya waktu itu. Ponselku terjatuh dalam air, lalu.."
"Tapi kau tak pernah berusaha untuk menghubungiku lagi kan ?,"
Tukasku.Kami kembali terdiam. Saling menatap dengan pandangan masing-masing.
"Bukan begitu. A ak aku.."
Entah apa yang akan dikatakan Indria hingga dia sangat sulit berbicara.
"Aku terlambat ya?"
Lirihnya pelan.Dia menundukkan kepalanya. Perlahan pundak itu bergetar disertai sebuah isakkan kecil.
"Ak aku rasa, hyuuuh"
Helaan nafas kasar dibelakang itu menunjukkan aku tak mampu lagi mengatakan apapun.Ayolah, aku sangat lemah jika dihadapkan dengan air mata wanita.
"Kenapa kamu memilihnya?" Cerca Indria.
Mata indah itu berair. Hidungnya juga mulai memerah karena tangis.
"Apa maksudmu?" Balasku dingin.
"Bukankah tiada kata pisah diantara kita?,"
Hatiku tercengang mendengar kata itu. Bagaimana mungkin aku melupakannya.
Kutangkup wajah ayu yang kini dipenuhi air mata, perlahan tanganku menghapus bulir air mata yang sedari tadi menetes tanpa henti.
"Maafkan aku. Kini hatiku sudah berlabuh padanya,"
Lirihku memandangnya. Setelah menghapus air matanya aku langsung memberinya sebuah sapu tangan agar dia bisa menghapusnya sendiri."Aku mengerti,"
Jawab Indria masih sibuk menghilangkan sisa-sisa air mata yang menetes."Bisakah kita menjadi teman."
Lanjutnya sembari mengulurkan tangan.Aku tak pernah mengerti kekuatan wanita. Seberapa sabar dan terimanya dalam menjalani takdir. Apalagi kekuatan untuk menyembuhkan hati yang terluka. Sungguh, wanita itu sangat misterius. Dia bisa menumpahkan segalanya namun juga selalu menang jika menahan semuanya.
Lama aku berfikir. Aku harap langkah ini menjadi langkah baik yang tak menimbulkan efek samping.
"Tentu,"
Aku menyambut uluran tangan Indria dengan sedikit ragu.Melihatnya bisa kembali tersenyum membuatku ikut tersenyum. Setidaknya aku sekarang bisa berfikir kalau dia baik-baik saja.
"Kita ngobrol sebentar ya, aku ingin tau bagaimana kamu bisa jadi marinir."
Indria menahanku dengan tatapan membujuknya."Aku juga ingin tau apa yang kamu lakukan selama ini,"
Balasku serius.Perlahan senyum manisnya menghilang. Indria seakan tersinggung akan ucapanku.
"Maksudku sampai kamu sukses begini,"
Lanjutku lagi."Ooooh Oke, akan aku ceritakan."
Tawa renyah diantara kami kian terukir.Dia masih sama. Pesona dan karismatik yang dulu tetaplah ada pada dirinya. Mungkin sekarang aku katakan kalau dia lebih berwibawa lagi, dan soal keanggunan, itu pun semakin mendominasi di usianya yang matang seperti sekarang.
"Aku harus pulang, kau mau ku antar?."
Setelah melihat jam dipergelangan tanganku yang menunjukkan jam 5 sore, berarti aku sudah menghabiskan waktu dengan Indria selama satu jam. Tanpa terasa dan terganggu apapun.
Mataku melihat senyum manis yang kembali terukir diwajahnya yang anggun.
"Tidak perlu, aku bawa motor sendiri. Lagi pula rumahku dekat sini kok,"
Ucapnya mengikutiku berdiri.Kami melangkah bersama menuju parkiran, setelah sampai didepan, Indria sempat meminta untuk saling bertukar kontak, katanya dia hanya ingin menjadi sahabatnya yang dulu.
"Aku duluan ya,"
Pamitku padanya. Tak mau membuang waktu aku langsung melajukan motorku menuju tempat semula.Sampai didepan halte bus, ku lihat Nabila sudah menunggu sambil duduk di ujung kursi tunggu halte.
"Maaf ya dek, mas telat."
Ucapku sedikit gugup.Melihat Nabila mengusap peluh dikeningnya membuatku merasa sangat bersalah karena melupakannya.
"Ndak apa kok mas, mas kemana aja. Lama banget,"
Gerutu Nabila kesal. Dia langsung menyambar helem yang ku ulurkan dan naik ke motorku."Kenapa nggak naik bus aja,"
Jawabku dingin."Aku nunggu mas, mas kan yang bilang janji tadi."
Balasnya tak kalah dingin. Kulihat dari spion tiada senyum yang tersungging darinya.Tanpa berkata apapun aku langsung melajukan motorku dengan kecepatan sedang. Kita pulang tanpa ada perbincangan, bahkan Nabila juga tidak memelukku seperti biasa. Apa dia ngambek padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku pendamping marinir
RomanceUntuk mendampingi orang besar seperti mu aku harus bisa tangguh sepertimu. agar aku tak mundur jika kamu membutuhkanku menahan keluh kesah mu. kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan, ketika sang marinir memenuhi panggilan pertiwi, aku harus mampu...