jejak samudera sang mayor. ⚓

1.8K 147 0
                                    

Pertemuan kali ini adalah untuk menuntaskan segala yang belum usai. Dan menjawab pertanyaan yang belum terjawab dari lisan Seseorang.
🍁

*Zidan pov*

Ditengah lautan lepas aku menatap sebuah foto yang sedari tadi tergenggam ditanganku. Foto seorang yang sangat aku rindukan. Wanita yang tengah mengandung anak pertamaku.

"Ternyata rindu membuat kita terus membayangkan hal indah,"
Ucap batinku.

Aku jadi berpikir, kapan perut Nabila akan membuncit. Dia pasti akan terlihat sangat lucu karenanya. Ah, aku jadi tak sabar menantinya. Padahal sekarang usia kehamilannya baru menginjak 4 bulan.

"Mayor, kita akan sampai didermaga."
Salah seorang anggota Bintara memanggilku untuk segera masuk keruang kemudi.

Aku yang semula berada di balok kapal langsung diseret Rian untuk segera masuk.

"Laksanakan sesuai rencana,"
Instruksi ku.

"Izin komandan, ombak di dermaga tidak memungkinkan kita untuk berlabuh sekarang. "
Seorang nahkoda dan awak kapal mendekat kearahku. Mereka menjelaskan beberapa titik koordinat.

"Kita tunggu sebentar. Kita harus ingat dengan jalesu bhumyamca jayamahe."

Kobaran semangatku membakar semangat para anggota lainnya. Hari ini setelah 2 bulan kita melaksanakan operasi pulau terluar dengan hasil memuaskan. Moto seorang marinir Jalesu Bhumyamca Jayamahe (dilautan dan didaratan kita berjaya). Semua tak boleh sia-sia begitu saja. Tak apa waktu kita tertunda beberapa saat karena ombak. Yang terpenting kita tetap bertemu dengan keluarga.

"Siap laksanakan," koar semua anggota.

Kita memilih memutar arah ke dermaga samping. Meskipun disana lebih jauh tapi ombak disana tidak terlalu besar. Jadi kita harus berlabuh disana.

"Kenapa lo, galau aja."
Rian menyenggol lenganku mencoba membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum dan kembali menatap laut lepas, tak jauh lagi kita akan sampai didermaga.

"Gue masih nggak nyangka aja. Kalau operasi ini terasa sangat berat."
Jawabku menghela nafas.

Aku melihat Rian juga menghela nafas yang sama besarnya.

"Sudahlah, yang terpenting kita berjaya."

Rian nyengir bangga. Tapi aku membalasnya dengan senyum kecut.

"Mereka ada yang terbunuh. Tidak semuanya bisa kita tangkap."
Lagi-lagi aku menghembuskan nafas besar.

"Lalu kenapa,"
Tanya Rian jengkel.

"Para bandar narkoba itu tak akan menyerah begitu saja kan?."

Rian mengerutkan kening. Mungkin dia terlalu bosan mendengarku seperti ini. Perlu diketahui, aku seperti ini sejak dulu masih jadi kapten. Aku selalu memikirkan hal lain yang kemungkinan akan terjadi.

"Mereka mungkin akan berulah lagi."
Jawab Rian santai.

Aku menengok kearahnya tanpa senyum.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang