kembali bertemu Maria

1.8K 144 0
                                    

Ada dua kemungkinan yang terlahir dari kesedihan. Penyesalan, dan dendam dihatimu.

"Nabil, aku kemarin bertemu dengan Danil, apa dia menemuimu"

Mia memandangku sambil mengerutkan keningnya. Dia sedari tadi sedang sibuk mengerjakan laporannya diruanganku.

Aku mengedikkan bahuku. "Iya, cuman sebentar kok," jawabku singkat.
Aku juga sedang berkonsentrasi untuk mengerjakan laporanku sendiri saat ini.

"Terus kalian biacarain apa?"

Dia memandangku semakin penasaran.

"Kepo" ketusku.

Melihatnya merengut seperti ini sedikit membuatku tertawa geli.

"Dangsin (kau)"
Mia menatapku bersungut-sungut.

Aku memutar mataku jengah, mulai lagi nih anak. Gara-gara keseringan diajak nonton Drakor sama Mia aku jadi sedikit mengerti dengan bahasa asing itu.

"Museun (apa)" jawabku

Mia berdecak sebal. "Maraebwa uisa..! (ceritakan padaku dokter)"

Mia mencoba membujukku dengan memberikan binar matanya itu.

"Tidak Mia, Danil hanya memastikan kalau itu pilihanku sendiri. Bukan paksaan dari siapapun. itu saja," terang ku singkat.

"Keuraeseo (lantas)"
Kurasa Mia masih belum puas dengan jawabanku. Dia mencondongkan badannya kearahku sambil menatapku serius.

"Mollayo (tidak tahu)"

Mia mengembangkan pipinya kesal. Sedangkan aku hanya tersenyum singkat.

"Ne. Arasseo (ya, aku mengerti)" pekiknya semangat.

"Apa?" Tanyaku sambil memegang dagu.

"Dia pasti sangat sulit melepasmu kan, maka dari itu dia masih berharap setelah menemuimu dia ingin semua tak sesuai kenyataannya,"

Aku cuman mengerjap tak mengerti dengan mulut terbuka. Bagaimana mungkin Mia berasumsi seperti itu.

"Jinjja (benarkah)"

"Gwonli (benar) Nabil," kesal mia.

Aku terkekeh melihat wajah kesalnya itu.

"Shouka (begitu ya)" sanggahku.

"Ara (aku tahu)" jawab mia sambil mencebik kesal.

"Maaf. Dokter Nabila ada yang ingin bertemu dengan Anda"
Suara seorang suster yang sekarang berdiri didepan pintu masuk membuatku dan Mia menoleh bersamaan.

"Baiklah Nabil, kita lanjutkan nanti," ucap Mia beranjak pergi dari hadapanku.

Tak lama setelah Mia keluar, masuklah seorang wanita dengan setelan loreng khas kowalnya itu tanpa menggunakan baret ungu kebanggaannya.

Wanita itu berjalan angkuh kearahku yang duduk di kursi. Dia mendekat lalu tanpa bicara dia langsung duduk didepanku.

"Hai Maria, ada perlu apa?"
Ucapku basa basi dengan suaraku yang canggung.

"Tidak ada, saya hanya ingin memastikan"

Maria tetap mempertahankan wajah dingin dan senyum sinisnya.

"Memastikan apa?" Tanyaku seramah mungkin. Oh ayolah, aku tak ingin bermusuhan dengan siapapun.

"Nggak usah berlagak sok baik deh"
Kata-kata Maria menusuk hati.

"Maksudmu?"

"Sejauh apa hubungan mu dengan kapten Zidan"

Aku sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Apa yang dia mau dari jawabanku nanti.

"Aku dengar kalian akan menikah ya?. Tapi, kau harus tahu dokter Nabil, tentang hubungan ku dengan kapten Zidan"

"Hubungan?"

Kuakui kali ini perasaan ku mulai tak enak.

"Ya. Aku tak peduli sejauh mana hubungan kalian. Tapi aku hanya memberi tahu kalau aku dan kapten Zidan lebih dari seorang teman"

Aku tercengang. Benarkah. Tapi mulutku tetap diam tak merespon hingga dia kembali berkata.

"Kita sudah berpacaran 2 tahun lalu dia tiba-tiba memutuskanku. Dan aku yakin itu karena mu dokter Nabil," sengit Maria.

"Tapi aku tak tahu itu," sanggahku.

Maria berdecih sinis.
"Aku yakin. Kau hanya sebagai pelarian dari kapten Zidan saja. Nanti kalau bosan pasti kau akan ditinggalkan"

Aku terdiam memikirkan kemungkinan itu. Hatiku kalut bersama tawa kecil Maria yang melihatku panik. Perlahan kuhembuskan nafas kasar.

"Aku yakin sama mas Zidan. Aku percaya sama pilihan yang ku buat," lirihku.

"Kau tak ingin mundur"
Dia menaikkan dagu menantangku.

"Aku tak akan mundur," jawabku mantap.

"Baiklah, aku juga tak akan mundur."

"Apa maksudmu"

Aku melihat Maria yang masih tersenyum santai.

"Sampai kapanpun aku akan tetap berjuang untuk kapten Zidan. Meskipun itu menyakiti ku sendiri," lirih Maria.

Maria berdiri dari duduknya lalu beranjak kearah pintu.

"Berhentilah menyakiti dirimu sendiri Maria. Kamu punya kebahagiaan lain yang perlu kamu perjuangkan."

Maria menghentikan langkahnya sejenak.

"Banyak orang lebih memilih cinta dari pada cita-cita."

Setelah mengucapkan itu. Tanpa berkata apapun Maria langsung keluar dari ruanganku.

Apa lagi ini. Aku kembali menyakiti hati lain untuk tujuan yang satu ini.

"Ayolah, haruskah aku tetap maju," ucap batinku.

Aku mengusap kasar wajahku. Benarkah yang dikatakan Maria tadi. Hubungan mereka selama itu. Dan wanita mana yang rela melepaskan orang yang telah lama nyaman dengannya. Tanpa alasan yang kuat. Benarkah mas Zidan setega itu.

Tanpa sadar sebulir air mata menetes begitu saja. Aku harus kuat dan tangguh untuk bisa berjalan berdampingan dengan orang besar seperti mas Zidan.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang