Terkadang pundak itu bergetar karena menahan tawa lucu. Tapi ada masanya juga pundak itu terguncang karena tangisan memilukan.
✈🚀✈"Umi, kita mau kemana sih?,"
Tanyaku kesal pada wanita disampingku ini. Dia tetap berjalan tanpa menghiraukan rancauanku sedari tadi dari parkiran."Udahlah, ikutin aja. Aku tadi kan udah nemenin kamu buat seminar kedokteran. Jadi sekarang kamu temenin aku, ya..."
Ucapnya enteng. Sehari kemarin memang wanita ini yang menemaniku selama di ibu kota jakarta untuk mengikuti seminar. Selain itu aku juga senang bisa bersama dengannya lagi. Seperti dulu, saat kita masih SMA.
"Oke deh, aku turutin."
Ucapku pasrah mengikuti langkahnya yang masuk sebuah area kosrad angkatan udara."Ingat nggak dulu waktu kita sering tidur bareng?" Ucap umi.
"Aku jadi terharu tauk, kalau dikhawatirin tiap pulang lewat tengah malam kalau latihan silat,"
Ucapku padanya. Kami berpelukan sejenak.Aku jadi ingin memutar kembali masa itu. Setiap malam Minggu dan Rabu aku pasti akan menginap dirumahnya karena malam harinya aku ada latihan silat. Meskipun umi tak ikut silat, tapi dia lah orang yang mau menampungku dirumahnya. Rindu saat Ngopi bareng tengah malam, masak mie instan ataupun telur dadar dicampur tepung biar mekar, tidur bareng sambil timpa-timpaan. Adalagi kalau kita suka curhat sampai salah satu diantaranya ketiduran, ngaji sama tahajud berjamaah. Kalau nggak gitu ya nonton film sambil gibah sampai pagi terus dapat ceramah dari neneknya karena kita tak tidur semalaman. Ah, aku rindu masa itu. Terlalu banyak cerita diantara persahabatan kita.
Nur umiyah, satu-satunya sahabat yang aku miliki sejak saat SMA. Dia yang paling mengerti apa yang aku rasakan, bahkan tanpa bisa dilogika batin kita saling terhubung. Keistimewaan kita adalah bisa melakukan telepati. Dan itu hanya diketahui kita sendiri selama ini.
"Yuk masuk,"
Umi kembali menarik tanganku untuk masuk mengikuti langkahnya yang mantap."Eh tunggu dulu, kita ngapain masuk kantor satuan radar AU ?"
Tanyaku pada umi."Ndak apa, aku udah dapat izin kok." Jawabnya santai.
Umi terus menyeretku masuk keruangan sampai didepan komputer besar yang menampilkan kordinat radar yang tidak ku mengerti.
"Kita kesini mau ngapain coba ?"
Tanyaku pada umi yang sekarang sedang sibuk mencari seseorang. Matanya terus menjelajahi isi ruangan yang terdapat beberapa orang berseragam loreng biru.
"Seseorang,"
Jawab umi tanpa menoleh sedikitpun padaku."Siapa ?, cie... Calon mu ya, mi ?"
Aku menggodanya Karena tadi melihat rona merah di pipinya.
"Doa in aja, biar cepet nyusul kamu,"
Rona merah itu semakin jelas terlihat. Melihat umi yang tersenyum malu seperti ini membuatku ingat saat dulu mas Zidan melamarku.
"Itu dia, kamu tunggu sini sebentar ya, La"
Pinta umi ketika dia menghampiri seorang lelaki berpawakan tinggi dan gagah dengan baju loreng birunya. Lelaki itu tersenyum sekilas kearahku."Oke,"
Aku mengangkat jempolku sambil mengucapkan 'sukses' tanpa bersuara pada mereka.
_______⚓_______Lelaki yang ditemui umi ternyata benar adalah calon suaminya kelak. Mereka tengah merencanakan pernikahan dalam waktu 3 bulan lagi.
Usai menemaninya bertemu si calon suami, kita diperbolehkan untuk melihat-lihat sekitar sini. Jika didalam ruangan terdapat komputer besar yang melekat didinding dan segala peralatan canggih lainnya. Di luar ruangan pun sama indahnya, aku dan umi memilih untuk rehat sejenak menikmati pemandangan taman mini di ujung kosrad angkatan udara ini.
"Rencananya mau pulang kapan la ?,"
Melihat umi menyelonjorkan kakinya aku pun mengikutinya.
"Besok,"
Mendengarku menjawab secara singkat membuat umi menoleh kearahku dengan wajah bingung.
"Kenapa, kok nggak kayak biasanya."
Dia menatapku serius. Tapi aku langsung mencelos kearah lain.
"Ndak apa kok, mi"
Masih mencoba menyangkal pun tiada gunanya jika didepan sahabat ku yang satu ini. Karena dia pun sama sepertiku, seorang psikolog.
"Matamu itu loh, mengatakan kalau sedang ada yang ditutupi. Cerita aja Nabila, mungkin setelah itu kamu bisa sedikit berfikir untuk rehat,"
Umi membujukku dengan menangkup tanganku. Tatapan serius itu berubah menjadi hangat padaku.
Perlahan aku menghembuskan nafas pasrah. Kepalaku menunduk menahan pahit yang akan ku katakan.
"Mas Zidan akhir-akhir ini berubah mi,"
Lirihku pelan."Kenapa ?"
Aku terdiam lagi. Menimang apakah kata selanjutnya yang pantas untuk mewakili hatiku yang perih saat ini.
"Dia sekarang sering sibuk dengan handphonenya. Selain itu dia juga jarang ada waktu untukku."
Mengingat mas Zidan selama satu Minggu ini sering mengabaikanku. Memang sejak dulu handphone adalah privasi kita, tapi beberapa kali aku pernah memergoki dia tengah berbicara dengan seorang wanita, selain itu dia sering senyum-senyum sendiri saat menerima pesan. Dan lagi, mas Zidan juga sangat sering melanggar janjinya untuk menjemputku pulang.
"Oh, mungkin kamunya aja yang lagi pengen nempel sama ayahnya baby kan."
Umi mengusap perutku yang sedikit membuncit sambil tersenyum.
"Mungkin kali ya,ini
Mendengar jawaban dingin dariku. Lantas umi langsung memegang pundak pelan, dia menegakkan tubuhku dan menatapku serius.
"Kalau kamu penasaran carilah tahu sampai akar masalahnya. Tapi jika kamu terlalu takut menerima kenyataan, maka jauih rasa penasaran. Selain itu kamu harus menyiapkan hati untuk menerima segala yang tidak kamu inginkan."
Mataku mencari kekuatan yang ditransfer umi dari matanya sebelum helaan nafas kembali terdengar dariku.
"Aku memilih mencari akar masalahnya,"
Ucapku mantap.Umi mengulas senyum hangatnya lagi. Dia kembali menggenggam tanganku erat, sama seperti balasan genggamanku padanya.
"Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu."
Ucapnya lirih.Sebulir air mataku menetes tanpa perintah. Sama seperti dulu, umi akan selalu memelukku sambil mengatakan hal-hal yang bisa menenangkanku, tangannya mengusap punggungku pelan menyalurkan ketenangan. Inilah yang tidak aku dapatkan dari orang lain selain sahabatku. Dia selalu bisa membuatku merasa lebih baik jika dalam keadaan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku pendamping marinir
RomanceUntuk mendampingi orang besar seperti mu aku harus bisa tangguh sepertimu. agar aku tak mundur jika kamu membutuhkanku menahan keluh kesah mu. kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan, ketika sang marinir memenuhi panggilan pertiwi, aku harus mampu...