menghadap pejabat kesatuan.

2K 160 1
                                    

Iklan ditujukan sebagai waktu istirahatmu. Tapi jangan terlalu lama iklan, karena tak asik bukan ketika bagian yang lagi tegang-tegangnya malah terpotong, dan ending bahagia harus tertunda.

Setelah melewati berbagai proses memenuhi persyaratan menjadi seorang pendamping abdi negara. Hari ini saatnya memenuhi persyaratan terakhir. Yaitu menghadap pejabat kesatuan.

Menghadap pejabat kesatuan tentara angkatan laut nanti hanya akan ada wejangan wejangan dan beberapa pertanyaan dan pernyataan final.
Menghadap pejabat kesatuan ini kita akan berhadapan dengan seorang laksamana (lencana 4 bintang emas).

Dan semua telah terlewati dengan baik. Meskipun tadi ada beberapa pertanyaan yang aku sendiri kurang puas dengan jawabannya.

"Aku kembali dinas dulu ya La"
Mas Zidan berpamitan padaku. Senyum manis itu tak pernah hilang dari wajah tampannya.

"Disini dulu dong mas," pintaku.

Aku dan mas Zidan tengah duduk di kursi taman rumah sakit. Badanku terasa hangat diterpa sinar mentari pukul 10.

"Nggak bisa dek. Aku ada jadwal dinas hari ini" balasnya.

Aku melihat mata hitam itu nampak gelisah, tapi tatapan matanya tetap teduh dengan senyuman yang tak pernah luntur.

"Dasar, anankastik"
Aku menggerutu tak rela karena dia dengan secepat ini mau pergi setelah mengantarku dari markas kesatuan tentara angkatan laut tadi.

"Anankastik?" Tanyannya seperti mengeja setiap huruf yang diucapkannya.

"Anankastik = orang yang terlalu berlebihan pada rincian, aturan, daftar urutan, organisasi, atau jadwal. Termasuk kategori perfeksionis ekstrem."

Aku menjelaskan pengertian anankastik tanpa senyuman dan nada dingin. Mas Zidan langsung mencubit pipiku gemas.

"Ish.. sakit tau mas," tukasku.

"Abisnya kamu tuh lucu la. Apa-apa kok di diagnosa, terus kalau diagnosa buat hati mas yang selalu berdetak kencang saat bersamamu itu apa?"

Aku melihat mas Zidan yang nyengir kuda sambil menaik turunkan alisnya.

"Udah sana, katanya mau dinas," usirku sambil mendesis kesal.

"Nanti dulu, nyuruhnya nggak ikhlas sih," balas mas Zidan tak mau kalah.

"Pergilah mas, aku melepasmu," ucapku sambil pura-pura tersenyum tulus.

Mas Zidan saat ini tengah memakai PDU (pakaian dinas upacara) yang berwarna serba putih dengan kelengkapan berbagai lencana dan simbol-simbol yang menunjukkan pangkat dan prestasinya.

"Kenapa nyuruh cepat-cepat, cemburu ya aku dilihatin sama cewek lain"

Mas Zidan memasang senyum narsisnya. Aku kembali berdecak kesal padanya.

"Siapa bilang, kapten"
Melihat para perawat ataupun semua yang ada dirumah sakit ini melihat takjub dan memuja mas Zidan saat berseragam seperti ini membuatku sangat risih. Maka dari itu aku menyuruhnya untuk kembali ke tempatnya.

Mas Zidan mencubit lagi salah satu pipiku dengan gemas, kalau wanita didepannya ini sudah memanggilnya dengan sebutan kapten, berarti dia sudah diambang kekesalan.

"Nggak boleh manyun gitu dek. Mas, kan punya tanggung jawab sama tugas mas,"
Ucapnya kemudian sambil mengusap ubun-ubunku. Bolehkah aku senang sekarang, hatiku ya Tuhan...

"Iya mas, aku ngerti kok," jawabku singkat.

"Berlatihlah untuk terbiasa sama keadaan mas, dek" lirihnya.

Mata hitam pekat itu kembali membuatku jatuh dalam pesonanya.

"Iya, mas"

Aku merapikan topi dinas berwarna putih itu dikepalanya yang tadi sempat sedikit miring. Ya walaupun jika tidak dibetulkan pun miringnya masih tak akan terlihat sih.

"Maafkan mas, jika nanti waktu mas tak akan banyak untuk kamu"

Senyuman menghiasi wajah dan binar mata hitam pekat itu semakin mengunci pandanganku.

"Maaf, mas. Kalau aku belum terbiasa," lirihku sembari tersenyum.

"Mas pamit ya,"

"Hati-hati ya mas,"

Mas Zidan beranjak dari duduknya lalu mengangkat tangan melakukan hormat dengan cepat sebagai ganti balasan dari lambaian tanganku.

Dreeeet.....

Getaran dari saku jas ku ternyata berasal dari ponselku yang berbunyi. Dilayar utama tertulis nama Fifi dengan bagroun fotoku dengannya saat dilapangan latihan kemarin.

"Gila la, Lo beneran jadian sama kak Zidan"

Setelah aku menerima telfonnya, Fifi langsung berteriak dari ujung sana.

"Enggak fi, aku nggak jadian," jawabku dengan cekikikan.

"Yaiyalah nggak jadian, tapi langsung lamaran" balas Fifi, tawanya membahana di seberang telfon ku.

"Memangnya kau tidak datang ya kemarin?"

"Aku masih di Semarang, ada tugas tau la, bahkan nggak dapet cuti Sampek sekarang"

Terlihat dari nadanya Fifi menggerutu kesal saat ini.

"Kasian, jadi kurang piknik kamu"
Tawaku menggelegar puas mengatai teman ku yang satu ini.

"Aku nggak terima, pokoknya nanti dipernikahan mu sama kak Zidan, aku harus dapat kursi VVIP." Tukasnya.

"Oke, aku sisain kursi paling depan nanti," candaku.

"Doain ya la, semoga kau bisa datang. Kesel tau waktu kalian lamaran, aku cuman lihat dari grup WhatsApp keluarga."

Fifi kembali mengomel nggak jelas, sedangkan aku malah terkikik mendengarnya.

"Kasian, doain ya, fi. Semoga semuanya lancar"

Aku menghela nafas resah. Rasanya tak karuan. Semakin dekat, rasanya semakin membuatku resah.

"Tentu la, kamu sama kak Zidan udah selesai kah ngurus segala persyaratannya?"

"Udah, fi. Baru selesai tadi setelah menghadap pejabat satuan," aku menjedanya sejenak.
"Mungkin besok tinggal daftar ke KUA," sambungku.

"Sukses ya La, kamu tuh hebat tau... Bisa memenuhi persyaratan jadi istri seorang kapten"

Aku terkekeh mendengarkan Fifi.
"Makasih, fi," jawabku.

"Sama-sama calon pendamping marinir,"
Fifi mengakhiri telfonnya dengan menggodaku melalui kata-kata itu.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang