Perpisahan adalah ruang dari rindu. Kesan bagi pengalaman, dan warna bagi kisah. Jikalau masih ada rindu. Maka kisahmu belumlah berakhir.
⚓*Zidan pov*
Setelah prosesi siraman yang membuat badanku sedikit meriang dan menggigil itu aku kembali dipaksa untuk memakai beskap dan jarik yang menyusahkan jalanku. Nyerimpit- nyerimpit rasanya.
"Aduh ayah, jangan siksa Zidan buat pakai pakaian macam ini dong"
Aku melepaskan blangkon yang tadi dipakaikan ayah secara paksa.
"Kau ini Dan, pakai pakaian perang yang beratnya 5 kilo aja sanggup, masa pakai jarik kayak gini aja ngeluh dari tadi,"
Tukas ayah sambil merapikan beskap biru tua ku."Beda itu yah, Zidan nggak suka yah jadi tontonan nanti,"
Ayah menepuk pundakku pelan.
"Orang mau jadi pengantin kok Ndak mau jadi tontonan"
Ayah terkekeh kecil melihatku merenggut kesal."Eh, bang. Lo mah nyusahin orang aja. Lo yang nikah kok gue ikut-ikutan pakai beginian"
Syarif menghampiriku dan ayah sambil terus mencebik kesal.Aku melihat tampilannya dengan jarik dan beskap coklat sederhana mirip sama punya ayah dan warna kebaya ibuk.
"Rasain, biar Lo ngerasain apa yang gue rasakan," candaku.
Meskipun jarik Syarif tak serumit punyaku tapi aku yakin itu juga menyusahkan dia.
"Awas aja Lo, kalau dinikahan gue, Lo harus ikutan susah juga," ketus Syarif.
"Gue jabanin," balasku dengan nada menantang.
"Nikah itu bukan cuman bahagianya aja mas, tapi susahnya juga. Kamu harus siap sama tanggung jawab yang diberikan mertuamu nanti, karena ayah mana yang tega melepas putrinya selain pada orang yang terbaik. Ayah harap kamu mampu jadi imam yang terbaik buat Nabila,"
Lirih ayah disertai senyuman."Zidan minta restu ayah. Doakan Zidan agar bisa jadi imam terbaik seperti ayah saat bersama ibuk,"
Aku mencium punggung tangan ayah dengan haru."Ayo pak tentara, rombongan sudah siap"
Instruksi ibuk dengan cepat saat masuk kamarku.Rombongan yang dipimpin ayah tiba dikediaman Nabila tepat jam 8 malam.
Tak banyak orang yang ikut dalam acara ini, hanya keluarga inti dan beberapa tetangga saja yang membantu.Wanita itu datang dengan diapit kedua orang tuanya. Dia nampak anggun dengan kebaya modern berbahan brokat berwarna biru muda yang dibuatkan ibuk waktu itu. Riasan tipis mempercantik wajahnya.
Sayang, aku tak bisa menatap wajah ayu itu secara langsung karena ada sebuah kain tipis sedikit transparan diantara kami. Kain itu difungsikan untuk sekat antara keluargaku dan keluarga Nabila, Karena kita masih belum diperbolehkan bertemu."Beginilah kalau turunan Jawa tulen dua-duanya," bisik salah satu pamanku yang duduk satu kursi dibelakangku.
Melihat jalannya serangkaian acara yang memakan waktu dan modal yang tak sedikit, namun adat adalah kebanggaan dan kebahagiaan tersendiri bagi kita.
"Bagaimana calon pengantin pria, sepertinya sudah sangat tidak sabar melihat wajah calon istrinya,"
Bapak menggodaku dari seberang kain.Gelak tawa renyah mengiringi setiap ada yang saling lempar bicara.
"Ah, sepertinya calon mempelai wanita semakin malu melihat pesona calon pengantin pria."
Balas ayah dengan nada jenakanya."Ibu besan, nanti kita harus selalu ikut foto kalau resepsi mereka,"
Kali ini ibuk mencoba berkompromi dengan mamak."Harus itu ibu besan, apalagi kalau sama para tentara," sanggah mamak menjawab ajakan ibuk.
Aku melihat Nabila yang mengucapkan kata tanpa suara. Hanya melalui gerakan mulut saja dia mengungkapkan kata, "narsistik"
* Narsistik itu seorang yang memiliki perasaan ekstrem mengenai kepentingan diri sendiri, tidak memiliki empati, serta siap berbohong dan mengeksploitasi orang lain demi mencapai tujuannya.
Tega sekali dia mengklaim seperti itu. Aku sedikit tertawa tertahan karenanya.
"Baiklah mari kita beri kesempatan untuk para calon pengantin untuk menyampaikan satu dua kata sebagai pengantar pranikah."
Seorang lelaki yang bertugas sebagai MC memberikan mikrofon itu padaku.
Sebelum mengatakan apapun aku menatap wajah yang lama tak ku lihat karena harus melewati masa pingitan. Dan inilah puncak dari masa pingitan itu.
Dipingit berarti tak boleh bertemu ataupun berhubungan melalui media sosial. Selain itu kita juga harus dirumah terus tanpa diperbolehkan untuk keluar rumah.
Aku berdiri dari dudukku, Kembali kutemui senyum hangat nan menentramkan itu menungguku berbicara.
"Dek Nabila, mas Zidan minta maaf jika selama ini mas sering membuat hati dek Nabila terluka.
Mas juga mau berterimakasih, dek Nabila mau menemani mas dan menerima mas sampai sekarang.
Mas sangat berharap jika doa mas akan terjawab besok.
Mas selalu berharap agar dek Nabila esok dan sampai kapanpun akan selalu menemani mas,"
Lirihku masih setia menatap wajah ayu yang selalu menampakkan senyum manisnya.Suara tepuk tangan kembali mengudara saat aku menyelesaikan kata-kataku barusan.
"Bagaimana dek Nabila. Ayo dibalas, jangan mau kalah sama mas zidan"
Kali ini sang MC memberikan mikrofon kepada Nabila.
Aku melihatnya beranjak dari duduknya saat aku kembali duduk ditempatku. Pandangan kami tetap saling mengunci walaupun terhalang kain tipis ini.
"Mas Zidan, sebelumnya dek Nabila ingin menyampaikan maaf kalau nanti dek Nabila mu ini Ndak bisa apa-apa.
Terimakasih mas, mas Zidan mau menerima segala kekurangan dan kelemahan dek Nabila.
Dek Nabila akan berusaha mas, mulai esok dan kapanpun selalu mendampingi dan menghormati mas Zidan sebagai imam dek Nabila.
Dek Nabila harap mas Zidan mulai esok dan seterusnya selalu pulang untuk dek Nabila."Pesan-pesan dari ucapan gadis bermata coklat itu seperti alunan doa untukku. Menyejukkan seperti air siraman yang mensucikan tadi. Singkat, tapi sangatlah terkenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku pendamping marinir
RomansaUntuk mendampingi orang besar seperti mu aku harus bisa tangguh sepertimu. agar aku tak mundur jika kamu membutuhkanku menahan keluh kesah mu. kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan, ketika sang marinir memenuhi panggilan pertiwi, aku harus mampu...