Setiap orang akan menjadi tokoh utama dalam kehidupannya. Entah kita ditakdirkan bersama atau tidak, terimakasih telah menjadi tokoh utama dalam kisah hidupku.
⚓"Entah kita masih ditakdirkan bersama atau tidak, terimakasih telah menjadi nama yang menghiasi doaku setiap mengadu pada sang kuasa,"
Batinku terus berkata lirih sedari tadi duduk didepan pintu kamarku dan Nabila. Aku sengaja menunggunya diluar agar dia sedikit tenang, tapi ini sudah lebih dari 2 jam, dan sebentar lagi adzan Maghrib akan berkumandang.
"Dek, mas mohon... Buka pintunya ya, kita bicarakan baik-baik,"
Pikiranku semakin resah saat tidak ada sahutan dari dalam sejak tadi. Apa yang terjadi pada Nabila, hatiku semakin menduga yang tidak-tidak.
"Nabila kenapa, dimana dia,"
Ayah menepuk pundakku dan bertanya dengan cemas.Aku menggeleng pelan lalu berkata lemah.
"Nabila didalam sejak tadi yah, aku khawatir kalau dia kenapa-napa,"
"Khawatir memang dirasakan ketika kita mulai sadar siapa yang dibutuhkan,"
Ucap ayah pelan namun tegas.Mataku melotot tak percaya kalau ayah juga mengetahui apa yang terjadi.
"Bagaimana ayah tahu,"
"Ayah mengerti keadaanmu nak, tapi ayah juga tahu siapa yang bersalah disini,"
Aku dibuat terdiam oleh kata-kata ayah.
"Maafkan Zidan, yah,"
Mataku memerah tapi masih enggan meneteskan air mata. Kalian tahu kan, kalau laki-laki memang ditakdirkan susah mengeluarkan air mata karena mereka yang menopang keluarga, memikul tanggung jawab dan menjadi pemimpin.
"Nggak ada yang perlu disesali. Tapi ada yang harus diperbaiki,"
Ayah tersenyum mencoba menenangkanku dengan mengusap bahuku pelan.
"Kita pakai kunci serep ya, ayah takut Nabila kenapa-napa."
Seketika aku mengangguk dan mencari kunci serep kamar yang tersimpan dilaci meja ruang keluarga.
"Nabila,"
Panggilku dan ayah bersamaan ketika mata kami menangkap sosok cantik itu tengah terkulai lemah disamping ranjang, dia pingsan dalam posisi duduk dan kepala bersandar pada ranjang tempat tidur.
"Dek, bangun dek... Nabila tolong bangunlah,"
Aku mencoba menepuk-nepuk pipinya pelan berusaha menyadarkannya. Namun nihil dia tetap memejamkan matanya dalam pelukanku.
"Zidan, cepat panggil dokter Mia kemari. Ayah takut terjadi apa-apa sama Nabila,"
Aku mengangguk lalu membopong tubuh Nabila keatas ranjang. Ku baringkan tubuhnya perlahan seperti dia adalah sosok yang rapuh. Seketika air mataku menetes melihat keadaannya seperti ini.
"Mas, Zidan jahat,"
Lirihnya sangat pelan dan lemah.Aku dan ayah saling berpandangan tak percaya. Apa yang terjadi pada istriku, dimana Nabila yang kuat itu sekarang mentalnya membuat tubuhnya lemah sampai tumbang.
"Nabila bangun, La mas mohon.. bangunlah, jangan buat mas khawatir."
Lagi-lagi aku mengusap keningnya pelan sembari memberinya minyak kayu putih pada Indra penciumannya agar dia lekas sadar. Tapi mata itu kenapa masih saja betah untuk terpejam lama.
"Mas... Zidan, mas Zidan..."
Lemah sekali ucapannya. Dia terus mengigau memanggil namaku lirih.Hatiku semakin tersayat melihat keadaannya seperti ini. Terlebih saat aku memergoki ketika air mata itu jatuh dari matanya yang masih terpejam.
"Ada apa, apa yang terjadi pada Nabila."
Ibuk yang sedang menggendong Zafran masuk dengan cemas ketika melihat Nabila tidak sadarkan diri.
"Nda nda nda..."
Zafran merengek ingin turun saat melihat Nabila terbaring lemah diatas tempat tidur.Sakit sekali hatiku melihat semua ini. Aku yang menyakiti hatinya dan aku yang membuatnya seperti ini. Tak tega rasanya melihat Zafran yang terus merengek dan menangis melihat bundannya yang masih terus mengigau memanggil namaku.
"Zafran sama ayah ya, bunda lagi sakit,"
Ucapku menenangkan Zafran. Perlahan tangisnya mulai reda lalu dia diam saja menatap Nabila yang tak sadarkan diri."Permisi, saya akan memeriksa pasien dulu."
Dokter mia masuk dengan membawa peralatan medis dan jas putihnya. Setelah aku mengangguk dia langsung memeriksa keadaan Nabila.
"Hiyuuuuh,"
Helaan nafas besar Mia nampak jelas dia sangat sedih dengan keadaan Nabila saat ini. Jelas dia tidak akan terima saat sahabatnya sampai seperti ini."Apa yang terjadi pada istri saya dok,"
Tanyaku menghampiri Mia yang berdiri ditepi ranjang.Ayah mengambil Zafran dari gendonganku.
"Istri,"
Ucap Mia sinis dan pelan.Tidak ada yang membalas kata-kata Mia, kita semua hanya diam dan jangan lupakan aku yang tersinggung sekarang.
"Nabila mengalami kelelahan mental. Tubuhnya drop karena tidak mendapatkan asupan, sedangkan pikirannya tertekan karena hatinya sedang terluka. Sama seperti trauma yang berpengaruh pada kesehatan tubuhnya."
Mia menjelaskan sambil menatap Nabila nanar. "Dimana sosok wanita yang selalu menasihatinya selama ini, wanita yang menemaninya dalam kesedihan. Yang mengerti apa yang dia inginkan, ah Nabila. Kenapa kamu harus mengalami ini."
Batin Mia."Saya akan memberikan resep obat, dan jika keadaannya semakin memburuk maka harus segera dibawa kerumah sakit."
Sekali lagi dokter Mia mengingatkan kami tentang keadaan Nabila. Setelah menyerahkan resep obat yang harus aku beli dokter Mia langsung izin pulang karena dia ada jadwal jaga dirumah sakit.
"Ini yang kamu mau kan Zidan,"
Tukas ibuk.Hatiku tersentil dengan kata-kata ibuk yang tegas. Aku menghela dan menghembuskan nafas kasar.
"Bukan buk, mana mungkin aku mau keadaannya seperti ini,"
Jawabku menatap ibuk bersalah."Lalu apa. Menyakiti istrimu, dan membahagiakan wanita lain dari masa lalumu itu."
Aku pejamkan mata meredam emosiku yang tersulut.
"Lalu kenapa ibuk meminta Nabila untuk bersamanya."
Ibuk tersenyum sinis dan mendesis pelan.
"Karena agar kamu tahu seberapa sakitnya seorang wanita yang akan dimadu. Seperti apa dia menghadapi suaminya yang mempermainkan cinta dibelakangnya. Dan seperti apa kesabaran dan kebesaran hatinya menerima semua itu."
Aku terdiam. Ternyata ibuk tidak berpihak kearahku, melainkan inging menyadarkanku.
"Sekarang ibuk tahu. Kenapa dulu kamu meminta ibuk menerima Nabila mati-matian padahal dia tidak mengerti apa-apa tentang pekerjaan rumah."
Ibuk menjeda kata-katanya sejenak. Dia menghela nafas kasar sambil menatap Nabila prihatin.
"Karena dia mempunyai hati yang baik. Dia dewasa dalam berfikir, dan dia bisa menjaga kehormatannya dan kehormatan keluarganya."
Skak mat... Aku terdiam mendengarkan ibuk, hatiku rasanya terenyuh sekali menyadari semua ini.
"Kamu harus memilih apa yang kamu butuhkan, bukan yang kamu inginkan."
Ibuk mengusap bajuku hangat lalu berlalu pergi keluar kamar.
"Maafkan mas,"
Lirihku pelan mengecup kening Nabila lama. Meresapi rasa yang ada yang sedikit memudar oleh cobaan waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku pendamping marinir
RomanceUntuk mendampingi orang besar seperti mu aku harus bisa tangguh sepertimu. agar aku tak mundur jika kamu membutuhkanku menahan keluh kesah mu. kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan, ketika sang marinir memenuhi panggilan pertiwi, aku harus mampu...