Jika aku melepaskanmu maka aku harus berusaha menyembuhkan lukaku, tapi jika aku mengikhlaskanmu maka aku harus bersabar menghadapi lukaku.
⚓"kamu kenapa sih mas,"
Ucapku ketika kita sudah sampai dikamar.Tadi diruang tamu ibuk dan ayah melihat kami dengan heran karena mas Zidan menyeretku menuju kamar kita.
"Kamu yang kenapa, jadi itu maksud kamu bilang pulang duluan. Biar bisa ketemu sama lelaki itu, iya."
Nada suara mas Zidan naik satu oktaf dari sebelumnya. Sungguh, aku tak habis pikir dengan jalan pikirannya.
"Kamu marah hanya karena itu mas, dia itu mau mengantarku tadi, tapi aku ingin menolaknya, mas,"
Jawabku menyetarakan oktaf suaraku."Jika aku tidak datang tadi kamu pasti akan memilih pulang bersamanya kan,"
Mendengar tuduhan itu membuatku terdiam sambil memejamkan mata menahan sakitnya hati akan sikapmu mas.
"Memangnya kenapa,"
Mas Zidan menarik nafas beratnya sejenak.
"Mana ada yang rela dek, melihat istrinya bersama lelaki lain. Sedangkan suaminya ada bersamanya juga,"
Hening. Kita sama-sama saling terdiam menyusun kata-kata.
"Lalu istri mana yang rela melihat suaminya bersama wanita lain tanpa sepengetahuannya."
Tukasku menatap tajam mas Zidan."Kamu nggak tau apa yang terjadi sebenarnya Nabila,"
Sengit mas Zidan dengan menekan namaku."Apa yang terjadi mas, apa yang sebenarnya terjadi. Kamu menyimpan hati kan sama Indria, itu kan sebenarnya mas."
Runtuh sudah kesabaranku untuk diam sampai saat ini. Runtuh sudah pertahananku untuk menahan air mata yang sedari tadi kutampung dipelupuk mata. Kesekian kalinya aku terlihat lemah didepan lelaki ini, lelaki yang aku cintai.
"Semua itu bukan seperti yang kamu lihat La,"
Mas Zidan mencoba menghapus air mataku, tapi sebelum tangannya menyentuhku aku segera berpaling menghindar.
"Kenapa mas, kenapa kamu membagi cinta diantara kita."
Perlahan aku mundur mencari sandaran. Tanganku berpegangan pada meja nakas untuk menopang badanku yang lemah. Suaraku seakan tertahan sesenggukan yang semakin mengeras.
"Kamu tega mas, haruskah aku melepaskanmu agar kamu tak kehilangan pangkat yang membanggakan orang-orang yang mencintaimu. Haruskah mas, aku ikhlas jika itu maumu."
Tertahan air mata yang tertelan membuat pikiranku semakin tertekan.
Perlahan Mas Zidan melangkah maju mendekatiku. Aku mencoba menghindarinya tapi dia langsung menarikku kedekapannya. Menabrakkan tubuhku dengan tubuhnya lalu memelukku seerat mungkin seakan-akan dia takut aku jauh darinya.
"Maaf, maafkan mas."
Lirihnya tepat ditelingaku."Maaf mas, maaf untuk bagian yang mana,"
Aku mencoba memberi jarak diantara kita namun mas Zidan malah semakin mempererat pelukannya. Bagaimanapun tenagaku tetap kalah kuat darinya.
"Aku minta maaf,"
Hembusan nafas berat dari mas Zidan yang perlahan mengurai pelukannya. Tangan hangat itu menangkup kedua pipiku. Mata mas Zidan berkaca-kaca menatapku lekat dan dalam.
"Kita bicarakan setelah pikiranmu tenang,"
Ucapnya sebelum beranjak keluar kamar."Pikiranmu yang seharusnya kamu dinginkan mas,"
Celaku sinis terdengar mas Zidan yang baru mencapai pintu kamar.Allah, pantaskah aku mencium wangi surgamu. Surgaku saat ini terbakar, surga yang seharusnya aku impikan di dunia membuatku menitihkan air mata sedalam telaga yang tak pernah kurindukan.
_____________⚓_____________Rumit. Itulah yang terlintas di pikiranku saat ini. Ternyata batu besar dalam pernikahan itu lebih sulit aku lewati. Sungguh, aku tak ada niat untuk menyakiti hati siapapun. Tapi mengapa harus wanita yang aku ikat dengan akad yang harus kulukai, dan kenapa harus wanita yang kucintai dimasa lalu yang harus terluka pula.
Berat hatiku memutuskan apa yang terjadi saat ini. Aku bingung dilema keadaan yang semakin meruncing. Dua hati yang sama-sama tak bisa kusakiti, namun ada pula tanggung jawab yang harus aku jalani.
Satu jam lalu setelah aku memilih keluar dan memberi waktu untuk Nabila sendiri menenangkan hati dan pikirannya, disini diruang tamu yang sepi karena semua orang sudah terlelap tidur didalam kamar, termasuk Zafran yang tidur bersama ibuk.
"Astagfirullah..."
Aku mengusap wajahku kasar memikirkan semua ini. Kenapa harus serumit ini dalam memilih keputusan. Aku tak tahu mana yang benar-benar aku cintai saat ini.Termenung, memahami setiap situasi dalam Medan perang dan eksekusi lautan ternyata lebih mudah dari pada memutuskan setiap perkara rumah tangga.
"Dek Nabila,"
Panggilku ketika membuka pintu kamar yang sudah gelap dan hanya diterangi lampu tidur.Aku melangkah sepelan mungkin saat Kulihat tubuh wanita itu bersandar pada ranjang, dia masih mengenakan mukenah dan mata coklat itu tertutup tenang dengan sisa aliran air mata yang mengering dipipinya. Dia pasti ketiduran, inilah kebiasaan Nabila untuk melaksanakan sholat hajat pada jam 12 malam, sedangkan ketika dia menangis dia akan berdzikir sampai ketiduran. Hatiku terasa sakit melihatnya seperti ini. Aku melukaimu lagi dek, untuk kesekian kalinya aku menumpahkan air matamu.
"Aku susah tidur kalau lagi sedih mas, jadi aku buat dzikir sampai ketiduran."
Seperti itulah kata-katanya disaat awal-awal kita bersama. Satu tahun sudah aku mengarungi samudera pernikahan bersamanya, sampai saat ini Zafran hadir ditengah-tengah kita. Dan wanita dari masa laluku juga membuat hatiku bingung mana yang sebenarnya aku cintai.
"Maafkan mas, dek,"
Kukecup keningnya lama setelah aku pindahkan dia keranjang. Setelah itu aku memeluknya sampai tertidur.
____________⚓_________Pagi hari aku terbangun dalam pelukan lengan kekar suamiku. Terenyuh rasanya hatiku mengingat kejadian semalam. Mengingat keadaan yang terjadi saat ini.
Perlahan aku melepaskan pelukannya dan berjalan keluar, setelah sholat subuh aku memutuskan untuk menengok Zafran yang semalam tidur bersama ibuk. Tapi belum sampai dikamar, ibuk malah sudah menghadangku diruang keluarga.
"Nabila, ibuk ingin bicara sebentar denganmu nak,"
Ibuk merangkulku dari samping, kemudian mengarahkanku untuk duduk bersamanya disofa panjang.
"Ibuk tau apa yang kamu rasakan Nabila, ibuk tau dimana posisimu."
Mataku dan mata ibuk saling berpandangan lirih. Seketika air mataku kembali jatuh dan ibuk memelukku erat.
"Aku harus bagaimana buk,"
Lirihku menangis dalam pelukan ibuk, aku membalas pelukan ibuk sama eratnya."Izinkan Zidan bersama Indria Nabila, berbagilah dengannya."
Rasannya seperti ribuan petir menyambar hatiku. kenapa ibuk berfikir seperti itu.
"Tapi mas Zidan harus dipecat dari TNI buk,"
Alibi yang kukatakan dengan membawa persyaratan bahwa seorang tentara tidak boleh berpoligami. Tapi sesungguhnya bukan itu alasanku, aku tak mau jika dimadu.
"Tak apa nak, asal Zidan tidak menumpuk dosa dengan Indria,"
Tangisku semakin terdengar lirih saat ibuk menangakup pipiku dan menghapus air mataku.
"Biarkan aku mencoba mengikhlaskannya buk, aku tak mau hatiku semakin cemburu jika ada wanita lain disisi mas Zidan,"
Bibirku getir berkata lirih mengatakan kata yang terucap. Ibuk terdiam saat aku pergi menghilang dari hadapannya, mengunci pintu kamarku yang sudah kosong karena mas Zidan sedang berdzikir ditempat sholat.
Menangis memang memberikan kita sebuah ketenangan dengan cara membuang air mata secara percuma.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aku pendamping marinir
RomanceUntuk mendampingi orang besar seperti mu aku harus bisa tangguh sepertimu. agar aku tak mundur jika kamu membutuhkanku menahan keluh kesah mu. kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan, ketika sang marinir memenuhi panggilan pertiwi, aku harus mampu...