devisi dokter bedah baru. 💊

1.7K 124 1
                                    

Aku kembali menengok rasa yang pernah ku tinggalkan. Berharap semua akan kembali, walaupun tak mungkin terjadi.
🌻

Satu bulan sudah aku jauh dari mas Zidan. Pak mayor itu juga sangat jarang memberikan kabar, aku harus maklum dan sadar kan. Kalau dia sedang sibuk menyelesaikan tugas negara, apalagi dia sedang ditengah laut. Mana mungkin ada signal disana.

Dua hari lalu keluargaku juga sudah pulang ke kampung. Bapak harus kembali bekerja, sedangkan mamak harus selalu ikut imamnya, lalu Fahri juga harus kembali sekolah. Sebenarnya mamak begitu menghawatirkan aku, Karena usia kandunganku yang baru menginjak 6 Minggu aku harus dirumah sendirian tanpa suami.
Tapi pada akhirnya aku menyakinkan mereka bahkan aku baik-baik saja. Dan berjanji akan menelfon mereka setiap hari, akhirnya membuahkan hasil kalau aku harus jauh dari keluargaku lagi.

Menantikan imamku pulang satu bulan lagi, dan sekarang aku harus jauh dari keluarga.
Tapi hal ini harusnya menjadi kebiasaan untuk para pendamping abdi negara sepertiku. Menahan kesah sepi dan rindu pada kekasih negaranya.

"Nabil,"
Mia menghampiriku dari ujung koridor.
Menghentikanku yang hampir keluar dari rumah sakit untuk pulang.

"Ada apa mi?"
Tanyaku saat Mia berdiri didepanku. Mia masih mencoba mengatur nafas karena habis berlari dari ruangannya.

"Tungguin gue, nanti pulang bareng gue."

Aku mengerutkan kening melihat Mia menatapku dengan tatapan aneh.

"Kenapa, tumben kamu pulang siang?"

Bagiku pulang siang adalah hal biasa. Tapi bagi seorang dokter umum, itu hal yang sangat jarang ditemui.

"Eh, Nabil. Hari ini bakal ada dokter baru tau."
Ucap Mia semangat.

Aku mengambil duduk pada kursi tunggu didepan koridor. Mia mengikutiku dengan cepat.

"Oh ya, dokter apa?"
Antusiasku.

"Aku dengar dia dokter bedah terbaik dari rumah sakit pusat. Dan wow nya, dia dulu peraih nilai tertinggi dan sarjana comloude tau."

Pandangan Mia menerawang memuji orang yang sedang kita bicarakan.

"Laki-laki?"

Mia menoleh kearahku. Kali ini pandangannya berubah lesu.

"Perempuan. Dia juga cantik,"

Aku tersenyum kecil sebelum kembali berkata.

"Kamu mengenalnya, mi ?, kok tahu banyak soal orang itu."

Aku menunggu Mia menjawab tapi dia malah nyengir kuda.

"Enggak, aku tadi cuman denger dari orang-orang sih."
Jawabnya enteng.

"Dasar tukang gosip,"
Balasku cekikikan.

"Siapa bilang. Tapi itu bermanfaat tau, kita kan jadi nambah pengetahuan."
Sanggah Mia.

"Pemikiran kolot," jawabku.

"Kau ini."
Mia mulai terlihat geram. Saat itulah aku cuman membalasnya dengan mengangkat dua jari sambil nyengir

"Eh itu dia, dokter barunya."

"Wah, cantik sekali."

"Dia terlihat anggun sekali ya,"

Riuh ramai dari beberapa orang perawat yang berada tak lebih dari satu meter dari tempatku dan Mia duduk. Mereka membicarakan, memuji seorang wanita yang lewat didepan kami sambil bercakap-cakap dengan beberapa devisi lain rumah sakit ini.

Mungkin itu dokter bedah yang dibicarakan Mia. Aku dan Mia langsung berdiri dari duduk, mataku akhirnya melihat seorang wanita yang begitu cantik dengan hijab hitamnya itu. Senyumnya sangat manis dan menawan, terlebih perawakan yang ideal. Tapi bukan itu yang aku pikirkan.

"Dia terlihat sangat istimewa ya, Nabil"

Mia berbisik padaku. Aku mengangguk mengiyakan. Betul saja, dia terlihat istimewa karena disambut beberapa devisi rumah sakit dan juga Presdir rumah sakit ini sendiri.

"Dia terlihat memiliki kepandaian melebihi kita,"
Sambung Mia. Lagi-lagi aku hanya mengangguk.

"Siapa namanya?,"
Masih dengan menatap wajah dokter yang lewat tepat didepanku aku berbisik bertanya ke Mia.

"Indri atau siapa gitu, aku lupa."
Jawab mia lengkap dengan cengiran diakhirnya.

Aku menghembuskan nafas gusar. Indri, siapa ya. Apa aku mengenalnya. Ah entahlah, yang jelas aku tak mau tau.

"Kenapa, apa kamu mengenalnya?"
Tanya Mia.

"Ah tidak, aku seperti pernah melihatnya."
Jawabku singkat.

Tanpa memperdulikan Mia aku mengambil tas ku yang tadi terletak dibangku tempatku duduk lalu mulai melangkah pergi darinya.

"Aku pulang dulu ya, mi."

Mia mengangguk singkat.

"Hati-hati ya, Bu mil."

Mia melambaikan tangannya pelan. Dan aku membalasnya singkat.
Hati wanita ini sudah membaik, dia masih bisa tersenyum dan mulai pulih. Tapi orang lain tak akan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi setelah senyum itu kan?.

*Indri pov*

Aku kembali menengok masalalu, kota bayangan pahlawan. Kota dimana pahlawanku berada, semoga aku bisa bertemu dengannya disini.

Sesampainya dirumah sakit tempatku berpindah dinas, aku langsung diarahkan keruangan pribadiku. Mulai hari ini aku bekerja di salah satu rumah sakit disurabaya, tepatnya rumah sakit depan Korps marinir.

Mengingat tentang marinir, tanganku langsung mengambil sebuah foto di dompetku. Melihatnya sambil tersenyum.

"Andaikan semua seperti dulu,"
Lirihku sendiri,

Memandangi sebuah foto seorang lelaki dengan pakaian hitam, pakaian dinas tentara angkatan darat. Lelaki itu memegangi tali pada leher kuda, sedangkan wanitanya begitu anggun dengan gaun pengantin berwarna putih. Dalam foto ini mereka saling memandang dan tersenyum.

"Bedanya kamu sekarang adalah tentara angkatan laut." Lirihku lagi, kali ini aku mengusap foto lelaki itu.

Foto ini diambil saat kami masih SMA. Tepatnya saat mengikuti lomba foto kreatif yang diadakan saat ulang tahun sekolah. Foto dimana aku dan dia dipaksa seluruh anggota osis untuk menjadi modelnya. Berpura-pura seperti melakukan prewedding dengan tokoh seorang tentara.

Dulu aku berharap jika itu akan terjadi dimasa depan nanti. Dan sampai saat ini aku masih membayangkan yang sama.

Masa itu, masa dimana aku bertemu dengannya. Dengan modal kesamaan keistimewaan yang kita punya tentang hal-hal yang tidak semua orang bisa melihatnya, kami bisa dekat. Sangat dekat melebihi teman.

"Aku sangat ingin bertemu denganmu. Aku ingin menyudahi jarak diantara kita,"

Aku mengembalikan foto itu pada dompetku lalu meletakkannya ke dalam tas.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang