ta'aruf bercanda 🌹

3.9K 254 2
                                    

Tak akan terbaca sekarang. Karena hari ini adalah milik kita, bukan hari esok. 🍃

Matahari terik hari ini tertutup mendung sebagian. Tak terlalu panas, tetap cerah seperti biasa. Cuaca seperti ini adalah keuntungan bagiku. Mungkin juga bagi lelaki disampingku. Baginya, cuaca terik pun biasa menerpa. Nikmat cuaca seperti ini lah yang selalu disyukurinya selama ini.

Pandangan ku selalu mengarah kebawah, memandang kaki ku yang melangkah menyusuri pantai kota Tuban. Sesekali aku membenarkan letak hijab panjang menjuntai diterpa angin, sesekali juga ku arahkan pandangan ketika lelaki disamping langkah ku ini berbicara padaku.

Dia masih sama seperti dulu. Intonasi bicaranya, kekonyolannya, pesonanya, tapi sekarang dia lebih berwibawa, juga lebih kaku macam batu karang.

"Rencananya kedepan mau bagaimana," tanyanya disela perbincangan hangat kami.

"Nggak salah sasaran orang nih kak..."
Balasku disertai kikikan kecil.

Langkah kita menuju sebuah kursi panjang di bawah pohon beringin tak jauh dari dermaga pantai.

"Tinggal jawab aja kok susah.'

Aku kincep seketika. Tetap aja ngeselin nih orang. Tak ayal ku putar kedua mataku.

"Kerja keras buat bahagiain orang tua. Lagi coba mau ta'arufan kayaknya."

Kak Zidan mengerutkan keningnya. Nampak jelas dia tengah berfikir.

"Kakak kapan ke pelaminan,"
Ucapku lagi. Dia terkekeh sejenak.

"Secepatnya."
Dia berhenti sejenak memutar kepalanya kearah ku.

"Kamu udah ada calon?" sambungnya lagi.

Sekarang giliran aku yang mengerutkan kening.

"Belum. Hehehe.."
kali ini aku tertawa kecil karena ucapan ku sendiri.

"Kalau sama saya kamu mau?"

Speechless, aku langsung terdiam karenanya. Apa maksud lelaki ini.

"Nggak salah kak. Aku salah dengar kan?"

"Sepertinya tidak"

"Kakak salah bicara kali"

Lelaki itu mendekat kearahku dan menatapku begitu intens.

"Saya serius."

"Apa kak, secepat itu!"

"Kenapa tidak. Ini hal yang baik kan."

Kali ini aku melotot tak percaya padanya. Dan dia hanya tersenyum mengejek ku.

"Kalau bisa lebih cepat lagi,"

Balasnya enteng. Dia ini main-main atau bagaimana.

"A..aku tak tahu."

"Kali ini aku serius. Bisa kita mencobanya,"
Nada suaranya tegas, namun terkesan memohon.

Ku Hela nafas pasrah. Ya, aku pasrah sama keadaan ini. Biarlah berlalu sesuai rencana Nya.

"Apa alasan kak Zidan serius sama saya. Saya kan nggak bisa masak, nggak bisa kerja rumah, nggak becus apa-apa, cengeng, tempramental, sok-sokan. Pokoknya banyak minusnya kak. Dan kakak tau itu dari dulu kan?"

Lelaki itu tertawa mendengar ku berbicara panjang lebar. Ngeselin banget nih orang.

"Emang dari dulu nggak berubah ya. Tetep manja, sama cengeng."

Kali ini tertawanya makin kencang. Aku merengut tak terima. Enak saja, ngatain orang manja.

"Aku nggak mau ya kak kalau nanti setiap hari dapat omongan pedas dari mulut mu."

Lelaki itu langsung terdiam memandangku dengan sebelah alis terangkat. Setelah itu tawanya meledak.

"Hahahaha...."

Kesel deh lihat dia menertawakanku sampai memegangi perutnya.

"Tuh baru pedes banget kata-kata mu dek."

Ku putar kepala kearahnya. Aku tak salah dengar kan.., dek, dia memanggilku dek. Biasanya dia memanggilku nduk (panggilan orang jawa untuk anak perempuan). Mimpi apa dia semalam.

"Beneran kak. Aku cuman nggak mau makan hati. Kan tadi kata kakak aku manja + cengeng." Ketusku.

"Ternyata ibu psikolog ini lebih jauh memikirkan masa depan dengan cara ngambek ya.."
Lirihnya, mata lelaki itu tak lepas dariku.

"Pak kapten juga sepertinya makin menakutkan," balasku sengit.

Kak Zidan mendesis. Ku rasa dia mulai menyerah berhadapan dengan ku. Dulu, aku yang selalu kalah jika berdebat dengannya. Tapi kali ini, aku lah pemenangnya.

"Terima atau kau ku tembak mati."

Percaya diri sekali dia. Aku menanggapi dengan tertawa terbahak bahak.

"Mencoba mengancamku? Hahahaha"

"Bagaimana lagi, nggak ada jalan lain"

"Akan ku suntik mati duluan kau kak."

Dia menghela nafas frustasi. Baiklah saatnya serius Nabila. Ku atur nafas perlahan lalu bicara padanya.

"Jalanin aja dulu kak, Kamu perlu istikharah kan. Begitupun dengan ku." Lirihku disertai senyuman.

"Makasih untuk kesempatannya Bu dokter."

Aku hanya menunduk malu. Apa keputusan ku ini tepat. Entahlah, rasanya seperti canggung.

"Semoga kita selalu menemui jalan terbaik dari setiap langkah mengarungi samudera hayat ini."

Senyumnya dilempar ke arahku dengan begitu hangat. Seolah mencoba menyakinkan ku padanya.

"Sekarang aku berasa lagi jalan sama bajak laut yang tersesat." Candaku.

Dia terkekeh pelan sambil mengacak hijab di ubun-ubun ku.

"Kak ih..."

"Saya bajak hatimu nanti"
Kembali bersungut kan jadinya. Sedangkan dia tertawa puas makin kencang.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang