khidbah dari samudera 💦

2.5K 179 0
                                    

Sama seperti ombak dilautan, menghantam tiba-tiba menguji karang. Setidaknya masih ada deburan yang menjadi pertanda engkau datang.

Dekorasi ruangan dipenuhi dengan warna putih, dekorasi utama didominasi warna biru tua. Bunga-bunganya indah, ditambah sebuah dream cathter besar yang menggantung ditengahnya. Aku baru melihatnya sekarang. Karena tadi Fahri menarik tanganku untuk berjalan cepat lalu mengunci didalam kamar.

Lelaki itu, lelaki yang melamarku tanpa ta'aruf keluarga. Sekarang dia berdiri didepanku yang berdiri tepat diatas karpet dekorasi utama.
Dia nampak menawan dengan setelan celana kain hitam dan batik lurik keemasan kombinasi marun yang terlihat senada dengan kebaya Jawa yang ku pakai saat ini.

"Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatu"
Dia memulai dengan ucapan salam, mata kami saling bertemu.

Aku terdiam, berdiri kaku memegang mikrofon. Mendengarkan dia bicara dengan mikrofon lain yang dipegangnya.
Telingaku seakan tuli dengan riuh dramatis para tamu ketika lelaki ini berbicara. Mereka saling melempar lontaran-lontaran menggoda kepadaku dan kak Zidan.

"Bismillahirrahmanirrahim...
Dek Nabila, terimakasih untuk waktunya selama ini.
Terimakasih telah bersedia mengenal dan bersama saya Selama ini.
Dek Nabila, bagi saya segala yang telah kita lewati selama ini semakin membuat saya yakin untuk meminang dek Nabila.
Mungkin ini terlalu cepat, tapi jujur.
Saya telah menaruh hati pada dek Nabila.
Saya ingin meminta dek Nabila agar bersedia menemani saya berlayar, mengarungi samudera mahligai rumah tangga bersama saya.
Maukah dek Nabila Az-Zahra menerima lamaran saya, berjalan bersama saya, menata masa depan bersama."

Lelaki itu masih setia mengunci pandanganku. Mata hitam pekat itu memancarkan keseriusan, satu tangannya yang sedari tadi menggenggam tangan kananku, sedangkan tangan kirinya memegang mikrofon dan berkata pelan-pelan.

Aku mengerjap tak percaya, apa kak Zidan tidak gugup saat menyampaikan serentetan kata-kata itu.
Hatiku masih sedikit tak percaya bahwa sang abdi negara ini langsung memintaku pada orang tuaku dan meminangku secepat ini.

"Ayo dek Nabila, segera dijawab lamaran dari mas Zidan-nya!" Suara MC mengintruksi. Koar dari masyarakat sekitar pun makin riuh, lengkap dengan wajah baper masing-masing melihat kami.

"Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatu, sebelumnya Nabila ingin terus terang dulu ya,"
Aku menjeda sejenak untuk mengambil nafas, melihat kak Zidan mengangguk dan yang lain tersenyum setuju aku baru melanjutkan kata-kata ku.

"Bismillahirrahmanirrahim...
Kepada kak Zidan, maksud saya mas Zidan. Sesungguhnya saya sangat terkejut akan acara ini, hati dek Nabila mu ini masih bimbang dan ragu.
Tapi kesungguhan mas Zidan untuk menyakinkan saya, membuat saya yakin bahwa mas Zidan adalah lelaki yang baik.
Terimakasih, mas Zidan mau memilih saya.
Terimakasih mas Zidan selama ini selalu membantu saya dan tak pernah bosan menemani saya dalam suka maupun duka.
Terimakasih mas, kamu mau membimbing saya untuk jadi yang lebih baik lagi.
InsyaAllah, dek Nabila bersedia menemani mas Zidan berlayar mengarungi samudera dalam mahligai pernikahan.
Nabila siap melengkapi tulang rusuk mas yang hilang selama ini"

Hembusan nafas lega terdengar dari setiap orang. Senyuman-senyuman bahagia pun ditunjukkan dengan riuh tawa dan tepuk tangan atas keberhasilan acara lamaran yang telah resmi berjalan lancar.

"Baiklah untuk mas Zidan dan dek Nabila silahkan duduk di kursi yang disediakan untuk acara pemasangan cincin tunangan" MC kembali mengintruksi sambil menunjukkan kursi yang berada ditengah dekorasi.

"Wih kakak gue udah mau nikah,"
Fahri mendekat kearah ku dan kak Zidan sambil membawa sebuah kotak beludru berisikan sepasang cincin perak.

"Diamlah," ucapku singkat, tanpa senyum dan menatapnya.

"Ternyata kakak ipar gue udah ketularan ketusnya Abang gue ya"
Syarif, adik kak Zidan itu ikut mendekat kearah kak Zidan sambil membawakan buket bunga.

"Terimakasih dek Nabila, mau menerima saya dan memaafkan segala kesalahan saya" lirih kak Zidan pelan.

Kak Zidan memasangkan sebuah cincin perak dengan desain sederhana yang terdapat permata biru kecil ditengahnya.

Pipiku terasa panas, aku menunduk sambil tersenyum malu.

"Terimakasih mas, mau memilih saya dan menerima segala kekurangan saya"

Aku memasangkan cincin perak pasangan dari cincin yang ku pakai.
________⚓__________

"Maaf"
Kak Zidan berbisik ditelinga kananku. Aku menatapnya yang tersenyum lalu aku kembali mengalihkan pandanganku kearah kerabatku dan kerabat kak Zidan yang ramai memenuhi ruang tamu rumahku.

"Kenapa secepat ini mas?" Lirihku pelan tanpa menatapnya.

Mulai hari ini aku harus membiasakan memanggilnya dengan sebutan mas, selain untuk menghormatinya, juga karena agar terlihat lebih sopan kan.

"Maaf dek, mas takut jika mas tak bisa lagi menahan cemburu jika tidak segera mengikatmu," ucapnya dengan lancar.

Aku menoleh tak percaya padanya, tak biasanya lelaki ini berbicara dengan gamblang. Terlebih soal perasaannya.

"Cemburu?" Tanyaku pelan.

Mas Zidan menghela nafas sejenak, dia kembali menatapku dengan serius.

"Danil," jawabnya enggan.

Aku kembali tercengang. Ternyata selama ini dia tak nyaman jika aku bersama Danil.

"Tapi kamu tak meminta izin ku untuk acara ini, mas.." suaraku sedikit geram.

"2 hari lalu aku pulang, memintamu pada kedua orang tuamu. Maaf la, aku sengaja merahasiakan ini. Karena aku takut jika kamu menolaknya"

Aku memejamkan mata sejenak, menahan rasa sesak didadaku yang merasa di tipu.

"Kamu memaksaku mas, aku seperti dibohongi!"
Setetes air mataku jatuh tak terbendung.

Lelaki itu semakin menatapku dengan pandangan bersalahnya. Tangannya terulur menghapus air mataku sambil tersenyum menenangkan.

"Maafkan mas," lirihnya sangat pelan yang hanya mampu terdengar olehku.

"Mau bagaimana lagi, udah terlanjur juga kan!"
Aku tersenyum kecil sambil menekan kata kan pada kalimatku.

"Terimakasih dek..."

Ehem....

"Ibuk juga mau bicara sama calon menantu ibuk Dan. Kamu minggir dulu, jangan berduaan belum mahrom"

Suara ibu memotong kata-kata mas Zidan yang belum selesai.

"Ibuk mah"
Mas Zidan mencebik kesal karena saat ini ibunya itu duduk ditengah-tengah kami.

"Kalau bisa kamu jauh-jauh sana!. Jangan ganggu ibuk sama Nabila"

Kata-kata ibuk membuatku tak mampu menahan tawa saat mencium telapak tangan ibuk. Ku lihat mas Zidan semakin memanyunkan bibirnya.

"Betul itu mas,"
Imbuhku menyetujui apa kata ibuk. Baru kali ini aku melihat abdi negara yang manja pada ibunya. Sedangkan mas Zidan-nya itu hanya terdiam pasrah.

"Kamu cantik nak, Zidan pintar memilih calon. Semoga mas Zidan bisa membimbingmu menjadi lebih baik, dan semoga kamu mampu menjadi pendamping terbaik untuk anak ibuk dalam suka maupun duka," lirih ibuk.

Aku sedikit terharu ketika ibuk menyelesaikan kata-katanya dan memegang ubun-ubunku lalu membacakan sebuah doa.

"Ayah juga memohon padamu nak, temani anak ayah dan jadikanlah dia imam yang baik untukmu."
Ayah mas Zidan menghampiriku dan ibuk, lalu ayah juga mendoakanku sambil menyentuh ubun-ubunku pelan.

Hatiku ternyuh dengan apa yang dilakukan ayah dan ibuk.
Aku tersentuh oleh hatimu mas, begitupun dengan keluargamu.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang