mata yang sama namun berbeda (khuzaini Akbar)

2K 144 2
                                    

Mendengar penjelasan dari pihak pertama memang sakit. Akan lebih menyakitkan jika dari pihak lain. Karena mereka berbeda-beda pandangan dalam menyalahkan dan membenarkan sesuatu.

"Entah bagaimana akhirnya nanti, terimakasih kamu telah menjadi luka tak terlihat dari kisahku"

Lagi-lagi batinku yang hanya mampu berbicara. Melihat segala keadaan saat ini sangat membuatku tak bisa berpikir jernih.

_Zidan pov_

"Aku duluan ya,"
Pamitku pada wanita anggun didepanku ini.

"Kak, aku boleh minta tolong nggak, ibuku sedang dirumah sakit. Dia sangat ingin bertemu denganmu. Bisakah kak, sekali ini saja."
Dia membujukku dengan ulet. Tak tega rasanya melihat mata cantik itu berbinar membuatku mau tak mau mengangguk mengiyakan.

"Aku akan mengirimkan pesan dulu untuk Nabila."

Kata-kataku menghadirkan senyum lebar dibibir wanita ini. Lama sekali aku tak melihat senyum lebar Indria seperti ini.

Entah kenapa dihadapan wanita ini aku selalu tidak bisa menolak apa yang dia mau. Sama seperti dulu, apa hatiku masih tersisa padanya.

"Ibu, ini mas Zidan. Ibu masih ingat kan,"
Ucap Indria setelah dia dan aku menyalami ibunya yang terbaring lemah diranjang rumah sakit.

"Ibu ingat. Bagaimana kabar istrimu nak, kenapa tidak kamu ajak kemari,"
Lirih lemah ibu Indria. Tatapan itu begitu tulus.

Melihat tubuh Indria yang tegang membuatku ikut tegang. Kenapa aku seakan melupakan hal itu, jika aku telah beristri. Dan anakku.

"Em... Kapan-kapan saya ajak kemari Bu,"
Jawabku sedikit gugup.
_________________⚓_______________

"Om Mario, tolong nanti berhenti ditaman dulu ya. Saya ingin main sama Zafran disana sebentar,"

Panggilan om memang dibiasakan untuk para ajudan abdi negara yang mengawal atasannya. sebenarnya aku memanggil om itu hanya untuk sekedar membiasakan Zafran agar kelak terbiasa dengan kehidupan  dunia militer.

"Iya Bu. Saya akan tetap mengawasi dari jauh,"
Jawab Mario tenang, dia mulai memarkirkan mobil dinas ini kepinggiran taman kota Surabaya.

"Baiklah, saya turun disini."

Mario mengangguk lalu mengikutiku dan dia berhenti sedikit jauh untuk mengawasi kami berdua.

Saat asik berjalan sambil bercanda dengan Zafran aku seperti menemukan energi baru dari rasa lelahku. Lelah badan dan lelah hati yang kutanggung sendiri, memangnya siapa lagi yang mengerti badan jika bukan pemiliknya sendiri.

"Maaf dek, apa kita pernah bertemu ?"

Seorang lelaki bermata hitam legam itu menatapku lekat. Aku mengamatinya sembari mensejajarkan tubuhku dengan tubuhnya yang lebih tinggi dariku beberapa centimeter saja.

Mata hitam legam itu mengingatkanku pada mas Zidan. Mata yang tajam tapi bentuk wajah yang berbeda.

"Apa kamu ingat saya, dek Nabila."

Masih dalam hening kami saling memandang. Hanya suara ocehan lucu Zafran saja yang memecahkan keheningan diantara kami.

"Kamu, kak khuzain"
Ucapku ragu.

Senyuman manis terbit diantara bibir penuhnya. Senyum itu masih sama seperti dulu saat kita SMA, dimana saat itu kita saling memendam rasa dalam kagum. Namun sayang, sampai sekarang pun tiada yang mampu untuk saling mengungkapkan perasaan itu, hanya diwarnai sikap saling respect dan perhatian dalam ikatan adek kakak semata.

"Kamu mengingatku, Bu nyai,"
Candanya mengingatkan panggilan khusus dari teman-temanku saat SMA dulu, begitupun dengannya yang menyabet gelar kakak kelas faforit dan idaman para adek kelas karena sifat ramah dan aktif dalam osis, selain itu dia juga terbilang tampan.

Ada banyak kesamaan antara orang yang kita kenal dimasa lalu dan terkadang di ingatkan oleh seseorang dimasa sekarang. Begitu banyak orang yang mempunyai kemiripan dengan seseorang yang kita kenal, entah itu dari mata, senyuman, alis, atau bahkan bentuk wajah. Semua itu yang membuat kita tak bisa lepas dari ingatan masa lalu kita.

"Apa sih kakak,"

Tawa renyah yang ku buat membuatnya ikut tertawa juga bersamaku.

Kami memilih duduk dibangku taman yang menghadap kebarat. Memandangi matahari sore dengan langit yang sedikit menjingga membuat suasana ini seperti mimpiku yang terwujud sekarang.

"Kok kakak ada disini ?,"
Tanyaku kembali menatap mata hitam legamnya yang menatapku dari tadi.

Bolehkah kuartikan jika tatapan itu adalah tatapan kerinduan, dari tingkahnya dan tutur kata yang semakin dewasa membuatku semakin mengagumi lelaki ini.

"Aku kerja disini dek, tepatnya HRD manager PT dekat-dekat sini. Kamu sendiri bagaimana, aku dengar kamu kerja disini juga ya,"

Aku mengangguk singkat. Bolehkah aku bicara jika aku sangat rindu masa ini, senyum dan mata dari lelaki ini yang melebihi seperti seorang kakak sendiri.

"Iya kak, aku kerja disalah satu rumah sakit disini."
Jawabku. Sesekali aku menimang Zafran yang mulai ingin turun ketanah.

"Ini, anakmu ya."

Kak khuzain memperhatikan Zafran sambil tersenyum hampa. Aku mengangguk pelan mengerti jika dia tak enak hati menanyakannya.

"Suamimu. Mana ?"
Tanyannya lagi, sekarang dia menatapku lekat. Mata itu membuatku sangat sadar jika aku merindukannya. Cinta pertama yang tak tersampaikan.

"Dia lagi sibuk,"
Jawabku singkat tanpa tersenyum.

Tanpa kuduga kak khuzain mengusap ubun-ubunku gemas sambil tersenyum hangat.

"Kau ini, istri tentara kan harus kuat kalau ditinggal,"
Sanggahnya masih dengan terkekeh kecil.

"Kak khuzain, udah nikah ?"
Tanyaku menatapnya.

Dia terlihat tersenyum kembali. Memang setelah aku menikah kita sempat los kontak sampai beberapa bulan karena aku ganti ponsel.

"Belum,"
Jawabnya singkat. Dia menarik nafas besar lalu menghebuskannya bersamaan dengan menghempaskan badannya untuk bersandar pada kursi.

"Kenapa,"
Tanyaku lagi dengan nada serius.

"Karena aku belum menemukan yang aku cari. Sepertinya cinta pertamaku masih tertinggal deh disini,"
Lirihnya pelan. Dia menyentuh dada kirinya bermaksud menunjuk hatinya.

"Aku yakin kak, sebentar lagi pasti ada yang datang dan lebih baik dari sebelumnya."

Senyum menenangkan itu aku coba sampaikan padanya. Dia ikut tersenyum tulus padaku.

Senyum itu selalu menghiasi wajahnya terkadang terdengar ringkikan kecil pula darinya. Tangannya menggenggam tangan mungil Zafran dengan penuh kelembutan.

"Adek tampan siapa namanya ?"
Dia berbicara dengan Zafran menggunakan nada yang menggemaskan.

"Zafran Alfiansyah akbar, paman,"
Jawabku menirukan nada bicaranya.

"Hidung dan senyumnya mirip sekali denganmu, La,"

"Kan putranya bunda,"

Setelah kami saling bercerita dan tertawa aku memutuskan untuk pamit dengannya. Kembali berpisah dengan lelaki ini, diwaktu yang sama seperti dulu.

"Aku duluan ya kak, Zafran sepertinya mulai mengantuk."
Pamitku sembari menggendong Zafran yang mulai mengucek-ucek matanya karena ngantuk. Kak khuzain mengusap kepala Zafran penuh kelembutan.

"Lain kali kita bisa bertemu lagi kan,"

Aku mengangguk singkat. "Kamu bisa bertamu ke rumahku kok, kak,"

Mata hitam legam itu kembali berbinar seperti menampung air mata, sedangkan bibirnya menyunggingkan senyum sembari mengangguk setuju.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang