Procotan, mitoni. 7 bulanan. 🌝

2.2K 133 0
                                    

Kebahagiaan belum tentu berisikan tawa semua. Terkadang semua itu harus terselip keresahan hati untuk menikmatinya.
🌛

Satu bulan setelah hari itu. Hari dimana aku melihat mas Zidan bersama Indria direstoran. Sampai sekarang aku masih belum mengetahui alasan dari mulut mas Zidan secara langsung, aku belum siap. Aku hanya ingin mencari tahu sendiri dulu sekarang. Dan mungkin itu penyebab hubunganku dengan mas Zidan menjadi tak seperti dulu. Meskipun kami terlihat tetap hangat, tapi rasanya hampa. Entah karena apa.

"Dek, udah siap ?"

Mas Zidan masuk ke kamar sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum melihatnya memakai pakaian khas Jawa seperti saat kita menikah dulu. Bedanya mungkin sekarang perutku yang sudah membesar. Hari ini kami mengadakan acara 7 bulanan dengan upacara adat Jawa timur.

"Iya mas, ayo."

Mas Zidan membantuku berdiri lalu aku menggandengnya menuju ke halaman luar, dimana disana sudah berkumpul semua keluargaku dan keluarga mas Zidan.

"Wah, ibu Nabila cantik banget. Mungkin anaknya perempuan ya,"
Ucap salah seorang ibu Jalasenastri yang berdiri didepan panggung bersama undangan lainnya.

"Iya Bu, mantesi."
Jawab ibu-ibu yang lainnya.

"Beruntung sekali ya, mayor Zidan dapat ibu Nabila. Pasti mereka sangat bahagia."
Sekarang salah atau dari mereka berbisik.

Senyum miris terukir seketika pada bibirku. Mereka hanya melihat apa yang didepan kan, bukan yang dibalik layar.

"Ibu Nabila silahkan duduk ditempat yang sudah disediakan."
Instruksi MC menunjukkan kursi tunggal didepan genuk (tempat air besar dari tanah) yang telah diisi air 7 sumur dan kembang 7 rupa.

Sekarang semua mata tertuju padaku yang berpenampilan memakai jarik dengan minset lengan panjang, roncean melati yang menjuntai sampai perut, serta bandana melati yang diletakkan diatas iner rajut model ninja.

Basuhan pertama dilakukan oleh mamak dan bapak dari pihak keluargaku. Lalu basuhan kedua dilakukan oleh ibuk dan ayah dari pihak mas Zidan. Setelah itu hak mas Zidan melanjutkan mengguyur tubuhku sampai 7 basuhan.

"Sampun pantes nopo mboten ?"
Tanya mas Zidan kepada semua hadirin.

Kali ini adalah prosesi mantesi, yaitu aku harus berganti pakaian 7 kali beserta jariknya dengan warna dan motif yang berbeda-beda. Ketika semua orang menilai cocok maka aku harus memakai baju dan jarik itu dalam prosesi jual dawet dan rujak tebu.

Upacara mitoni bukan hanya diadakan siang hari. Tapi juga berlanjut sampai malam hari, acara malam ini diadakan sebuah pengajian, tahlil, dan selamatan. Kali ini didalam berkat-nya (makanan sedekah yang diberikan yang punya hajat kepada para undangan) ada 5 ketupat, 5 lepet (makanan dari ketan yang dibungkus daun kelapa muda), procot (makanan dari ketan yang dibungkus daun pisang), rujak tebu,
________⚓________

Sehari setelah acara mitoni selesai kemarin. Hari ini mas Zidan harus kembali bertugas melakukan ekspedisi dilautan cina.

"Mas, kenapa Ndak tukar buat dinas di pos aja sih,"
Kataku menatapnya.

Mas Zidan membetulkan hijabku yang sedikit berantakan karena tertiup angin. Kami berdiri saling memandang kapal besar yang seakan mengapung ringan disamudera.

"Mas juga pengennya gitu dek, tapi sebagai pemimpin mas harus mimpin pasukan mas, bukan hanya memberi perintah seperti pemerintah."

Mataku menatap mas Zidan serius. Aku mengerti kalau seorang pemimpin akan lebih berat beban tanggungan yang dipikul, selain harus memimpin dan memberi perintah dia juga harus berfikir tentang apa yang akan dilakukannya. Strategi dan kegiatan apa yang akan dilakukan.

"Mas berangkat ya,"

Mata kami saling terkunci. Meskipun ada jarak diantara kita yang mungkin ditimbulkan kesalah fahaman tapi aku tak rela jika harus melepaskan mas Zidan pergi bertugas selama 3 bulan. Dimana tugas seorang marinir yang selalu bertaruh nyawa.

"Aku mau mas Zidan nanti nemenin aku waktu lahiran,"
Lirihku.

Mas Zidan tersebut hagat padaku, tangannya mengusap perutku yang sudah membuncit. Setelah itu mas Zidan mencium perutku lama dan mengusapnya kembali.

"InsyaAllah dek. Do'akan mas ya,"

Senyum hangat itu kembali terukir diwajahnya. Aku sangat takut jika nanti saat aku melahirkan, mas Zidan nggak bisa menemaniku, aku nggak mau berjuang sendiri tanpa mas Zidan.

"Doaku selalu bersamamu. Mas,"
Ku Hela nafas pasrah lalu tersenyum.

Seperti inilah kisah para Jalasenastri. Selain kebanggaan saat menggunakan seragam ataupun bersanding dengan seorang tentara, mendapatkan jaminan dan perlindungan dari negara. Tapi sesungguhnya peperangan yang sebenarnya adalah dengan hatinya sendiri, harus sabar ketika negara adalah nomer satu. Dan selain itu juga harus tabah ketika suaminya ditugaskan jauh dari tempat tinggalnya berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

"Aku mencintaimu."
Lirih mas Zidan, matanya menatapku begitu lekat.

Aku tak mampu menjawabnya, entah kenapa kata-kata itu malah terdengar seperti menyayat hatiku.

"Aku tau,"
Balasku sambil mengangguk singkat.

Mas Zidan mengecup keningku lama. Mataku terus saja terkunci pada pergerakannya yang menjauh dari mataku. Punggung kokohnya berjalan sampai menghilang dibalik pintu masuk kapal.

Dermaga ini menjadi saksi dimana aku melepas orang yang aku cintai untuk ibu Pertiwi, dan disini pula aku menjemputnya pulang.

Air mataku jatuh begitu saja saat kapal besar yang ditumpangi mas Zidan bersama pasukannya mulai menjauh mengarungi samudera. Begitupula hatiku yang kembali teringat pada kisah mas Zidan dan Indria.

Entah kenapa aku tidak merasa cemburu ataupun securiga ini saat mas Zidan harus tugas berbulan-bulan, tapi kalau tentang wanita itu. Rasanya seperti pengecualian.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang