pernikahan Danil dan Maria 💐

1.8K 129 1
                                    

Kepercayaan itu goyah hanya dengan sebuah rasa cemburu.

Tak terasa kalau waktu berjalan dengan cepat. Mas Zidan sudah kembali dari tugasnya. Lalu sekarang dia bersamaku menghadiri pernikahan Danil dan Maria. Perlu kalian ketahui, bahwa setelah aku menikah dengan mas Zidan, Danil menganggapku sebagai adiknya sendiri. Bahkan terkadang kasih sayangnya terlihat melebihi seorang kakak.

Aku bahagia, dihidupku selalu dikelilingi orang-orang yang menyayangiku dengan tulus, bahkan mereka yang tak ada hubungan darah sama sekali.


"Mas, kamu itu jadi nggak sih ikut aku kondangan,"

Gerutuku kesal melihat mas Zidan yang masih sibuk dengan telvon genggamnya. Sedari tadi saat aku masih sibuk membetulkan hijab, mas Zidan sering tersenyum sendiri melihat ponselnya. Entah siapa yang dihubungi mas Zidan dari seberang sana, yang jelas dari kemarin mas Zidan semakin sering seperti ini.

"Iya dek, ayo. Kita berangkat sekarang,"
Ucapnya tenang seperti aku tak menaruh curiga padanya.

Dalam perjalanan semua terasa sangat hening, hanya ada deru mobil dan suara dari kendaraan lain yang bersimpangan. Jarak menuju tempat acara memang sedikit jauh, tapi karena jalanan yang lenggang membuat kita sampai lebih awal.

"Wah, cantik sekali Maria,"

Aku menatap takjub seorang wanita didepanku ini. Sang mempelai wanita itu tengah bersiap untuk upacara resepsi yang akan dilakukan sebentar lagi.

"Makasih Nabil, kamu sudah datang kesini."

Aku mengangguk sambil tersenyum hangat padanya. Dia menggenggam tanganku dengan sedikit gemetar.

"Eh, jangan gugup. Nanti pasti berjalan lancar kok,"

Aku dan Maria sama-sama menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 8, dimana sebentar lagi akan dilaksanakan acara akad nikah.

"Aku gugup, grogi banget,"

Mendengar Maria yang semakin gugup aku langsung mengusap telapak tangannya lembut. Ah semua ini mengingatkanku pada awal kisahku bersama mas Zidan.

"Sah....."
Suara menggelegar dari penjuru depan membuatku dan Maria saling bertatapan

Maria memang lebih tua dariku dan dia memilih berdamai lalu menganggapku sebagai adiknya. Begitupun denganku yang menganggapnya sebagai kakak walaupun tanpa panggilan kakak.

"Sekarang saatnya kita keluar,"
Ucapku menggandeng tangannya dengan niat membantunya berdiri. Tapi karena perutku yang membesar ini menyulitkanku untuk berdiri hingga akhirnya Maria yang membantuku.

"Kau ini Nabil, bukannya membantuku berdiri malah aku yang membantumu."

"Hahaha,"
Tawa renyah kami mendengar kata-kata yang diucapkan Maria.

Acara resepsi berjalan dengan lancar. Adat Jawa timur sangatlah kental disini dengan didominasi adat daerah Lamongan.

Suasana semakin ramai setelah lima menit lalu acara resepsi usai. Kali ini aku dan mas Zidan duduk bersampingan dimeja makan untuk tamu. Mas Zidan memaksaku makan dengan porsi yang banyak. Bahkan dia sendiri yang memilih dan mengambilkan menunya tadi.

"Ayo dek, buahnya dimakan dulu,"

Lagi-lagi mas Zidan memaksa menyuapiku didepan umum. Sedangkan aku hanya menerima suapan darinya sambil mengusap perutku yang membuncit.

Diusia kehamilanku yang sudah masuk 8 bulan akhir ini mas Zidan memang lebih protektif, sejak dia mengambil cuti untuk menemaniku lahiran mas Zidan akan selalu memaksaku makan banyak dengan alasan agar dedek bayinya kuat seperti dirinya.

"Udah mas, aku udah kenyang banget ini."

Aku menolak suapan darinya secara halus. Tapi mas Zidan kembali menyodorkan sendok kearahku.

"Dikit aja,"
Bujuknya sambil tersenyum hangat.

"Zidan,"
Panggilan dengan nada lembut itu membuatku dan mas Zidan menoleh bersamaan kearahnya.

"Indria,"
Balas mas Zidan tak kalah lembut.

Dari raut wajah mereka jelas terlihat jika mereka saling menyukai pertemuan ini.

"Kamu undangan dari siapa, in ?"
Tanyaku padanya yang sekarang mengambil duduk didepan mejaku, tepatnya berhadapan dengan mas Zidan.

"Oh ya aku lupa bilang, kalau Indria ini sepupunya Maria, La"

Mas Zidan yang mengatakan itu dengan nada yang dibuat lembut. Apa, sepupu. Lalu panggilan dek tadi kemana, kenapa sekarang manggilnya La.

Jangan kira kalau aku tak mengamati gerak-gerik mereka yang sejak tadi terkesan mencurigakan. Mas Zidan yang seperti cemas, dan Indria yang malah terkesan m
Sengaja menantang seseorang.

"Oh,"
Jawabku singkat sambil manggut-manggut menyembunyikan rasa curigaku.

"Asik ya, nikahan adat jawa,"
Ucap Indria ringan, dia menoleh keseluruh penjuru mengamati setiap rangakaian acara resepsi.

Sesekali Indria membetulkan posisi duduknya yang anggun dengan kebaya kuning dan jarik parang. Saat itu juga aku melihat mas Zidan yang mencoba biasa saja, tapi aku tahu kalau tatapan itu sangat hangat melebihi kehangatan yang dia sampaikan padaku akhir-akhir ini.

"Selain panjang dan ribet emang penuh makna juga kan,"
Meskipun aku tak nyaman dengan posisi ini tapi tetap kucoba tersenyum padanya.

Indria membalas tersenyum padaku, dia juga sesekali melirik kearah mas Zidan.

"Bagaimana kalau aku menikah nanti pakai adat Jawa juga ya,"
Kata Indria tersenyum puas.

Aku dan mas Zidan sama-sama terdiam. Aku terdiam memikirkan kemungkinan terburuk dari perkataannya selanjutnya sedangkan mas Zidan entah karena apa.

"Bagus dong, siapa calon mu, Indria ?"

Mendapatkan pertanyaan barusan membuat Indria menatapku serius.

"Bagaimana kalau kita berbagi,"
Ucapnya dengan nada serius.

Dentuman keras dikepala dan dadaku semakin terasa karena suasana ini. Aku masih terdiam melihat mata Indria yang metapku serius seakan berusaha menyakinkanku.

"Ma maksudmu apa,"

Indria tersenyum manis kearahku. Lalu dia menyandarkan punggungnya kekursi dengan santai.

"Maksudku berbagi pengalaman,"
Balasnya enteng seakan tak terjadi apapun.

Aku mendengar mas Zidan menghembuskan nafas perlahan, apa mas Zidan setakut itu jika aku mengetahui kalau mereka benar ada sesuatu tanpa sepengetahuanku.

"Kenapa mas,"
Tanyaku dingin.

"Eh, nggak apa kok, kita pulang sekarang ya,"
Jawab mas Zidan cepat.

Melihat tingkah mas Zidan membuatku mengerutkan alis.

"Kenapa, acaranya kan belum selesai."

Mencoba meminta penjelasan dari mas Zidan tapi malah dia langsung beranjak berdiri dari kursi duduknya.

"Kamu kan butuh istirahat dek, kita pulang ya."

Nada suara mas Zidan begitu lembut dan hangat. Aku menurutinya dengan anggukan dan senyuman singkat tanda pamit pada Indria yang menatapku dengan arti yang tak ku mengerti.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang