pernikahan mia dan doni 💐

1.9K 134 3
                                    

Air mata selalu mengiringi kebahagiaan dan kesedihan karena mereka berjalan bersamaan, menyatu dalam perbedaan.

2 hari setelah pernikahan umi dan kevin, sekarang aku dan mas Zidan kembali menghadiri pernikahan teman dan saudara silat kami. Yaitu Mia dan Doni.

Kisah tentang mereka memanglah tidak terduga. Terlebih tentang kisah patah hati dari Mia, temanku yang satu itu memang dibilang sesak nafas kalau diam galau.

"Kau ingat waktu dulu aku pernah bilang pada seseorang, 'berjalanlah kak, jelajahi bumi. Tak perlu kamera yang bagus untuk mengabadikan pengalaman.' kau ingat nabil?"
Ucap Mia saat itu.

"Aku mengingatnya, itu adalah kisah tentang seseorang yang kau ceritakan waktu itu."
Jawabku padanya.

Mia tersenyum dan mengangguk singkat.

"Dia adalah orang yang aku lepas, dan dia kembali ketika aku terluka,"

Mata Mia menerawang kelangit-langit ruanganku.

"Biarkan dia menyembuhkan lukamu Mia, jika dia mampu dan kamu yakin padanya."
Ucapku tak lupa kusertakan senyum diakhir kalimatku.

Mia ikut tersenyum kearahku.

"Doakan aku dalam mencoba bersamanya lagi Nabil,"
Lirihnya.

"Doaku menyertaimu, mi."

Dalam hening kita saling tersenyum. Teringat saat dulu kita koas bersama, susah senang menghadapi senior dan menyelesaikan skripsi, bertengkar hanya karena hal sepele dalam kos-kosan selama 4 tahun sejak kita masih camaba.

Sekarang wanita ceria ini semakin cantik ketika tersenyum manis didepan cermin kamarnya. Tubuh indahnya dibalut gaun pengantin syar'i senada dengan hijab dan riasan kepalanya.

"Samawa mia, barakallahhu laka,"
Ucapku ketika mendengar kata sah dari luar kamar.

Air mataku dan Mia serta semua yang ada dikamar menetes haru. Menyaksikan betapa khidmat sebuah janji pernikahan merupakan ketentraman hati tersendiri bagi tamu undangan yang berbahagia.

Setelah acara akad selesai, sekarang para tamu bisa mengucapkan selamat pada kedua mempelai diatas pelaminan sebelum acara resepsi dan pedang pora nanti.

"Selamat ya, kamu telah sah menjadi istri seorang letda, cie jadi ibu Persit (persatuan istri tentara angkatan darat) ,"
Aku memeluk Mia bahagia, Mia juga memelukku penuh haru.

"Semoga aku bisa sepertimu Nabila,"
Mia mengucapkannya dengan mata berkaca-kaca.

Kuberi dia senyum tipis sebelum berbicara.

"Semoga nasibmu bisa lebih baik dariku mia,"

Kesekian kalinya ada orang yang ingin berada diposisi kita, sedangkan kita sangat ingin berada diposisi orang itu.
Tapi inilah takdir, tak mungkin ditukar dan tertukar.

"Selamat ya Don, akhirnya lu nyusul kita-kita kakak kecil,"
Ucapku pada Doni setelah menyalaminya diatas pelaminan.

"Kalian selalu jadi panutan para pengantin deh kak Nabila dan kak Zidan,"
Balas Doni sambil tersenyum.

"Ngomong apaan sih anak kecil, nggak kangen gue ajak ngebut lagi emangnya,"
Goda mas Zidan pada Doni, sedangkan Doni hanya membalasnya dengan nyengir kuda.

"Upacara pedang pora akan dilaksanakan bersamaan dengan resepsi adat Yogyakarta."
Instruksi MC upacara.

Sekali lagi aku menyaksikan sahabatku dipayungi pedang pora bersama cinta mereka masing-masing. Dan dalam momentum yang sama air mataku selalu ingin keluar tapi kutahan.

"Seorang wanita Jalasenastri tidak boleh terlihat rapuh didepan umum dan lemah didepan dirinya sendiri. Mereka harus kuat seperti batu karang yang diterpa ombak samudera."

Kata-kata itu selalu mas Zidan bisikkan padaku ketika melihat air mataku hampir tumpah karena hatiku yang mudah tersentuh.

"Tapi mengapa harus kamu mas, yang jadi ombak samudera yang menghantamku,"
Lirih batinku.

Aku menoleh kearah mas Zidan yang masih menatapku dengan senyumnya setelah berbisik padaku tadi. Sekilas aku menatapnya lekat tanpa membalas senyum darinya.

"Aku jadi ingat saat kita nikah dulu dek,"

Kata mas Zidan, matanya menatap kearah depan dimana Doni yang merupakan seorang letda (letnan dua) yang juga merupakan junior dari mas Zidan dan satu leting denganku diorganisasi silat. Dan Mia, sang dokter umum dan teman kerjaku, tengah saling bertatapan mata dibawah payung pora. Mereka terlihat sangat bahagia dan serasi sekali.

"Kamu sepertinya ingin mengulangi lagi masa itu, mas,"

Yang mengatakan itu bukanlah aku, tapi wanita yang tiba-tiba sudah berada disebelah kanan mas Zidan.

Wanita itu, wanita yang selalu ada dalam suasana apapun, apa yang Allah rencanakan dengan selalu mempertemukan kami dengan wanita ini.

"Indria,"
Kaget mas Zidan tak percaya.

Indria hanya mengangguk dan tersenyum semanis mungkin guna menarik perhatian mas Zidan.

"Sepertinya kamu benar Indria,"
Kataku sedikit sinis,

"Kamu benar,"
Jawab mas Zidan menaik turunkan alisnya kearahku.

Alisku terangkat melihatnya bertingkah seperti tadi.

"Oh, jadi kamu beneran mas, mau ngulangin lagi kayak dulu. Yaudah, ak.. aku,"
Karena emosiku yang terpancing membuatku tak bisa lagi melanjutkan kata-kataku barusan, setelah itu aku membuang muka kearah samping untuk menghindari tatapan mereka.

"La, bukan gitu maksudku,"

Mas Zidan mencoba menggenggam tanganku namun aku langsung menepisnya cepat.

"Udahlah mas, aku udah tahu semuanya, tentang kamu, dan tentang kalian berdua."
Sarkasku cepat.

Secepat mungkin aku pergi dari mereka berdua. Untung tadi aku sudah mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Jika tidak, dalam suasana hati yang penuh amarah ini mana mungkin terfikirkan soal itu.

"Nabila,"
Suara bariton yang memanggilku saat aku berada diparkiran, karena tadi ada cekcok sama mas Zidan dan Indria membuatku memutuskan pulang duluan dengan memesan ojek online.

"Kak khuzain. Kok disini,"
Tanyaku menatapnya tak percaya.

Kak khuzain tersenyum menatapku, tangannya mengusap ubun-ubunku gemas.

"Mia itu sepupu jauhku, dek,"
Jawabnya disertai kikikan.

"Owalah, aku Ndak tau mas,"
Jari tengah dan telunjuk ku angkat menunjukkan pisz...

Kak khuzain kembali terkikik melihatku.

"Kamu mau pulang, kok sendirian. Suami mu mana dek,"

Terdiam aku mendapatkan pertanyaan seperti itu, aku harus jawab apa. Kalau suamiku lebih memilih wanita lain dari pada mengejar istrinya yang dilanda cemburu gitu.

"Oh, dia masih lama kak, sedangkan aku harus segera pulang karena Zafran sedang rewel. Kasihan ibuk kalau kerepotan ngurus Zafran."

Alibi seperti itulah yang aku pakai untuk menutupi aib keluargaku.

Kulihat alis kak khuzain terangkat sebelah, itu artinya dia sedang dalam mode percaya tak percaya.

"Kalau gitu, bolehkah aku antar,"
Tawarnya dengan memasang wajah memelas agar aku tak tega melihatnya memohon seperti ini.

"Em.... Gimana ya kak,"
Ucapku tak enak hati.

"Nabila,"
Tukas seorang lelaki dari ujung parkiran. Lelaki itu melangkah lebar menuju kesampingku secepatnya.

"Mas Zidan,"
Ucapku tak percaya.

Tanpa berkata apapun ataupun tersenyum sebentar saja mas Zidan langsung menarikku masuk ke mobilnya.

"Masuk, kita pulang sekarang."
Tukasnya tanpa mau dibantah.

"Hyuuuuh...."
Hembusan nafas kasarku saat mobil mulai dilakukan dengan kencang. Aku sudah hafal dengan sikap mas Zidan jika seperti ini berarti dia sedang punya masalah.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang