kota pahlawan (Surabaya)

2.3K 132 3
                                    

Hidup itu selalu dipenuhi kewaspadaan. Saat kita bahagia kita harus siap dengan rasa yang lain.

7 hari setelah akad aku dan mas Zidan akan kembali ke Surabaya. Kota dimana kita dipertemukan kembali dengan rasa yang berbeda selama kenal lama.

Tapi kali ini, aku tak tinggal lagi di kos tempatku kerja. Tapi aku akan diboyong ke asrama batalyon mas Zidan. Nggak kebayang nanti betapa kakunya lingkungan asrama yang dipenuhi kaum mas Zidan.
Pasti bakalan bosenin kalik ya, kalau setiap hari bertemu dengan orang-orang berwajah dingin dengan omongan yang tak meninggalkan kata izin, siap, lapor.

"Aku nggak mau bayangin," teriakku dalam hati. Gila, baru berangkat dan belum sampai aja aku udah paranoid.

Mataku terkadang melirik mas Zidan yang duduk disampingku dengan tenang. Terkadang dia menguap ngantuk karena semalam kita sibuk mengadakan acara selapan (selamatan 7 hari setelah pernikahan).

"Kenapa la,"

Mampus, mas Zidan tau lagi kalau dari tadi aku lirik-lirik. Apalagi sekarang dia menggenggam tanganku hangat.

"Pak, nanti turun di depan asrama pas, ya. Jangan diturunin didepan gerbang,"
Ucap mas Zidan pada sang supir.

Setelah pak supir mengangguk mengiyakan, mas Zidan kembali menatapku meminta penjelasan.

"Kenapa, kau takut"
Mas Zidan mengatakannya dengan nada mengejek padaku.

"Enggak lah mas, apa juga yang ditakutin." Elakku.

"Lah ini, kok tangannya keringetan."
Mas Zidan mengangkat tanganku yang masih digenggamannya itu.

"Cuman paranoid dikit kok," jawabku sambil nyengir kuda.

"Paranoid kenapa juga,"

"Ya itu mas, lingkungan mas kaku-kaku nggak sih. Aku takut kalau aku Ndak bisa kayak mbk-mbk disana."

Terasa lega saat usai mengucapkannya.
Apalagi saat mas Zidan terkekeh kecil.

"Kau kira asrama mas itu sarang bom apa,"
Ucapnya kesal.

Melihat wajah kesalnya itu membuatku tertawa geli.

"Bisa jadi kan, mas. Hahahaha"

"Sini, peluk mas,"

Bukannya pelukan hangat yang kudambakan, mas Zidan malah mengempit ku diantara ketiaknya.

"Aaaaaaa. Mas Zidan ih,"
Gerutuku kesal sambil berusaha lepas dari ketiaknya. Ya walaupun tak berbau keringat tapi kan pengap.

"Enak kan, sedap." kekehan mas Zidan semakin membuatku merenggut tak mau melihatnya.

"Nabila ngambek," tukasku.

Mas Zidan menarikku kepelukannya lalu berbisik di telingaku saat aku menemukan sandaran ternyaman didada bidangnya.

"Teruslah tertawa dek, mas bahagia saat kamu tersenyum lepas saat bersama mas."

Suara detak jantungku sama cepatnya dengan detak jantung mas Zidan yang terdengar di telingaku. Perlahan aku menutup mataku, menuruti rasa kantuk yang sebenarnya sedari tadi ku hiraukan.

Aku pendamping marinirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang